Cegah Swa-Radikalisasi lewat Duta dan Sekolah Damai

Estimated read time 4 min read

JAKARTA – Radikalisasi diri atau radikalisasi diri mandiri masih menjadi fenomena yang banyak terjadi pada generasi muda. Jumlahnya memang tidak besar, namun risiko kerusakan dan korban jiwa akibat radikalisasi diri begitu besar sehingga tidak boleh ada yang mengabaikan kesalahan ini.

Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Didin Nurul Rosidin menjelaskan betapa pentingnya mengakomodir generasi muda di komunitas tertentu. Menurutnya, sangat baik jika inisiatif seperti itu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan ancaman terorisme.

“Saat ini, anak muda hanya mengetahui adanya terorisme di televisi, misalnya ketika dilakukan penangkapan dan disiarkan. Kenyataannya, terorisme tidak sesederhana itu. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa terorisme terjadi di kalangan anak-anak, misalnya. di lingkungan sekitar atau bahkan “Di rumah mereka sudah terjadi proses radikalisasi. Anak muda biasanya tidak memahami hal ini,” kata Prof Didin, Rabu (7/8/2024).

Menurut dia, kegiatan yang menjawab kebutuhan pendidikan generasi muda terkait ancaman radikalisme dan terorisme sebenarnya sudah berlangsung lama. Beberapa program yang disponsori Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT, seperti Duta Perdamaian dan Sekolah Perdamaian, hadir untuk mengakomodasi generasi muda dan tidak membiarkan begitu saja pengetahuan tentang bahaya internasional yang tersembunyi dari ideologi ini.

Menurut Prof Didin, memiliki sekolah perdamaian atau duta perdamaian bisa menjadi cara yang sangat efektif untuk mencegah radikalisme dan terorisme di kalangan generasi muda. Hal berikutnya yang perlu dipertimbangkan adalah sejauh mana sosialisasi telah dilakukan agar masyarakat tergerak oleh program tersebut.

“Karena zamannya gadget dan pemikiran sekarang kadang kalau tidak viral maka tidak ada yang tahu. Tidak ada yang viral, tidak ada keadilan, tidak ada viral, tidak ada kesadaran untuk istilah ini. Kalau tidak viral, tidak ada keadilan dan tidak ada kesadaran. Ada juga kebutuhan untuk memasukkan “lebih banyak sosialisasi dan promosi berbagai program kontra-radikalisasi dan anti-terorisme seperti Duta Perdamaian dan Sekolah Perdamaian,” katanya.

Akademisi yang sebelumnya menjabat Wakil Direktur Pascasarjana IAIN, Syekh Nurjati Cirebon ini juga menambahkan, perlunya terus meningkatkan ilmu pengetahuan, tanpa memandang usia atau latar belakang lainnya. Menurutnya, semua ilmu yang baik, termasuk ilmu agama, adalah ilmu yang bersumber dari sumber yang otoritatif dan dapat dibuktikan kebenarannya.

“Dengan mengandalkan sumber ilmiah yang valid, sebenarnya kita sedang menerapkan salah satu prinsip epistemologi Islam. Kalau kita mempelajari sesuatu yang belum diketahui otoritas dan validitasnya, cepat atau lambat kita akan salah.

Ia menilai gerakan radikal selalu mengambil sesuatu tanpa mengetahui apakah hal tersebut mempunyai kewenangan atau tidak. Faktanya, kebenaran menjangkau orang-orang yang berpikiran terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Orang yang berpikiran terbuka adalah mereka yang senantiasa berusaha menciptakan sumber-sumber dalam kehidupannya yang mempunyai otoritas dan dapat diverifikasi.

Menurut Prof. Jadi mengetahui cara mencari sanad atau cara-cara ilmu yang sah tidak hanya berlaku pada kajian agama saja, ilmu-ilmu lain pun demikian. Khususnya dalam bidang ilmu agama, yang seringkali dikaitkan dengan bagian emosional dan keyakinan akan kebenaran seseorang atau suatu pihak, banyak ditekankan pada unsur kewibawaan dan keabsahan, termasuk bagian sanadnya.

“Dalam Islam, tidak semua sanad bisa dikenali atau dihilangkan. Jika kita belajar dari seseorang, maka kita juga harus mengetahui dengan jelas siapa guru orang tersebut, dll. Tradisi sanad Islam bahwa dunia adalah landasan pertama yang bertumpu pada manusia. ketika berbicara tentang Epistemologi “Dalam Islam salah satu hal yang paling mendasar adalah unsur ilmu yang dipelajari,” imbuhnya.

Dengan semakin maraknya advokasi program anti radikalisme dan anti terorisme, Prof. Didin juga berharap generasi muda di Indonesia lebih tahan terhadap propaganda berideologi internasional. Anak-anak, remaja, dan masyarakat secara keseluruhan harus turut serta membangun perlawanan yang kuat terhadap ideologi radikal. Secara tidak langsung hal tersebut juga mencerminkan kuatnya rasa memiliki masyarakat Indonesia terhadap negaranya.

Pengetahuan membangun perlawanan ini tidak hanya dipelihara oleh BNPT, lembaga pemerintah lain atau bahkan para kiai dan ulama, tetapi juga harus menjadi pengetahuan kolektif seluruh masyarakat agar Islam rahmatan lil ‘alamin benar-benar dapat terwujud. tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia,” kata Prof Didin yang pernah satu pesantren dengan bos JAD Aman Abdurrahman.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours