Dosen Paramadina: Kerja Sama Negara ASEAN Redam Aksi Agresif China di Laut China Selatan

Estimated read time 5 min read

JAKARTA – Negara-negara ASEAN diminta tidak tinggal diam terhadap sikap agresif Tiongkok di Laut Cina Selatan. Berdiam diri diyakini akan memperkuat kecenderungan Tiongkok untuk melakukan tindakan agresif dan intimidasi terhadap negara-negara yang wilayahnya tumpang tindih dengan Tiongkok di Laut Cina Selatan.

Kesimpulan di atas mengemuka dalam diskusi bertajuk “China dan Keamanan Maritim di Laut China Selatan: Perspektif Indonesia dan Filipina”, yang diselenggarakan bersama oleh Lembaga Kebijakan Publik Permadina (PPPI) dan Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, 25 Juli. 2024. .

Juru Bicara Penjaga Pantai Filipina (PCG) untuk Laut Filipina Barat dan Direktur Gabungan, Komodor CG Jay T. Terriella, Tim Khusus Komandan, Laut Filipina Barat menghadiri diskusi hybrid tersebut. Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamala) Laksamana Pertama (Bakamala) Eka Satari, serta Pembimbing Hubungan Internasional Universitas Permadina, Dr. Mohammad Reza Vidyarsa.

Diskusi dimoderatori oleh Ristian Atriandi Suprianto, dosen pembimbing masalah keamanan Universitas Indonesia yang juga dosen Universitas Indonesia (UI), dan dihadiri oleh Johannes Herligento, ketua FSI.

Pakar hubungan internasional yang juga dosen Universitas Parmadina, Mohammad Riza Vidyarsa, menilai perlunya kerja sama nyata antara penegak hukum dan lembaga keamanan di negara-negara ASEAN untuk menghadapi konstelasi Laut Cina Selatan saat ini.

Riza mengatakan, kerja sama antar negara yang mempunyai kepentingan serupa, seperti Indonesia dan Filipina, bisa meredam perilaku agresif China di Laut China Selatan.

Menurut dia, kerja sama seperti ini sebenarnya sudah terbangun selama sepuluh tahun terakhir. Selain Forum Penjaga Pantai ASEAN, ‘Inisiatif Hukum Maritim Asia Tenggara’ didirikan pada tahun 2013, sebuah inisiatif kolaboratif antara lembaga penegak hukum maritim di Amerika Serikat (AS), Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Menurut Riza, kerja sama antar negara ASEAN sangat penting untuk menghadapi Tiongkok dan perilaku agresifnya, karena tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan eksternal (seperti AS).

“Kerja sama antar negara di kawasan sangat penting dan efektif, terutama ketika diperlukan respons yang cepat,” ujarnya.

Pendapat Riza diamini rekannya, dosen Universitas Indonesia (UI) Ristian Atriandi Suprianto. Menurut Ristian, negara-negara ASEAN tidak bisa bertindak sendiri dan harus mengutamakan kerja sama untuk melawan sikap agresif Tiongkok di Laut Cina Selatan.

Menurut pengamat masalah keamanan yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Australian National University (ANU), permasalahan dengan Tiongkok, seperti yang saat ini dihadapi Filipina, tidak hanya relevan dengan Filipina, tetapi juga dengan negara-negara lain di Filipina. . Tenggara. wilayah Asia.

Sementara itu, menurut Ketua FSI Johannes Herlijanto, strategi yang saat ini diterapkan Filipina untuk melawan tindakan agresif Tiongkok patut dijadikan pembelajaran bagi negara lain yang mengalami hal serupa.

Menurut dia, sikap agresif Tiongkok terlihat dari penerapan strategi ‘wilayah abu-abu’ terhadap negara-negara yang mempunyai kedaulatan atau hak berdaulat atas perairan yang diklaim Tiongkok sebagai miliknya.

“Faktanya, pengakuan kepemilikan RRT sepenuhnya didasarkan pada klaim historis terhadap hukum maritim internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang diratifikasi sendiri oleh Tiongkok,” kata Johannes.

Menurut Johannes, alih-alih mematuhi UNCLOS, RRT justru berusaha mencapai klaim kepemilikannya dengan menerapkan taktik zona abu-abu yang melibatkan tiga aspek yang sebenarnya masih di bawah kendali Komite Militer Pusat (CMC) yang dipimpin langsung oleh Presiden Xi Jinping. . , yaitu milisi maritim bertindak sebagai nelayan – nelayan sipil, Penjaga Pantai Tiongkok dan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat

Menurut Johannes, pengakuan sepihak Tiongkok yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus itu sebenarnya ditolak oleh keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang diajukan Filipina pada tahun 2016.

Namun, negara tersebut tidak hanya mengklaim memiliki sebagian besar Laut Cina Selatan (LCS), namun juga melanjutkan taktik zona abu-abu yang disebutkan di atas.

Filipina telah menjadi target khusus selama dua atau tiga tahun terakhir. Namun, Johannes mengingatkan, selain Filipina, Vietnam dan Indonesia kerap menjadi sasaran aktivitas zona abu-abu Tiongkok.

Komodor Jay T Terriella merinci strategi yang diterapkan pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Presiden Bongbong Marcos Jr.

Berdasarkan pertimbangan strategi yang diterapkan oleh presiden-presiden sebelumnya, Presiden Marcos memutuskan untuk meluncurkan strategi transparansi, yang pada dasarnya bertumpu pada upaya mengungkap tindakan agresif Tiongkok di zona ekonomi eksklusif Filipina (ZEE),” kata Terriella.

Ia menjelaskan bahwa lembaga penegak hukum di Filipina bersatu dan terkoordinasi dengan baik di bawah payung Strategi Transparansi. Mereka juga mengajak awak media untuk turut serta melakukan patroli pengawasan bersama mereka.

Hasilnya, masyarakat Filipina bisa mendengar kebenaran dari pemerintah tanpa menyembunyikan apa pun, katanya.

Komodor Terriella juga mengatakan bahwa strategi transparansi menyatukan rakyat Filipina dan mendukung pemerintah untuk menentang tindakan agresif Tiongkok. Kongres juga mendukungnya, katanya.

Namun Komodor Terriella berpendapat bahwa dukungan dari negara lain di kawasan Asia Tenggara sangat penting bagi Filipina selain Filipina.

“Negara-negara di kawasan juga harus mengekspos tindakan agresif Tiongkok, karena negara-negara kawasan seperti Indonesia, Malaysia, dan Vietnam juga menjadi sasaran tindakan agresif tersebut,” ujarnya.

Sementara itu, Laksamana Pertama Eka Satari juga menekankan pentingnya kerja sama antar aparat penegak hukum dari berbagai negara ASEAN untuk melawan posisi Tiongkok di Laut Cina Selatan.

Menurut Laxma Satari, tidak ada negara yang bisa menangani permasalahan maritim sendirian. Oleh karena itu, ia menilai kerja sama antar negara sangat diperlukan.

Laksamana Satari mencontohkan Forum Penjaga Pantai ASEAN sebagai contoh kerja sama antar negara di kawasan. Forum yang diluncurkan pada tahun 2022 ini bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dalam pengembangan kapasitas, patroli maritim, dan operasi antar lembaga penjaga pantai negara-negara ASEAN.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours