CORE: Tekanan daya beli dan konsumsi gerus permintaan kredit UMKM

Estimated read time 2 min read

JAKARTA (Antara) – Direktur Riset Center for Indonesian Economic Reforms (CORE) Etika Kariani mengatakan tekanan terhadap daya beli dan konsumsi menyebabkan penurunan permintaan kredit UMKM dan mengancam kualitas kredit.

Pasca pandemi COVID-19, pengeluaran masyarakat kelas menengah dan bawah kemungkinan besar akan mendapat tekanan dari meningkatnya biaya cicilan, dimana respons industri perbankan terhadap kenaikan suku bunga acuan juga akan berdampak pada masyarakat. Daya beli di masa depan, kata Etika di Jakarta, Selasa.

Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) berharap dapat menyesuaikan diri dengan rendahnya inflasi dan perbankan harus merevisi pedoman penyaluran kredit, termasuk melalui restrukturisasi dan negosiasi, agar pertumbuhan kredit UMKM tetap tumbuh meski dengan intensitas yang lebih rendah.

Dalam webinar pertumbuhan kredit di tengah risiko global, Etika mengatakan belanja kelas menengah dan bawah terus ditopang oleh tabungan. Fenomena menabung pada triwulan IV tahun 2023 menunjukkan lemahnya daya beli.

“Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan meningkatnya pembayaran utang maka daya beli masyarakat menengah ke bawah akan semakin menurun karena peningkatan pendapatannya tidak mengimbangi kenaikan harga,” ujarnya.

Selain kelas menengah, usaha kecil dan menengah juga berkontribusi terhadap mobilitas ekonomi. Usaha kecil dan menengah mempunyai peranan yang sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi, mencakup 90% dari seluruh unit usaha, dimana pada tahun 2023 akan terdapat sekitar 66 juta pelaku usaha UMKM dan mencakup 60% PDB Indonesia

Menurut dia, perusahaan kecil dan menengah masih menghadapi kendala dalam mengakses kredit atau kendala dalam pembiayaan.

Di sisi lain, penyaluran kredit UMKM masih dalam tahap pemulihan pasca pandemi Covid-19 sehingga perlu adanya pembenahan di sektor riil.

Selain itu, akses pasar dan suku bunga yang tinggi mempersulit peminjam untuk membayar. Kenaikan suku bunga bank sentral menjadi 6,25% pada 24 April 2024 berpotensi meningkatkan cost of fund perbankan.

“Mereka mengantisipasinya dengan menaikkan suku bunga kredit untuk mengurangi beban biaya pembiayaan,” ujarnya.

Perbankan dapat memanfaatkan kebijakan stimulus likuiditas makro (KLM) Bank Indonesia di tengah kenaikan suku bunga acuan, dengan BI rate sebesar 6,25 persen.

Namun, penting bagi otoritas pengatur dan bank untuk secara hati-hati mengelola dan memitigasi risiko seperti pengurangan likuiditas, gagal bayar, profitabilitas bank melalui pemantauan yang cermat, penilaian risiko yang tepat, dan penerapan praktik manajemen risiko.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25 persen pada April 2024 untuk memperkuat stabilitas nilai tukar dan mencegah pertumbuhan ekonomi terkena dampak global spillover.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours