“Childfree” bahayakan masa depan bangsa

Estimated read time 3 min read

Semarang (ANTARA) – Presiden Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. Hasto Wardoyo mengungkapkan, keputusan pasangan suami istri untuk tidak mempunyai anak (childless) akan merugikan masa depan negara.

Hal ini disebabkan karena Indonesia belum mengalami perkembangan demografi, selain generasi tua Indonesia yang umumnya berpendidikan rendah.

“Jadi penduduk yang hampir lanjut usia akan bertambah. Banyak generasi yang mengalami ‘baby boom’. Kalau di usia tua bertambah, maka generasi di bawahnya akan sedikit, itu berbahaya,” kata Hasto saat ditemui di Semarang. Jawa Tengah, Rabu lalu.

Menurut Hasto, keputusan “bebas anak” untuk memangkas premi demografi Indonesia akan berdampak pada struktur demografi yang tidak seimbang.

“Sekarang tingkat pendidikan orang tua rendah, perekonomiannya rendah. Struktur demografinya tidak seimbang (dengan keputusan untuk tidak mempunyai anak),” ujarnya.

Jadi agak sulit bagi Indonesia untuk menjadi seperti ini. “Kalau bonus demografi belum terwujud, ayo kita lanjutkan (tanpa anak), wah susah,” kata Hasto.

Menurut Hasto, dampak keputusan “bebas anak” di negara maju seperti Jepang berbeda dengan keputusan “bebas anak” di Indonesia.

“Orang Jepang sudah tua, pendidikannya tinggi, perekonomiannya sudah maju. Tapi kita (Indonesia) sudah tua, pendidikan kita masih rendah,” kata Hasto.

Hasto juga menegaskan, permasalahan “tidak mempunyai anak” bisa berbahaya bagi perempuan dari segi kesehatan. Misalnya saja pada kasus kanker payudara.

Hasto mengatakan, “Perkawinan dan kehamilan itu sehat. Karena penderita kanker payudara juga orang yang tidak menyusui. Dengan kata lain menyusui, memberikan ASI dan kehamilan memberikan kesehatan.”

Ia juga mengatakan bahwa wanita yang hanya memiliki satu anak memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker rahim. “Kalau penderita kanker rahim, itu bukan leher rahim lho. Ada perbedaan antara leher rahim dan rahim,” ujarnya.

Penderita kanker rahim cenderung hanya memiliki satu anak, mengalami obesitas, dan memiliki tekanan darah tinggi. “Ini juga yang menjadi penyebab (potensi) kanker rahim meningkat. Penderita (penyakit) mioma uteri juga merupakan orang yang belum menikah,” kata Hasto.

Oleh karena itu, ia menyarankan generasi muda untuk mengesampingkan masalah emosional dan tidak mengambil keputusan yang “bebas anak”.

“Jadi hati-hati, jangan melakukan penilaian emosional. Karena fungsi perempuan hamil dan melahirkan itu dijalankan dengan manfaat, bukan hanya dari segi keseimbangan jumlah penduduk. Tapi dalam program saya sendiri, saya mendorong masyarakat yang melakukannya. belum punya ‘Masa Kecil’ seperti itu, kata Hasto.

Menurut dia, jumlah penduduk yang besar dan terukur juga berdampak pada pembangunan ekonomi.

“Kita juga akan menikah agar Indonesia tetap masuk 4-6 besar penduduk dunia. Kalau ekonomi kita mau masuk 4 besar, 6 besar, atau 7 besar, tidak akan ada perekonomian besar kalau jumlah penduduknya tidak banyak,” kata Hasto.

Menurut dia, angka kelahiran ideal setiap pasangan suami istri adalah 2,1, dan selama ini rata-rata pasangan di Indonesia telah melahirkan 2,18 anak.

“Rata-rata perempuan harus punya 2,1 anak. Kalau di dalam negeri angkanya 2,18. Tapi di Jawa Tengah angkanya 2,04. Jadi bisa jadi terlalu sedikit, ‘pertumbuhan nol’ atau ‘pertumbuhan minus’. Ada kurang lebihnya “Efeknya (tidak punya anak),” kata Hasto.

Berdasarkan berbagai data yang dihimpun ANTARA, jumlah penduduk lanjut usia akan mencapai 11,75 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 2023.

Dari 11,75 persen tersebut, sebanyak 32,42 persen telah tamat Sekolah Dasar (SD), disusul 29 persen yang belum tamat SD. Sedangkan lulusan sekolah menengah atas (SM) atau sederajat sebanyak 10,60 persen, tamatan sekolah menengah atas atau sederajat sebanyak 9,62 persen, dan perguruan tinggi hanya 6,77 persen.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours