Dolar AS Tetap Eksis, Ini Bukti Dedolarisasi BRICS Jalan di Tempat

Estimated read time 2 min read

JAKARTA – Dolar Amerika Serikat (AS) masih menjadi mata uang cadangan utama dunia. Sebuah laporan baru dari Pusat Geoekonomi Dewan Atlantik mengungkapkan bahwa baik euro maupun negara-negara BRICS tidak mampu mengurangi ketergantungan dunia pada dolar AS.

Kelompok ‘Pemantau Dominasi Dolar’ mengatakan dolar terus mendominasi cadangan devisa global, faktur perdagangan dan transaksi mata uang, dan perannya sebagai mata uang cadangan utama global aman dalam jangka pendek hingga menengah.

Saat ini, peran utama dolar AS dalam perekonomian global disebabkan oleh kuatnya perekonomian AS, kebijakan moneter yang lebih ketat, dan meningkatnya risiko geopolitik. Bahkan fragmentasi ekonomi telah memperkuat tekanan negara-negara BRICS untuk beralih ke mata uang dan cadangan internasional lainnya.

Dewan Atlantik mengatakan bahwa sanksi Barat yang dijatuhkan terhadap Rusia oleh kelompok G7 setelah invasi Moskow ke Ukraina telah mempercepat upaya negara-negara BRICS untuk mengembangkan serikat moneter. Namun kelompok ini belum mampu mencapai kemajuan dalam upaya de-dolarisasi.

BRICS adalah organisasi yang mencakup Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, Iran, Mesir, Etiopia, dan Uni Emirat Arab (UEA). Dewan mengatakan sistem pembayaran antar bank lintas batas (CIPS) Tiongkok menambah 62 peserta langsung dalam 12 bulan hingga Mei 2024, meningkat sebesar 78%, sehingga totalnya menjadi 142 peserta langsung dan 1.394 peserta tidak langsung.

Negosiasi mengenai sistem pembayaran domestik BRICS masih dalam tahap awal, namun perjanjian bilateral dan multilateral dalam kelompok tersebut pada akhirnya dapat menjadi dasar platform pertukaran mata uang. Namun, perjanjian-perjanjian ini tidak mudah diukur karena dinegosiasikan berdasarkan kasus per kasus.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa Tiongkok secara aktif mendukung likuiditas renminbi melalui jalur swap dengan mitra dagangnya, namun porsi renminbi dalam cadangan devisa global turun menjadi 2,3% dari puncaknya sebesar 2,8% pada tahun 2022.

“Hal ini mungkin disebabkan oleh kekhawatiran para manajer cadangan devisa terhadap perekonomian Tiongkok, sikap Beijing terhadap perang Rusia-Ukraina, dan potensi invasi Tiongkok ke Taiwan, yang berkontribusi pada persepsi renminbi sebagai mata uang cadangan yang berisiko secara geopolitik,” kata laporan itu. . . , dikutip Reuters, Senin (25 Juni 2024).

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours