Efektivitas Pembentukan Satgas Judi Online

Estimated read time 9 min read

Dr I Wayan Sudirta, SH, MH

Anggota Komisi III Fraksi PDI-P DPR RI

PADA 14 Juni 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi membentuk gugus tugas pemberantasan perjudian online sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024. Perjudian online atau judi online tengah menjadi perbincangan di masyarakat belakangan ini. Permasalahan ini terjadi karena telah memakan banyak korban, tidak hanya warga sipil biasa namun juga aparat keamanan.

Dulu kita pernah mendengar permasalahan seorang polwan yang nekat membakar suaminya karena suaminya yang juga anggota Polri terlibat kecanduan judi online. Tak hanya itu, dua anggota TNI juga bunuh diri akibat terlilit utang judi online.

Oleh karena itu, dibentuklah Satgas Judi Online. Dalam Perpres ini, beberapa tugas gugus tugas adalah mengidentifikasi prioritas pencegahan perjudian online, pemantauan dan evaluasi pencegahan perjudian online, serta mengoordinasikan upaya sosialisasi, edukasi, dan mengatasi hambatan pencegahan.

Dalam Pasal 5 Perpres tersebut, terdapat susunan anggota Satgas yang terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Ketua Satgas), Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Wakil Ketua), Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Wakil Ketua), Ketua Harian Bidang Pencegahan Menkominfo, dan unsur di bidang pencegahan yang terdiri dari Kementerian Agama, Kejaksaan Agung, TNI, Polri, BIN dan OJK. Sedangkan kepemimpinan penegakan hukum sehari-hari dilaksanakan oleh Kapolri dan anggota bidang penegakan hukum adalah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Kantor Kepresidenan. Kejaksaan Agung, BIN, BSSN dan OJK.

Jika dicermati isi Perpres Satgas Pemberantasan Judi Online, maka kegiatan yang diatur dalam Perpres tersebut sebenarnya merupakan kegiatan sehari-hari dan kewenangan masing-masing lembaga. Keppres ini menandakan permasalahan ini akan terus berlanjut hingga ada presiden yang harus turun tangan. Tampaknya Kementerian Komunikasi dan Informatika serta penegak hukum yang sudah mempunyai tugas memberantas perjudian online masih membutuhkan bantuan dari kementerian atau lembaga lain.

Dari berbagai data yang diperoleh, selama kurun waktu 2023-2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika menghapus 1.904.246 konten perjudian online di dunia maya, meskipun terdeteksi 14.823 konten perjudian online pada website lembaga pendidikan dan 17.001 website pemerintah yang dapat diretas. Pemerintah juga telah mengidentifikasi dan menjebol berbagai promosi perjudian online melalui media sosial, situs web, dan pesan pribadi, yang seringkali melibatkan selebriti atau tokoh terkenal lainnya.

Dari data PPATK, pemain judi online di Indonesia mencapai 3,2 juta orang dengan omzet Rp 327 triliun. Selain itu, OJK juga melaporkan terdapat kurang lebih 5000 akun yang terafiliasi dengan perjudian online. Sementara itu, Polri telah mengungkap ratusan hingga ribuan kasus perjudian online.

Misalnya, satu kasus yang dikelola Polda Metro Jaya mencapai omzet hingga satu miliar rupiah per bulan, padahal hanya dikelola empat operator. Namun penegak hukum tidak dapat mengungkap “pemegang buku” tersebut atau mencurigainya hanyalah operator lain. Parahnya lagi, perjudian online ini juga diduga terkait dengan industri perjudian online di Kamboja atau Myanmar yang diyakini dijalankan oleh kartel.

Mengukur masalah perjudian online

Permasalahan perjudian online sebenarnya merupakan suatu perbuatan perjudian/perjudian yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan Indonesia (KUHP) dan merupakan suatu tindak pidana. Namun seiring dengan kemajuan teknologi, perjudian juga mendapat manfaat dari dunia maya. Permasalahan muncul ketika tidak semua negara mengatur perjudian sebagai tindak pidana atau ilegal.

Masalah perjudian sendiri menjadi sulit untuk dihilangkan jika memanfaatkan celah lintas batas dengan peraturan yang berbeda. Perlu dipahami bahwa aktivitas perjudian sebenarnya banyak dikategorikan oleh para ahli dan lembaga internasional sebagai aktivitas yang dapat menimbulkan kecanduan, seperti halnya merokok atau penggunaan obat-obatan terlarang.

Oleh karena itu, ketika perjudian menjadi suatu permasalahan hukum maka diperlukan strategi yang berbeda-beda untuk mencegah dan menghilangkannya, apalagi jika dilakukan di dunia maya. Kita tentu ingat dengan isu kasus Irjen FS yang menyita perhatian publik karena selain pembunuhan asistennya, kasus ini juga terkait dengan kartel “303 perjudian” (Pasal 303 KUHP Perjudian) yang mungkin juga melibatkan tinggi. -memeringkat pejabat juga dalam lembaga penegakan hukum itu sendiri.

Masyarakat mengetahui mafia judi ini memiliki daya penetrasi yang kuat karena selalu melibatkan uang dalam jumlah besar. Masalah yang sama ketika berhadapan dengan pengedar narkoba.

Permasalahan perjudian tentu bukan kali pertama terjadi di negeri ini. Penangkapan massal sudah beberapa kali terjadi dalam sejarah penegakan hukum, seperti pada masa Kapolri Jenderal Sutanto hingga saat ini. Perang terhadap perjudian yang dilancarkan tidak serta merta berhenti sampai di sini. “Penyakit” ini belum sepenuhnya hilang dan masih hidup di masyarakat.

Oleh karena itu tidak heran jika di era digitalisasi saat ini, mafia perjudian pun ikut beralih menggunakan teknologi dan jaringan informasi dan komunikasi global. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi Pemerintah dan penegak hukum, baik dari segi regulasi maupun penegakannya.

Resistensi terhadap perjudian online

Perpres Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satgas Pemberantasan Judi Online mengatur tugas dan tanggung jawab masing-masing fungsi yang diperintahkan dan di dalamnya terdapat anggota kementerian/lembaga terkait, dan berlaku hingga 31 Desember 2024. Pertanyaan masyarakat Apa tujuan atau target kinerjanya dan bagaimana Perpres ini akan berjalan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan gugus tugas ini secara tidak langsung menimbulkan kesan bahwa Pemerintah kurang efisien dan berhasil dalam mencegah dan memberantas perjudian online. Kementerian Komunikasi dan Informatika masih kesulitan atau menghambat upaya pencegahan penyebaran secara menyeluruh, sementara Kepolisian nampaknya belum mampu mendeteksi dan menangani kasus perjudian online secara efisien dan komprehensif.

Berdasarkan pengalaman, Pemerintah telah membentuk beberapa gugus tugas terkait berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Mulai dari Satgas Pencemaran Lingkungan Hidup, Satgas Pencegahan Korupsi, Satgas Pangan (Sembako), Satgas Pinjaman Online (Pinjol), Satgas Pemberantasan Pornografi Anak, Satgas TPPO, hingga Satgas Mafia Tanah, semuanya. mereka memiliki tujuan dan pengaturannya sendiri.

Satgas ini merupakan respon terhadap permasalahan yang ada saat ini, dengan mengedepankan kerjasama atau kolaborasi antar lembaga, dengan lembaga penegak hukum sebagai senjata penegakan hukum atau sebagai efek jera.

Misalnya saja pembentukan Satgas Mafia Tanah yang baru dibentuk di bawah amanat Kementerian ATR/BPN, dibentuk untuk melawan mafia tanah yang telah menimbulkan berbagai permasalahan seperti perselisihan atau konflik yang merugikan masyarakat. Tujuan operasional gugus tugas ini fokus pada pencegahan dan tindakan, termasuk pengaturan sumber daya manusia dan kelembagaan.

Namun permasalahan pertanahan masih terus terjadi hingga saat ini. Misalnya, DPR terus menerima pengaduan masyarakat mengenai sengketa dan konflik pertanahan yang sudah berlangsung lama dan kemungkinan besar akan dihadang oleh penegak hukum. Anehnya, dalam setiap permasalahan yang terjadi, masyarakat seolah-olah terpolarisasi antara penguasa dan korporasi lalu berkonfrontasi dengan penguasa.

Permasalahan yang sebenarnya mudah dicegah dan diatasi, apalagi jika ada keseriusan dalam menata dan menertibkan kebijakan dan mekanisme penyelenggaraan negara penyelesaian sengketa kepemilikan atau hak atas tanah yang adil, transparan, responsif, dan memiliki kepastian hukum.

Pada beberapa contoh gugus tugas yang ada, terlihat dibentuk untuk menghadapi berbagai perkembangan atau dinamika masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan hukum. Penulis melihat hal ini sebagai reaksi Presiden atau Pemerintah untuk menunjukkan keseriusan dengan fokus khusus dalam menyelesaikan suatu masalah.

Pembentukan gugus tugas tersebut merupakan respon Pemerintah agar tidak terlihat tinggal diam ketika terjadi permasalahan yang meluas di masyarakat. Namun, penulis juga berpendapat bahwa pembentukan gugus tugas tidak boleh hanya berhenti pada isyarat politik semata, namun harus mempunyai target atau tolok ukur keberhasilannya. Masyarakat tentu akan menantikan gebrakan atau gebrakan apa saja yang akan dilakukan oleh Satgas ini.

Penulis mencontohkan kebijakan antinarkoba yang terus digalakkan, mulai dari pembentukan gugus tugas, peraturan perundang-undangan, hingga sosialisasi dan edukasi masyarakat secara luas. Namun permasalahan narkoba belum teratasi, malah semakin meningkat.

Juga dalam masalah pertanahan, penanganan hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Tampaknya menghilang dan kemudian kembali lagi. Hal ini menunjukkan adanya kesalahan dalam kebijakan dan/atau implementasinya yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan membentuk Satuan Tugas.

Di antara berbagai permasalahan tersebut, terlihat beberapa hal yang berulang dan memerlukan perhatian Presiden dan pemerintahannya, antara lain permasalahan profesionalisme, akuntabilitas, dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) serta lembaga pengambil kebijakan.

Banyak permasalahan yang melibatkan “orang dalam” atau individu yang mengeksploitasi celah, yang secara unik mereka sadari atau bahkan ciptakan sendiri. Selain itu, banyak kebijakan yang tidak berpihak pada warga negara sehingga dianggap berpihak pada kepentingan suatu kelompok atau korporasi, yang pada akhirnya tidak berdampak pada masyarakat.

Hal ini terlihat dari penerapan satgas seperti mafia tanah atau permasalahan pinjaman online yang seolah-olah ada namun tidak terlihat hasilnya. Masih banyak perselisihan mengenai hak kepemilikan tanah. Masih terdapat kelalaian peminjaman dan kekerasan penagihan dalam kasus pinjaman online.

Anehnya, permasalahan ini justru menjadi akar permasalahan yang dikeluhkan masyarakat. Satgas perjudian online ini dibentuk dan diuraikan tugas dan tujuannya.

Oleh karena itu, Satgas harus fokus pada akar atau inti permasalahan yang terjadi, bukan sekedar menyentuh permasalahan permukaan atau sisa-sisanya saja. Dalam kasus perjudian online, Satgas nampaknya menggunakan strategi untuk memerangi supply and demand atau mencegah dan menindak seluruh akses dari sisi masuk dan keluar.

Strategi yang sama dalam pemberantasan jalur peredaran narkotika ilegal. Selain itu, kegiatan penegakan hukum, pencegahan, dan sosialisasi juga dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

Cara ini tentu tidak salah. Namun, penulis mengingatkan kita bahwa pengungkapan dan pemetaan risiko yang komprehensif sangat penting dalam memerangi kejahatan terorganisir. Aparat juga harus menyisir hingga ke akar-akarnya, terutama pengedar, jaringannya, dan antek-anteknya. Jaringan judi online ini pastinya mempunyai jaringan offline yang melibatkan banyak pihak, termasuk pihak dari Indonesia sendiri.

Penguatan filter pada infrastruktur dan jaringan teknologi melalui pengawasan (patroli) yang ketat di dunia maya merupakan salah satu indikator strategis. Pengendalian dan pemantauan teknologi harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya sekedar mengidentifikasi pengguna yang biasa “iseng” atau sembarangan masuk ke halaman atau lokasi perjudian online.

Patroli ini tidak hanya menyasar perjudian online, tetapi juga segala sesuatu yang “mencurigakan” atau mengarah pada kegiatan kriminal dan kejahatan terorganisir. Investigasi terhadap subjek, baik identitas, rekening, dan saluran keuangan lainnya, mungkin dibatasi oleh perlindungan privasi, namun pemerintah harus lebih pintar dalam mengidentifikasi dan bahkan menutup halaman yang tidak dapat diandalkan atau kurang memiliki legitimasi pemerintah tanpa pandang bulu.

Artinya, administrasi yang baik dan kepatuhan terhadap hukum menjadi kunci penting untuk menciptakan dunia maya yang aman dan nyaman bagi semua orang, tanpa memberikan atau membiarkan celah apa pun, bahkan bagi pihak-pihak yang biasanya dipercaya.

Konsistensi dan stabilitas tersebut sebenarnya masih belum terlihat dari berbagai gugus tugas atau kelompok khusus yang dibentuk oleh Presiden atau Pemerintah. Gerakannya dapat dipahami, tetapi penyelesaiannya selalu tidak lengkap.

Pemaparan publik terhadap penegakan hukum dan keterbukaan cara-caranya kepada media massa selalu dilakukan, namun permasalahannya tidak pernah terselesaikan atau bahkan tertangani. Masyarakat menjadi pusing dan mudah teralihkan oleh hal lain, sehingga solusi komprehensif tidak benar-benar terjadi.

Hal ini kemudian disadari oleh berbagai pihak yang memanfaatkan celah dan kelemahan berbagai kebijakan dan mekanisme. Masyarakat pasti akan menilai dan menunggu hasil dari satgas judi online ini. Masyarakat bisa menilai bagaimana gugus tugas ini menyelesaikan permasalahan.

Berbagai faktor dapat dijadikan kriteria, mulai dari pengungkapan dan penghindaran seluruh situs berbahaya, risiko celah keamanan pada halaman, hingga pengungkapan jaringan atau kartelisasinya, serta semua pihak yang terlibat di dalamnya. Bukan tidak mungkin bisa diungkap berbagai pihak bisnis dan pejabat atau perlengkapan yang terlibat di dalamnya.

Selain itu, rekomendasi kebijakan dan peraturan yang akan digunakan dalam pendekatan pencegahan dan pemberantasan perjudian online dan offline akan menjadi tolok ukur keberlangsungan dan stabilitas fokus pemerintah terhadap masalah ini.

Saya harap Satgas ini bukan sekedar rekayasa, lip service atau sekedar isyarat politik; namun juga sangat membantu menghilangkan permasalahan perjudian secara komprehensif dan memberikan manfaat terbaik bagi masyarakat.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours