Indonesia Akan Jaga Laut China Selatan sebagai Kawasan Stabil dan Damai

Estimated read time 6 min read

JAKARTA – Indonesia ingin terus menjaga Laut Cina Selatan (LCS) sebagai kawasan yang stabil dan damai, dengan tetap menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982. Tidak ada pihak yang akan mendapatkan keuntungan dari perselisihan terbuka ini, termasuk Indonesia. Faktanya, semua orang yang terlibat akan menanggung beban konflik yang paling berat.

Panglima Komando Armada I TNI AL Laksamana Muda (Laksda) TNI Dr. Yoos Suryono Hadi, M.Tr (Han)., M.Tr. Opsla mengatakan Indonesia ingin menjadi arbiter yang jujur ​​dalam pertukaran klaim dan masalah keamanan maritim di Laut Cina Selatan.

“Indonesia berkepentingan untuk menentang kebijakan Nine Dash Line (China) dan perikanan tradisional Tiongkok di landas kontinen dan Indonesia di ZEE Laut Natuna Utara,” kata Yoos dalam webinar hybrid bertema “Bahaya dari “Konflik Laut Selatan Tiongkok Menuju Kemerdekaan Indonesia” yang berlangsung pada Selasa, 2 Juli 2024 dalam rangka Kajian Strategis dan Pertahanan Indonesia (ISDS) di Jakarta.

Laksamana Muda TNI Yoos mengatakan ada aktivitas tidak aman di kawasan Laut Cina Selatan. Konflik bisa muncul kapan saja. Saat ini terdapat enam negara penggugat yang terlibat dalam tumpang tindih klaim di Laut Cina Selatan. Negara-negara tersebut adalah Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam.

Di sisi lain, Indonesia merupakan negara yang tidak memiliki klaim atas sembilan garis putus-putus, namun klaim China atas sembilan garis putus-putus mengacu pada wilayah landas kontinen dan ZEE Indonesia di Laut Natuna bagian utara. Menurutnya, China tidak bisa secara sepihak melakukan klaim atas wilayah Laut China Selatan hanya berdasarkan data sejarah. Selanjutnya, landas kontinen dan ZEE Indonesia didasarkan pada hukum internasional UNCLOS 1982.

Sementara itu, pada tahun 2013, Filipina mengajukan sengketa Laut Cina Selatan ke Pengadilan Banding PBB di Den Haag, Belanda. Hasilnya, pengadilan menyatakan gugatan sepihak Tiongkok tidak sah. Pada 12 Juli 2016, pengadilan militer memutuskan bahwa Tiongkok tidak memiliki klaim atas Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Namun, Tiongkok belum siap menerapkan keputusan tersebut. “Keputusan Pengadilan Artibrase yang tidak dipatuhi oleh Tiongkok telah memperburuk perselisihan di Laut Cina Selatan, sehingga konflik dapat muncul sewaktu-waktu,” ujarnya.

Menurut Pangkoarmada I, pihaknya melakukan berbagai langkah strategis untuk menjaga kedaulatan Laut Natuna Utara. Pertama, TNI Angkatan Laut memindahkan markas Armada I dari Jakarta ke Tanjung Pinang di Kepulauan Riau. Belakangan, TNI Angkatan Laut juga memindahkan markas pertama Grup Pertempuran Laut I dari Jakarta ke Natuna.

Kebijakan ini jelas menunjukkan bahwa pimpinan TNI dan TNI AL menyadari kemungkinan konflik di Laut Cina Selatan berdampak dan mengancam kemerdekaan Indonesia, kata Laksamana Bintang Dua asal Matanz, Jawa Timur itu.

Untuk memprediksi dan menjamin keamanan Laut Natuna bagian utara, Laksamana Yoos mengungkapkan, Koarmada I melakukan berbagai patroli gabungan bersama Koops TNI AU. Selain menjamin keamanan Natuna bagian utara yang menjadi tugas pokoknya, Korps I juga melaksanakan operasi terencana. Termasuk operasi gabungan dengan TNI AU untuk keamanan ALKI I, termasuk perairan Natuna bagian utara.

Ia juga menyinggung Operasi Rakata Jaya Koarmada I yang bertujuan untuk mengisi kesenjangan wilayah yang tidak tercakup dalam operasi Mabes TNI, dengan wilayah operasi di perairan barat Indonesia termasuk Laut Natuna Utara. “Operasi tersebut mencakup berbagai unsur Koorama I yang dapat dikerahkan di Laut Natuna Utara sewaktu-waktu jika diperlukan,” ujarnya.

Dalam operasi tersebut, kelompoknya melakukan kontak dengan kapal asing yang melintasi Laut Utara Natuna dengan hak perjalanan damai dan kebebasan bepergian. Selain operasi, Koormada I juga menyita kapal ikan asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara. Patroli rutin membuat jumlah kapal asing yang melintas atau menangkap ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara semakin berkurang dari tahun ke tahun.

Menurut Laksamana Muda Yoos, TNI tidak bisa menjaga kedaulatan Laut Natuna Utara sendirian, melainkan harus bekerja sama dengan masyarakat. Hingga saat ini, TNI telah bekerja sama dengan masyarakat, khususnya di sekitar Kepulauan Natuna, sebagai bagian dari strategi mendukung kemerdekaan Indonesia.

Selain itu, Laksamana Yoos menyambut baik diadakannya kompetisi esai mengenai sengketa Laut Cina Selatan sebagai bagian dari upaya meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap permasalahan di kawasan. “Secara khusus, masyarakat yang tinggal di Natuna telah mendengarkan kami dan bekerja bersama kami untuk menjaga kemerdekaan ini. Jangan sampai Natuna menjadi seperti Sipadan dan Ligitan. “Meski kita belum masuk negara pemohon, tapi kita harus masuk,” ujarnya. .

Para pemenang lomba menulis ISDS kategori “Akademik” berfoto bersama Laksamana Muda TNI Dr. Yoos Suryono Hadi. Gambar/dokumen ISDS

Kompetisi menulis ISDS

Pada kesempatan ini ISDS mengumumkan pemenang ISDS Essay Competition di semua kategori. Proses pengumpulan karya berlangsung pada 4 Maret hingga 31 Juni pukul 23.59 WIB dengan tiga kategori yaitu masyarakat umum, akademisi, dan jurnalis. Juri kompetisi terdiri dari Duta Besar Indonesia untuk Filipina, Letjen. Jenderal TNI (purn) Agus Widjojo; Wakil Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksamana Madya TNI (Purn) Prof. DR Ir. Amarulla Octavian, ST., M.Sc., DESD., IPU., ASEAN.Eng; dan pendiri ISDS Edna Caroline.

Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, salah satu juri puncak, mengapresiasi kontribusi para peserta, khususnya dari sektor publik dan jurnalis, yang menurutnya fokus pada persoalan rata-rata. “(Kategori jurnalis) mungkin karena terus mengikuti permasalahan, jadi sudah spesialis. “Awalnya saya melihat ke bawah pada kategori umum, namun malah menemukan kategori tajam dengan rekomendasi yang sesuai dan detail,” ujarnya. Juga di bidang akademik.

Menurut Ketua Komite ISDS sekaligus Rekan Dwi Sasongko, proses persidangan sangat selektif. Dewan menerima 1.402 lowongan dari tiga kategori, yaitu masyarakat umum dengan 768 lowongan; Sektor akademik dengan 561 lapangan kerja; Departemen jurnalisme memiliki 73 posisi.

Panitia menyeleksi naskah dengan cermat dan teliti. Seleksi awal dilakukan oleh kelompok ISDS secara administratif dan dari segi isi dari setiap naskah yang dikirimkan kepada sisa 30 naskah terbaik dalam tiga bagian, masing-masing 10 naskah menjadi finalis. Tiga puluh naskah kemudian dikirim ke dewan juri untuk dilakukan blind review (tanpa menyebutkan nama dan lokasi lembaga yang menulis naskah tersebut). Tujuannya untuk melindungi integritas dan profesionalisme hakim. Juri memilih 18 karya terbaik, yang kemudian keluar sebagai pemenang kompetisi. 30 penyerahan terakhir akan dicatat dalam format PDF untuk didistribusikan kepada publik.

Melalui kompetisi ini, ISDS berharap dapat menggali ide, cara pandang dan solusi masyarakat mengenai ancaman konflik di Laut Cina Selatan dan dampaknya terhadap kedaulatan Indonesia. Dengan cara ini, kita dapat menciptakan kesadaran dan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah negara kita. Apalagi setelah China merilis peta Nine Dash Line, dimana China mengklaim hampir 90% wilayah Laut China Selatan, termasuk sebagian Laut Natuna Utara yang merupakan wilayah ZEE Indonesia menurut UNCLOS 1982. “Ancaman lainnya adalah kedaulatan dan teritorial.” “Integritas adalah persoalan serius yang harus kita hadapi bersama,” kata Dwi.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours