Jalan panjang menuju penguatan industri BPR dan BPRS

Estimated read time 8 min read

Jakarta (ANTARA) – Sebanyak 12 bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) yang tutup pada lima bulan pertama tahun ini menarik perhatian terhadap pelaksanaan penatausahaan bank-bank yang dikenal dengan bank komunitas tersebut. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengucurkan sekitar 300 miliar rupiah untuk 12 BPR yang bangkrut.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan rata-rata jumlah BPR yang dicabut izinnya memiliki permasalahan penipuan yang serius. Meskipun skala kegagalan BPR tidak terlalu besar – dibandingkan dengan, misalnya, kegagalan bank umum – perbankan masih sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat, sehingga kepercayaan harus dijaga dengan ketat.

Direktur Jenderal Pengawasan Perbankan OJK Dian Ediana Rey mengatakan, pembatalan izin BPR-BPRS tidak direncanakan oleh otoritas sehingga otoritas belum bisa memastikan apakah akan membatalkan BPR-BPRS dalam waktu dekat. lisensi lagi.

Meski demikian, bisa dipastikan OJK akan terus melakukan pemeriksaan intensif terhadap seluruh BPR-BPRS untuk memastikan mampu memenuhi kewajibannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tentang Pembangunan dan Penguatan Sektor Keuangan Tahun 2023 (UU P2SK ), termasuk tidak lagi memberikan toleransi terhadap permasalahan terkait penipuan.

Jumlah BPR dan BPRS terus berkurang dari 1799 BPR dan BPRS pada tahun 2016 menjadi 1575 BPR dan BPRS pada tahun 2023. Terakhir kali tercatat jumlah BPR dan BPRS adalah 1562: een pada bulan April 2024. Namun perlu diingat, penurunan jumlah BPR dan BPRS ini menurut OJK sebagian besar disebabkan oleh langkah konsolidasi, baik melalui merger maupun konsolidasi.

Secara umum kinerja BPR-BPRS masih dalam kondisi baik. Per Maret 2024, total aset BPR dan BPRS meningkat 7,34 persen year-on-year menjadi Rp 216,73 triliun. Penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) BPR dan BPRS meningkat 8,60 persen year-on-year menjadi Rp158,8 triliun. Kemudian, penyaluran pinjaman dan pembiayaan meningkat 9,42 persen year-on-year menjadi 161,90 triliun rupiah.

Namun pertumbuhan penyaluran kredit dan pendanaan kepada BPR dan BPRS belum dibarengi dengan rasio kredit bermasalah (NPL) terhadap non-performing finance (NPF) yang baik. Per Maret 2024, NPL BPR sebesar 10,70 persen dan NPF BPRS sebesar 7,44 persen.

Di sisi lain, rasio kecukupan modal (CAR) BPR dan BPRS menunjukkan fleksibilitas yang baik. Pada Maret 2024, CAR BPR dan BPRS masing-masing sebesar 32,60% dan 23,56%, jauh di atas ambang batas.

Terkait aspek permodalan, Keputusan EYVL (POJK) no. 5/2015 dan POJK No. 66 Tahun 2016, BPR dan BPRS harus mencapai modal tingkat 1 minimal Rp 6 miliar paling lambat akhir tahun 2024 bagi BPR dan akhir tahun 2025 bagi BPRS.

OJK menyebutkan pada April 2024, terdapat 1.206 BPR dan BPRS yang memiliki modal terdaftar lebih dari 6 miliar rupiah, bahkan 103 di antaranya memiliki modal terdaftar lebih dari 50 miliar rupiah. Dengan kata lain, masih ada sekitar 356 pekerjaan rumah bagi BPR dan BPRS yang modal intinya masih kurang dari Rp 6 miliar.

Dalam Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Industri BPR dan BPRS 2024-2027, OJK mencatat BPR dengan modal inti kurang dari Rp6 miliar cenderung memiliki kinerja lebih buruk dibandingkan BPR dengan modal inti sama.

Berdasarkan analisis resmi, BPR dengan modal inti di bawah Rp 6 miliar memiliki pertumbuhan aset dan kredit yang lebih rendah dibandingkan rata-rata industri, cenderung mengalami kerugian atau imbal hasil negatif, memiliki risiko kredit yang tinggi, dan tata kelola yang paling rendah. kepatuhan – hal ini juga dapat dikaitkan dengan banyaknya kasus penipuan dan pencabutan izin usaha.

Oleh karena itu, aspek permodalan menjadi tantangan paling mendasar dan mendasar yang harus diselesaikan oleh BPR dan BPRS. Menurut OJK, BPR dan BPRS dapat meningkatkan pendapatan organik atau penanaman modal, menarik investor baru, bahkan melakukan merger atau penggabungan dengan BPR lain untuk memenuhi persyaratan regulasi.

Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Ariantho Muditomo menilai BPR dan BPRS menghadapi beberapa tantangan dalam memenuhi kebutuhan modal Tier 1, salah satunya adalah terbatasnya ketersediaan modal, terutama bagi BPR di daerah terpencil yang tidak terdeteksi oleh investor.

Tantangan lainnya adalah terbatasnya kemampuan BPR dan BPRS dalam menghasilkan pendapatan sehingga mempersulit penggalangan modal organik. BPR, terutama yang berskala kecil, mungkin juga tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola tambahan modal tetap dan proses konsolidasi.

“Hal terpenting setelah mengetahui tantangan ini adalah mencari solusinya. “Diantaranya adalah relaksasi ketentuan regulasi untuk memberikan peluang bagi BPR-BPRS, kemudahan akses permodalan/investor ke BPR-BPRS dan peningkatan kapasitas pengelolaan yang salah satunya dapat dilakukan oleh asosiasi yang berwenang,” kata Arianto.

Sejalan dengan penguatan permodalan, OJK mendorong BPR dan BPRS untuk melakukan konsolidasi, khususnya BPR dalam satu pemilik atau kendali melalui kebijakan kehadiran tunggal. Konsolidasi juga didorong terutama bagi perusahaan BPR yang tidak memenuhi ketentuan modal minimum.

Selain mampu memperkuat struktur dan permodalan BPR-BPRS sehingga mampu menjaga stabilitas dan ketahanan terhadap guncangan keuangan, strategi konsolidasi juga dinilai mampu meningkatkan daya saing BPR-BPRS secara konsolidasi sehingga diharapkan bersaing dengan bank komersial dan lembaga keuangan lainnya.

Sedangkan konsolidasi melalui penggabungan atau peleburan harus selesai dalam waktu dua tahun untuk BPR pemerintah non-daerah (Pemda) dan tiga tahun untuk BPR pemerintah daerah POJK No. 7/2024 berlaku. Nantinya, BPR milik Badan Usaha Milik Negara akan berada di bawah Bank Pembangunan Daerah (RDB). Sebab, BPD dinilai mempunyai peluang lebih besar untuk diselamatkan jika terjadi sesuatu pada BPR-BPRS.

Arianto meyakini, penggabungan BPR milik pemerintah daerah ke dalam BPD akan menciptakan sinergi produk dan layanan serta basis nasabah yang lebih luas, karena BPRD mempunyai kemampuan dan kebebasan dalam menawarkan produk dan layanan perbankan. Di sisi administratif, pengawasan, manajemen risiko dan ketersediaan sumber daya yang lebih banyak diperkuat. BPR juga menerapkan fleksibilitas dan ketahanan operasional seperti BPD.

Dari sisi bisnis dan jaringan, penggabungan BPD memperluas jaringan BPR terkait. Misalnya, BPD mempunyai koneksi bisnis yang luas dan pengalaman mengelola dana pemerintah daerah, sehingga dapat membantu BPR jika mempunyai permasalahan dengan nasabah pemerintah daerah yang dilayaninya. Penggabungan ini juga dapat menciptakan sinergi yang lebih besar antara BPD dan BPR, sehingga mendukung perekonomian daerah dan masyarakat, termasuk UKM.

Namun, karena konsolidasi yang memperkuat BPD, perlu juga diwaspadai tindakan pemerintah daerah yang berlebihan, yang dapat menghambat kinerja BPD konsolidasi yang efektif dan merespons dinamika pasar.

Arah politik

Setelah menerbitkan roadmap terbaru pada Mei lalu, OJK menetapkan arah kebijakan pengembangan dan penguatan industri BPR-BPRS dalam jangka menengah yakni 2024-2027. Pada intinya roadmap ini merupakan penyempurnaan dari roadmap sebelumnya yakni Roadmap Perbankan Indonesia Industri BPR dan BPRS (RBPR-S) 2021-2025.

Secara keseluruhan, kedua peta jalan tersebut tetap menekankan penguatan struktur dan daya saing, percepatan digitalisasi, penguatan peran BPR di daerah, serta penguatan regulasi, perizinan, dan pengawasan. Bedanya, RP2B 2024-2027 lebih menekankan pada pilar penguatan struktural dan daya saing untuk memperbaiki tantangan inti BPR-BPRS.

Fokus kebijakan pilar pertama disebut dengan kebijakan “quick win” yang dilaksanakan antara lain melalui penguatan permodalan dan percepatan konsolidasi, serta terus memperkuat tata kelola dan manajemen risiko untuk menjaga bisnis BPR-BPRS tetap jujur ​​dan jujur. stabil. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika OJK kini fokus pada upaya penguatan permodalan dan konsolidasi BPR-BPRS.

Untuk keperluan administrasi, OJK sebenarnya telah menerbitkan peraturan terkait yang tertuang dalam POJK no. 4/2015 untuk BPR dan POJK no. 24/2018 untuk BPRS. OJK juga menerbitkan pengaturan manajemen risiko dalam POJK no. 13/2015 untuk BPR dan POJK no. 23/2018 untuk BPRS.

Namun sebagaimana dalam dokumen RP2B, OJK menyatakan penerapan tata kelola yang baik di BPR-BPRS masih tergolong rendah, terutama terkait kelengkapan pengurus dan struktur pengurus. BPR yang tidak mempunyai jumlah direksi dan pejabat yang ditetapkan adalah BPR dengan modal terdaftar kurang dari 6 miliar rupiah dan antara 6 miliar hingga 15 miliar rupiah.

OJK tampaknya sedang menyelesaikan aturan tata kelola BPR-BPRS karena Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara mengatakan rancangan POJK (RPOJK) sedang dalam tahap penyelesaian.

Penyempurnaan dan penguatan pelaksanaan tata usaha BPR-BPRS antara lain dengan penguatan ketentuan pemberhentian/penggantian pengurus, penguatan ketentuan remunerasi dan dividen, penguatan ketentuan tata usaha BPR-BPRS agar tidak memberikan manfaat. termasuk intervensi pemegang saham.

Selain itu, penatausahaannya juga mencakup penguatan koordinasi satuan kerja atau fungsi audit internal dengan OJK, penyusunan rencana bisnis untuk mengoptimalkan peran pemegang saham pengendali (PSP) dalam menyelesaikan permasalahan BPR-BPRS, serta menetapkan kebijakan yang efektif, proporsional, dan preventif. sanksi .

Diharapkan dengan langkah-langkah tersebut tantangan struktural dapat diatasi sehingga industri BPR-BPRS dapat mulai menerapkan mekanisme yang lebih maju dalam isu-isu lain seperti digitalisasi, termasuk aksesibilitas dan peningkatan dukungan TI pada sumber daya manusia. peran dan kontribusinya terhadap kawasan.

Akselerasi digital menjadi sebuah kebutuhan bagi industri perbankan, khususnya di masa pandemi COVID-19. Penerapan teknologi digital diperlukan untuk meningkatkan efisiensi, memperluas jangkauan layanan dan bersaing dengan bank lain.

Beberapa tantangan terbesar BPR dalam menghadapi digitalisasi meliputi keterbatasan infrastruktur dan teknologi, termasuk memerangi serangan siber; Anda tidak memiliki pengalaman dalam mengembangkan dan mengelola produk/layanan digital; perlunya membangun kepercayaan nasabah, sebagaimana sebelumnya dikenal sebagai bank tradisional yang tidak melayani digital; dan kemampuan untuk membiayai operasi digital yang relatif lebih mahal

Di sisi lain, literasi digital penting dalam transformasi digital BPR-BPRS. Selain melatih talent internal, strategi lain yang bisa diterapkan untuk mempercepat literasi digital staf HR adalah dengan mendatangkan tenaga ahli eksternal yang siap pakai. Namun perlu diperhatikan adaptasi dan internalisasi budaya kerja agar tidak terjadi konflik budaya yang menghambat digitalisasi.

Secara geografis dan budaya, BPR lebih dekat dengan masyarakat di wilayahnya sendiri, sehingga diharapkan dapat berperan dan berkontribusi lebih besar, khususnya dalam penyaluran kredit dan pembiayaan usaha mikro. Kini, meski bank umum/tradisional mulai menawarkan berbagai jenis pembiayaan kepada UKM, BPR-BPRS dinilai masih memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan.

Kedekatannya dengan masyarakat setempat memungkinkan BPR untuk lebih memahami kebutuhan dan keadaan spesifik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di wilayahnya. Selain itu, BPR cenderung memiliki proses pengajuan pinjaman yang lebih sederhana dan cepat serta menawarkan pembiayaan dengan persyaratan yang lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kemampuan UKM.

Jaringan BPR-BPRS menyasar wilayah dan dapat menjangkau serta melayani nasabah di wilayah yang mungkin tidak terjangkau oleh bank sektor publik. Meski terdapat persaingan dengan bank umum, BPR diyakini masih memiliki ruang untuk tumbuh dan berperan penting dalam mendukung UKM. Dengan mempertahankan keunggulan kompetitif dalam inovasi dan layanan personal, fleksibilitas dan pemahaman lokal, BPR-BPRS dapat terus menjadi pilihan terbaik bagi UKM.

Redaktur: Ahmad Zaenal M

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours