Di mana ada tinju, di situ ada Mateus

Estimated read time 5 min read

Pematang Siantar dlbrw.com – Setiap Pekan Olahraga Nasional (PON) selalu penuh cerita, tidak hanya tentang atlet yang bertanding, tapi juga tentang mereka yang tidak terlihat di panggung utama.

Salah satu cerita tentang orang di balik panggung utama adalah tentang Evaritus Mateus Moah.

Pria berusia 69 tahun itu nyaris absen dari stadion tinju mana pun di pesta olahraga terbesar di Indonesia itu sejak PON XV di Jawa Timur pada tahun 2000.

Mateus bukanlah seorang atlet atau pelatih. Hanya menjual oleh-oleh berupa sarung tinju, gantungan kunci, kalung bahkan ikat pinggang.

Pada final tinju PON Aceh-Sumut 2024, di Universitas HKBP Nommensen, Pematang Siantar, Sumut, Kamis (19/9), Mateus duduk diam di belakang kolomnya.

Ia mengenakan perlengkapan tinju dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah ingin menunjukkan kecintaannya yang besar terhadap olahraga tinju.

Mateus bukanlah orang baru di dunia tinju. Pria asal Maumere, Nusa Tenggara Timur ini memang sudah menggemari tinju sejak kecil.

Meski jalannya berbeda dengan petinju yang bertarung di atas ring, Mateus sudah menjadi bagian tak terpisahkan di dalam ring.

Perjalanan Mateus di dunia tinju diawali dengan kepindahannya ke Bogor, Jawa Barat, pada tahun 1977. Ia bekerja sebagai pelatih tinju di Kabupaten Bogor selama 21 tahun, mulai tahun 1995 hingga 2016.

Ada momen penting dalam hidupnya, pada tanggal 9 September 1999, ketika sebuah ide unik muncul di kepalanya.

Ia berpikir untuk membuat oleh-oleh yang berkesan bagi para penggemar tinju. Dari situlah lahir ide untuk menciptakan produk bertema tinju.

Momen penting dalam hidupnya terjadi pada PON 2000 Jawa Timur, ketika 600 cenderamata yang dijualnya ludes dalam dua hari.

Dengan ajang ini, ia bisa terus berkarya dan berjualan cinderamata di berbagai kejuaraan tinju, mulai dari tingkat lokal hingga nasional.

“Kapan pun ada aksi tinju, saya pasti hadir,” kata Mateus sambil tersenyum bangga.

Namun ia harus kalah di PON yakni PON XX/2021 Papua. Mateus tidak bisa ikut karena saat itu belum divaksin dan merupakan satu-satunya PON yang kalah sejak tahun 2000.

Evaritus Mateus Moah menjual souvenir sarung tinju pada Pekan Olahraga Nasional Aceh-Sumut (PON) XXI/2024 di Universitas HKBP Nommensen, Pematang Siantar, Sumut, Kamis (19/9/2024). (ANTARA/Mehemed Ramdan)

Filosofi cinta tinju.

Bagi Mateus, tinju lebih dari sekedar olahraga. Ada filosofi cinta yang mendalam di balik ini.

Ia tak hanya sekadar menonton atau menjual dagangannya, namun rela melakukan perjalanan jauh untuk menghadiri ajang tinju apa pun.

Misalnya saja pada PON 2024. Dari Bogor, Jawa Barat, hingga Pematang Siantar, Sumatera Utara, ia menempuh perjalanan menggunakan bus selama lima hari.

Ia pun tak lepas dari kendala yang dihadapinya. Bus yang ditumpanginya beberapa kali mogok di jalan. Namun semua itu tidak menyurutkan semangatnya.

“Bukan hanya atlet saja yang menantikan PON, saya juga,” kata Mateus.

Meski usianya hampir 70 tahun, Mateus tetap setia mengikuti semua kejuaraan tinju, dengan derajat yang berbeda-beda.

Tinju baginya adalah bagian hidup yang dijalaninya dengan cinta, ibarat cinta yang tak mengenal usia.

Kenangan yang Anda buat bukan satu-satunya barang yang dijual. Setiap kursus tinju yang Anda buat sangat berarti.

Ukuran yang berbeda-beda mewakili kelas tinju, dari kelas berat ringan, kelas terbang, kelas ringan hingga kelas berat.

Hal yang menarik dari PON 2024 adalah menyesuaikan dengan kelas yang diselenggarakan.

Jadi tidak ada peringatan untuk kategori kelas berat, karena PON 2024 ada kategori tertinggi di kelas ringan, kata Mateus tentang peringatan kategori kelas berat yang biasanya tidak luput dari kolomnya.

Ya, Mateus memproduksi gantungan kunci, kalung, dan ikat pinggang, semuanya bertema tinju dan dibuat dengan tangan, tanpa bantuan mesin.

Mulai dari menggambar bahan hingga menggulungnya dan membungkusnya dengan serat, semuanya dilakukannya sendiri. Harganya bervariasi mulai 15 ribu RED. Namun, dia enggan menyebutkan harga yang lebih tinggi. “Yah, itu sudah cukup,” katanya sambil tersenyum.

Petinju Sulawesi Utara Vinky Montolalu (kiri) menyudutkan petinju Jawa Tengah Burhanuddin (kanan). /2024). WAWANCARA FOTO/Iggoy el Fitra/nz

Hotel Ampar Jaya

Perjalanan Mateus ke PON 2024 di Pematang Siantar menjadi bukti betapa ia rela berkorban demi kecintaannya pada tinju.

Lima hari ia habiskan di jalan, melewati berbagai rintangan, termasuk mobil yang ditumpanginya beberapa kali mogok.

Namun, bagi Mateus itu semua adalah bagian dari pengalaman hidup yang ia nikmati dengan bahagia.

Sedangkan untuk penjualan, ia mencatat pada dua hari pertama pertandingan tinju tersebut, tokonya sepi pembeli.

“Kadang ramai, kadang sepi. Tapi saya menikmatinya dan itu sudah cukup. Ini jalan hidup saya,” ucapnya santai. Ia enggan membicarakan bisnis ritelnya.

Mateus bukan hanya orang yang penuh cinta, tapi juga orang yang hidup sederhana.

Di tengah kesibukannya, ia bercerita tentang tempat tinggalnya di Pematang Siantar.

Ia menyebutnya “Hotel Ampar Jaya”, sebuah istilah yang ia ciptakan sendiri untuk menggambarkan kenyamanan tidurnya.

“Hotel Ampar Jaya itu tempat saya tidur di kasur. Bisa dimana saja asal nyaman,” ujarnya sambil tertawa.

Dengan kesederhanaan yang ia jalani, Mateus tetap menjadi pria yang penuh semangat hidup.

Saat PON 2024 berakhir, Mateus akan kembali ke Bogor dengan membawa cerita baru dan mungkin beberapa oleh-oleh yang belum terjual.

Namun yang terpenting, ia akan pulang dengan bangga karena kembali menjadi bagian dari sejarah tinju Indonesia.

Di mana ada tinju, di situ ada Mateus.

Petinju Jawa Barat Reka Mariana (kanan) usai mengalahkan petinju DKI Nurul Izzah (pada final tinju kelas 57-60 kg putri PON XXI Aceh-Sumut 2024 di GOR Nomensen Pematang Siantar, Sumut, Kamis (19/9/2024) mengungkapkan kebahagiaannya FOTO ANTARA/Iggoy el Fitra.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours