Cerita Letjen TNI (Purn) Soegito Gagal Raih Baret Merah Kopassus karena Tak Kuat Jalan Kaki dari Bandung-Cilacap

Estimated read time 5 min read

TNI Lategen (Purn) Soegito merupakan salah satu prajurit TNI yang dikenal atas jasa-jasanya yang besar terhadap negara. Pemimpin Kopassus ini merupakan orang yang memimpin pasukan tempur Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Satgas V Nanggala.

Saat itu ia melakukan intervensi di Timor Timur selama Operasi Seroja pada bulan Desember 1975 untuk merebut kota Dili. Jenderal TNI bertopi merah itu dipercaya mengambil alih jabatan Panglima Kodam Jaya pada tahun 1985 menggantikan Mayjen TNI Tri Sutrisno.

Namun di balik aksi heroik dan garangnya, Letjen TNI (Purn) Soegito pernah gagal mendapatkan brevet komando karena tak mampu berjalan sejauh 500 kilometer (km) dari Batujajajar hingga Cilacap, Jawa Tengah.

Pelatihan komando merupakan tahap pertama yang harus dilalui setiap prajurit yang ingin bergabung dengan unit tertentu. Tujuan pendidikan komando adalah untuk melatih dan mengembangkan keterampilan prajurit dalam operasi komando secara individu maupun kelompok.

Latihan komando berakhir di Nusakambangan, Cilacap. Sebelum upacara pembukaan, mahasiswa Komando selalu mengadakan demo penutup yang dapat disaksikan oleh para undangan dan keluarga mahasiswa. Kopassus menyebut tampilan saat matahari terbit ini sebagai seruko (tim komando penyerangan).

Setelah menyelesaikan pendidikan komando dan dasar serta kepemilikan brevet komando dan baret merah, prajurit didistribusikan ke satuan operasional COPAS. Di unit ini mereka melakukan orientasi untuk mendapatkan gambaran tentang tugas, nilai, dan tradisi unit.

Meski tahu risikonya, Letjen (Purn) Soegito tetap mau mengikuti latihan komando. Dia memiliki keinginan yang kuat agar kata “Commando” tertulis di lengan kanannya. Apapun yang terjadi dalam latihannya, dia siap menghadapinya tanpa rasa takut.

Disarikan dari buku “Letjen (Purn) Soegito, Pelayanan Prajurit Pasukan Kejut” Latihan komando dimulai pada bulan Februari 1965 di Batujajjar.

Soegito berkumpul kembali dengan rombongan juniornya AMN (Akademi Militer Nasional) 63 yang baru kembali dari Operasi Tumpas di Sulawesi Selatan. Sebanyak 15 perwira remaja dari 63 alumni mengikuti pelatihan komando tersebut.

Letjen (Purn) Sintong Panjaitan menyatakan dalam bukunya “Sintong Panjaitan, Perjalanan Prajurit Para Komando” (2009) bahwa mereka merupakan alumni AMN rombongan pertama yang mengikuti pelatihan dasar komando.

Soegito menyelesaikan pelatihan langkah demi langkah tanpa kesulitan apa pun. Namun memasuki tahap akhir yakni long march dari Batujajajar, Bandung Barat hingga Nusakambangan, Cilacap, menempuh jarak sekitar 500 kilometer dalam waktu 10 hari.

Soegito merasakan sakit yang tak tertahankan di seluruh persendian kakinya. Dia tidak bisa melawan rasa sakitnya dan akhirnya menyerah. Pelatihnya, Serma Sutari, berusaha membuatnya lebih kuat, namun sia-sia. Soegito akhirnya dilepas pelatih dan dikembalikan ke Sejantung.

Letjen (Purn) Soetedjo yang saat itu sudah berada di Nusakambangan baru mengetahui Soegito tidak ada dalam kelompoknya. Letjen (Purn) Soetedjo mengatakan, “Pak Gito itu seorang pelari, pelari yang cepat. Biasanya pelari tidak bisa bertahan dalam jarak jauh. Tapi apakah itu alasannya, saya tidak tahu.”

Soegito tidak berlama-lama meratapi kegagalannya. Ia langsung terlibat dalam kegiatan baru sebagai staf Mayjen Inf Gunawan Wibisono, teman sekelas Mayjen Inf Benny Mordani. Fasih berbahasa Belanda dan Inggris, Mayor Gunawan terlihat sangat cerdas dan terhormat.

Soegito membantu penelitian mengenai peredam senjata dan pasokan airdrop di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pelatihan komando yang gagal memberi Soegito kesempatan untuk menambah jumlah jam kerjanya di lapangan.

Sebagai petugas yang bertanggung jawab atas penyelidikan udara, ia harus terlibat penuh dalam seluruh proses penyelidikan. Dia melakukan penyelaman terus-menerus, termasuk di malam hari, hingga dia melakukan sekitar 10 kali penyelaman.

Aktivitas barunya sebagai staf Mayor Gunawan memberikan kesempatan bagi Soegito untuk menimba pengalaman. Pada 5 Oktober 1965, ia membantu menguburkan tujuh pahlawan revolusi di TMP Kalibata.

Ia diberi tugas membawa peti jenazah Jenderal Ahmed Yani. Usai mendampingi Mayjen Gunawan, Soegito ditugaskan mendampingi Mayjen Inf Heru Sisnodo di Pusat Pendidikan RPKAD di Batujajjar. Mayor Heru dikenal sebagai pahlawan Trikora.

Ia terjun ke Merauke pada 24 Juni 1962 bersama 160 prajurit Yonif 530 dan 55 anggota RPKAD dalam Operasi Naga yang dipimpin Mayor Inf Benny Mordani.

Gito sayang, nanti kalau mau latihan komando lagi, kalau butuh apa-apa kasih tahu saja. Sekarang ikut saya main air, nanti terjun bebas, kata Mayor Heru, yang mengenal Soegito.

Selama mendampingi Mayor Heru, jam menyelam Soegito bertambah. Namun Mayor Heru malah memberi tugas kepada Soegito untuk mengubah kurikulum latihan komando. Soegito keberatan, namun Mayor Heru mengalihkan pembicaraan mengenai rencana lompat.

“Aku akan melompat besok, ikut aku.” Alhasil, melalui aktivitasnya mendampingi Mayor Gunawan dan Mayor Heru, jam menyelam Soegito bertambah signifikan. Saat itu, Soegito mempunyai jam kerja terbanyak dari seluruh perwira lulusan AMN 61.

Kemudian, sekembalinya dari Dili pada tahun 1976, sebuah bintang dan bintang merah ditambahkan pada bagian atas sayapnya. Sambil menunggu latihan komando dilanjutkan, Soegito memeriksakan diri ke dokter untuk mencari tahu penyebab nyeri di kakinya.

Dokter mendiagnosisnya menderita malaria, yang menyebabkan nyeri pada persendian kakinya dan menurunkan kekebalan tubuh. Akhirnya kesempatan lain datang untuk berpartisipasi dalam pelatihan komando.

Soegito menikmati setiap tahapan yang dilaluinya. Selama panggung panjang ia menyimpan petanya di tasnya dan peserta lainnya, semuanya junior, mengikuti langkahnya.

Salah satu kenangannya semasa latihan komando adalah diberitahu cara melakukan manuver akrobatik dari ketinggian oleh instruktur bintara, justru karena Soegito berasal dari Cilacap. Selang beberapa tahun, seorang instruktur asal Aceh yang dianggap radikal menjadi anggota ketika diterjunkan ke Dili pada Desember 1975.

Seminggu setelah latihan selesai, Komandan RPRAD Kolonel Inf Sarwo Edhi Wibowo memimpin seluruh peserta pelatihan kembali ke Sijantung untuk mengikuti pawai dan pawai di Senayan.

‘Saya salut dengan kegigihan Pak. Gito. Sekalipun Anda gagal pada latihan pertama, Anda mengulanginya lagi dan lagi hingga selesai. Ini adalah kegigihan yang kami hargai. Dia tidak pernah menyerah. “Memulai dari awal bukanlah main-main, butuh keberanian yang besar,” kata Soetedjo.

Setelah menjalani pelatihan komando dasar, Soegito ditugaskan sebagai komandan kompi di RPKAD Batalyon 2 di Magelang. Ia kemudian ditarik ke Sejantung dan diberi pangkat Denki A Batalyon 1 dengan komandan Mayor Sokso.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours