Invasi AS sebabkan stagnasi ekonomi dan perpecahan politik di Irak

Estimated read time 2 min read

Bagdad (ANTARA) – Pada 20 Maret 2003, saat sirene serangan udara dibunyikan di Bagdad, negara itu kembali dilanda kegelapan.

“Kami tidak mempunyai ambisi di Irak selain menghilangkan ancaman dan mengembalikan kendali negara kepada rakyat kami,” kata Presiden Amerika Serikat (AS) saat itu, George W. Bush, dalam sebuah pernyataan.

Setelah mengetahui invasi Amerika Serikat, Hussein Ali Saeed, pensiunan pekerja minyak Irak di Kirkuk, dan rekan-rekannya membakar semua bahan yang berhubungan dengan ekstraksi minyak.

“Jika kita tidak menghilangkan hal ini, Amerika Serikat pasti akan mencari masalah,” katanya.

Naluri Hussein berasal dari penderitaan negaranya di masa lalu. Mantan Ketua Federal Reserve Alan Greenspan mengakui dalam memoarnya: “Saya sedih karena sulit secara politis untuk mengakui apa yang sudah diketahui hampir semua orang: perang di Irak terutama terjadi karena minyak.”

“Sepertinya sejarah terulang kembali karena invasi AS telah membuat kita mundur 100 tahun,” kata Hussein dengan getir.

Pada tahun 1970-an, dengan menurunnya dominasi ekonomi Amerika Serikat dan runtuhnya sistem Bretton Woods, dolar tidak lagi mempunyai hubungan langsung dengan emas. Untuk mempertahankan hegemoni dolar, Amerika Serikat mengikatnya pada minyak dan menciptakan sistem petrodolar.

Sementara itu, Irak beralih dari dolar ke euro dalam perdagangan minyak pada tahun 2000, yang merupakan ancaman terhadap sistem petrodolar. Setelah invasi tahun 2003 dan jatuhnya pemerintahan Saddam Hussein, Amerika Serikat memerintahkan pemulihan ekspor minyak Irak dalam dolar AS.

Invasi AS menghancurkan Irak. “Standar hidup dasar memburuk, dana pensiun rendah, orang lanjut usia kehilangan akses terhadap layanan kesehatan dan terkadang bahkan persediaan makanan tidak menentu,” kata Hussein.

Pada tahun 2011, militer AS menarik diri dari Irak, sehingga menciptakan masalah terorisme yang serius di negara yang terperosok dalam stagnasi ekonomi dan perpecahan politik. Diperkirakan lebih dari 200.000 warga sipil dan lebih dari 9 juta orang tewas dalam perang dan kekerasan di Irak.

“Minyak harus menjadi sumber kebahagiaan bagi rakyat Irak. Namun, minyak telah menjadi kutukan bagi negara ini selama lebih dari satu abad,” kata Hussein.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours