Hak Pesangon Karyawan Korban PHK Masih Belum Jelas, Pengusaha Tekstil Buka Suara

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Asosiasi buruh menyebut banyak perusahaan TPT yang menerapkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sejak akhir tahun 2023 yang belum membayarkan pesangon kepada karyawannya. 10 perusahaan tekstil lokal merumahkan 13.800 karyawannya karena alasan efisiensi atau menutup pabrik karena menurunnya permintaan pesanan sehingga berdampak pada keuangan yang tidak sehat.

Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) David Leonardi menjelaskan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) saat ini mengalami penurunan pembelian barang akibat masuknya pakaian impor dari China pasca liberalisasi impor. berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 20024.

Akibat harga yang tidak kompetitif, lanjut David, keuangan perusahaan TPT tersebut terkendala, sehingga tidak bisa menutupi biaya bulanannya dengan biaya tetap. “Industri TPT mempunyai biaya tetap setiap bulannya berupa gaji, listrik, energi dan lain-lain. Kalau industri TPT tidak ada order, otomatis perusahaan tidak bisa menerima dana,” jelas David kepada MPI saat dihubungi, Selasa. . (18.6.2024) .

David melanjutkan, kurangnya aliran pendapatan bagi perusahaan mengakibatkan inefisiensi dan bahkan penutupan pabrik pun tidak bisa dihindari. Kondisi ini juga menyebabkan terjadinya PHK massal yang diiringi dengan ketidakmampuan perusahaan tekstil membayar pesangon kepada karyawannya.

Oleh karena itu, perusahaan yang likuiditasnya tidak kuat lagi otomatis tidak mampu membayarkan pesangon kepada karyawannya, ujarnya.

Selain itu, David mengatakan maraknya produk impor yang mendominasi pasar tekstil lokal Indonesia dipicu oleh belum tegasnya regulasi pemerintah dalam melindungi pasar tekstil dalam negeri.

“Kondisi pasar saat ini kurang terlindungi oleh regulasi sehingga banyak produk yang bisa masuk ke Indonesia dengan harga lebih murah,” ujarnya.

David mengatakan, berdasarkan data impor sektor TPT, sektor tekstil dan produk serat paling banyak diimpor, sedangkan sektor pakaian jadi yang tidak terdaftar paling banyak diimpor.

Berdasarkan data impor yang tercatat, sektor TPT yang paling banyak diimpor adalah sektor kain sebesar 39,64%, disusul sektor serat sebesar 32,40%. Namun ada pula impor yang tidak tercatat pada sektor sandang, jelas David.

Lanjutnya, akibat impor yang tidak terdaftar tersebut, banyak industri TPT yang mengalami penurunan penjualan hingga berujung pada kebangkrutan dan PHK massal. David mengatakan, produk pakaian impor yang tidak terdaftar membuat penelusurannya sulit sehingga dipertanyakan apakah ia mengikuti aturan impor produk TPT.

“Impor tidak terdaftar menjadi faktor lain yang menyebabkan terjadinya PHK di industri TPT. Impor tidak terdaftar tidak dapat ditelusuri sehingga tidak jelas apakah produk tersebut memenuhi ketentuan impor TPT,” jelas David.

Sebelumnya, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPN) Ristadi mengatakan pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja industri TPT tidak bisa dihindari. Namun PHK massal masih menyisakan permasalahan pesangon bagi puluhan ribu pekerja yang terkena PHK.

“Belum jelas besaran pesangon pegawai TPT yang dipecat. Meski beberapa perusahaan masih dalam tahap negosiasi, namun masih ada perusahaan yang belum jelas solusinya,” jelas Ristadi kepada MPI. /2024).

Ristadi mengatakan, situasi tersebut diperolehnya berdasarkan informasi dari pekerja industri tekstil yang tergabung dalam KSPN. Ia mengatakan, ada satu perusahaan yakni TPT yang tidak bisa disebutkan namanya, yang manajemennya tidak membeberkan perundingan pemberhentian pekerja yang di PHK tersebut.

“Belum jelasnya pesangon membuat pihak manajemen perusahaan belum mengatakan apa-apa mengenai kemampuan karyawannya dalam membayar pesangon. Jadi masih belum jelas,” kata Ristadi.

“Sampai saat ini masih banyak pekerja TPT yang pesangonnya belum jelas. Belum dibayarkan,” lanjut Ristadi.

Di sisi lain, Ristadi mengatakan beberapa perusahaan TPT sedang melakukan negosiasi pesangon. Ia mencontohkan, perusahaan tekstil PT Sai Apparel asal Semarang, Jawa Tengah, berhasil menyelesaikan negosiasi pesangon karyawannya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours