Romley Atmasmita
Komentar menarik Didik J Rachbini (SINDOnews, 13 Agustus 2024). Dia mengatakan dalam artikelnya bahwa dia membuat analisis kritis terhadap ekonomi politik dan hukum masuknya batu bara.
Komentar Rachbini ini bertepatan dengan pemberitaan hangat di media sosial (Medsos) soal isu pengelolaan lahan pertambangan milik keluarga Presiden Jokowi, BN dan KA yang menjadi sorotan publik. Apakah oligarki merupakan ancaman bagi sistem perekonomian Indonesia?
Soal hikmah dan niat harus dikaji dari segi hukum, karena Indonesia adalah negara hukum. Permasalahan hukum oligarki di segala bidang kehidupan, khususnya pengelolaan sumber daya alam, terkait dengan kerja sama dan pengkhianatan, yang menurut undang-undang KKN diancam dengan pidana penjara 4 tahun (empat tahun) dan paling lama dua belas tahun. dan denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Jika tidak dikendalikan maka itulah cikal bakal lahirnya korupsi yang berbahaya, berbahaya dan menjadi penghambat tercapainya Indonesia sejahtera. Tentu saja ada anggota pemerintah di legislatif yang mengambil semua kebijakan, termasuk pengelolaan sumber daya alam, namun bukan berarti hanya pengadilan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menonton film tersebut. Itu saja. Jika selama ini korupsi sudah meluas dan merajalela. Jika hal tersebut dilakukan oleh kantor dan panitia antikorupsi, maka tidak ada bedanya dengan “alat pemadam kebakaran” yang tidak berfungsi atau berfungsi dengan baik.
Oligarki Indonesia selama 79 tahun kemerdekaan dan perannya meningkat setelah revolusi tahun 1998, dipicu oleh globalisasi perekonomian yang dipengaruhi oleh liberalisme, yang menekankan persaingan bebas di sektor perdagangan setelah pengakuan negara tersebut. . Perjanjian GATT-WTO dan UU No.7 Tahun 1974. Kelompok oligarki dapat bertahan dan berkembang karena bekerja sama dengan individu-individu pemegang kekuasaan melalui lembaga eksekutif dan legislatif. Bahkan, hal-hal penting bisa dimulai dari rapat kerja di DPR RI hingga Rencana Pembangunan Nasional.
Jaringan oligarki seperti ini bukannya pelanggaran hukum, namun menunjukkan habisnya integritas dan akuntabilitas dua pilar kekuasaan sehingga berujung pada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Indonesia ditetapkan sebagai negara hukum berdasarkan UUD 1945. Namun penerapan undang-undang tersebut ibarat garis batas untuk mencapai kejelasan, keadilan, dan manfaat sebesar-besarnya bagi 270 juta masyarakat Indonesia, karena 90% upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memperbaikinya gagal. Kasus korupsi.
Alasan utama sebenarnya bukanlah lemahnya ketentuan undang-undang, namun yang paling penting adalah ‘pembeli senjata’; Betapapun sempurnanya undang-undang DPR RI/DPRD dan Pemerintah/Pemerintah Daerah, yang jelas pemegang kekuasaan hukum itu lemah integritas, profesionalisme, dan akuntabilitasnya, jika tidak dikendalikan. . Hukum akan menjadi “bebek bebek” dan hanya akan ada di sana, seperti mesin di tengah gurun, tapi tidak di sana.
Lalu apakah kita, khususnya para sarjana dan praktisi hukum, duduk dan mengeluh setiap hari, bulan, dan tahun? Padahal, jiwa dan semangat Corsa sebagai abdi bangsa dan negara yang tangguh dan tangguh sangat dibutuhkan dalam keyakinan bahwa kemajuan dan keadilan harus terlaksana dan lahir di bangsa tercinta ini.
Contoh nyata dalam mengatasi permasalahan hukum dan penegakan hukum adalah selama 79 tahun asas hukum berlandaskan asas tiada kejahatan tanpa kesalahan, tetapi tidak benar, serta asas kemurnian dan praduga. Jelas bahwa prinsip perlakuan yang sama di depan hukum tidak cukup untuk mencapai hasil dan lebih banyak merugikan daripada membawa manfaat.
Pemikiran terkini tentang hukum adalah bahwa hukum bukan hanya sekedar asas atau praktik penegakan hukum yang formal, namun harus sejak awal diberikan pendidikan hukum dan pelatihan hukum bagi penegak hukum, untuk memahami dan memahami hukum. Inilah pencapaian falsafah dan pandangan hidup negara ini yaitu Panchasila. Lima sila Pancasila sering disebut, dan untuk itu dibentuklah badan khusus, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Namun hal ini tidak terwujud dalam standar moral individu di masyarakat atau di kalangan aparat penegak hukum.
Misalnya, seseorang yang memutuskan untuk dituduh melakukan tindak pidana tidak diperlakukan secara adil, yaitu bahkan setelah 14 hari tersangka tidak yakin kapan jenazahnya akan dibawa ke pengadilan ( Kuhap). ) disahkan, maka penyidik harus mengembalikannya ke kejaksaan, yang biasanya terjadi tanpa ada koreksi, karena tersangka mempunyai benda mati atau benda penyidikannya bukan benda.
Contoh terkini adalah ketika seorang politikus tanpa sadar ditunjuk sebagai saksi atau terdakwa dan jabatannya bertahan lebih dari 30 hari atau lebih dari 90 hari tanpa kejelasan nasibnya dan berakhir dengan kasus lanjutan atau skorsing. Kasus (SP3). Selain itu, permasalahan persaingan antar pembeli sering muncul dalam undang-undang, dan instrumen hukum digunakan sebagai perpanjangan kepentingan pembeli untuk “menenggelamkan/mengakhiri” pesaing dalam bisnis hanya karena kekuasaan dan uang. .
Hal ini mencerminkan hukum dan realitas masyarakat, yang merendahkan martabat Indonesia sebagai negara hukum dan pandangan negara terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.
+ There are no comments
Add yours