Ekonom Prediksi BI Tahan Suku Bunga Acuan 6,25%, Ini Pertimbangannya

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan suku bunga acuan pada periode ini.

Pertimbangan pertama, pasca perayaan Idul Fitri, inflasi umum Indonesia menurun menjadi 2,84 persen (yoy) pada Mei 2024 dari 3 persen (yoy) pada April 2024 dan masih dalam kisaran sasaran BI.

Penurunan inflasi secara umum terjadi karena menurunnya permintaan konsumen pasca Idul Fitri dan stabilnya harga pangan akibat musim panen raya, kata Riefky dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (20/6/2024).

Laju inflasi saat ini masih dalam rentang target BI sebesar 1,5 persen hingga 3,5 persen. Penurunan inflasi ini terutama disebabkan oleh menurunnya permintaan konsumen pasca Hari Raya Idul Fitri yang terlihat dari penurunan laju inflasi kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau yang menurun menjadi 6,18 persen (yoy) pada tahun Mei 2024 mulai 7.04. persen (yoy) pada bulan April 2024.

Indonesia mencatatkan neraca perdagangan positif sebesar USD2,93 miliar pada Mei 2024, meningkat 7,61 persen (mtm) atau USD0,21 miliar dari USD2,72 miliar pada April 2024. Akibat pengaruh basis yang rendah, surplus perdagangan bulan Mei Bahkan meningkat sebesar 585,10 persen (yoy) secara tahunan karena nilai neraca perdagangan Mei 2023 tercatat tertinggi dan terendah dalam empat tahun terakhir.

“Pada Mei 2024, ekspor dan impor meningkat signifikan dibandingkan bulan sebelumnya, dan peningkatan neraca perdagangan secara keseluruhan didorong oleh peningkatan ekspor yang melebihi impor,” ujarnya.

Selain itu, keputusan The Fed menyebabkan arus modal keluar dan berkontribusi terhadap depresiasi rupiah sebesar 2,79 persen (mtm) pada pertengahan Mei hingga pertengahan Juni. Rupiah terdepresiasi sebesar 2,79 persen (mtm) pada pertengahan Mei hingga pertengahan Juni, mencapai level terendah sejak April 2020, terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS.

Antara pertengahan Mei dan pertengahan Juni, Rupiah terdepresiasi sebesar 2,79 persen setiap bulan, turun dari Rp15.950 per USD pada 17 Mei menjadi Rp16.395 per USD pada 14 Juni. Angka tersebut menandai level terendah sejak April 2020, saat awal pandemi Covid-19. Pelemahan nilai tukar Rupiah terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS yang berdampak pada mata uang global.

Baca Juga: BI Ungkap Acuan Arah Suku Bunga, Perry Warjiyo: Tak perlu naik lagi

Tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia; beberapa mata uang Asia lainnya juga menunjukkan pola depresiasi serupa. Misalnya, Baht Thailand, Ringgit Malaysia, dan Won Korea Selatan semuanya terdepresiasi terhadap dolar AS pada periode yang sama.

Pada tahun ini, Rupiah terdepresiasi sebesar 7,07 persen (ytd), menunjukkan kinerja yang moderat dibandingkan mata uang lainnya. Meski menghadapi tantangan tersebut, cadangan devisa Indonesia meningkat sebesar USD2,8 miliar, naik dari USD136,2 miliar pada April 2024 menjadi USD138,97 miliar pada Mei 2024.

Namun peningkatan cadangan devisa pada Mei 2024 memberikan buffer terhadap tekanan nilai tukar. Strategi tiga intervensi BI akan membantu mengelola volatilitas Rupiah. “Kami melihat sebaiknya BI mempertahankan suku bunga kebijakan di angka 6,25 persen,” tutupnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours