Sumber pendapatan utama Kerajaan Majapahit adalah pajak yang dipungut dari warganya. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, banyak pajak yang dipungut untuk merangsang perekonomian masyarakat, termasuk pembangunan infrastruktur sosial.
Berdasarkan catatan sejarah, ada lima jenis yang biasanya berasal dari Kerajaan Majapahit. Majapahit sendiri menunjuk pejabat pajak yang bertanggung jawab dalam pemungutan pajak. Pajak yang pertama adalah pajak tanah.
Pentingnya tanah membuat Kerajaan Majapahit menerapkan pajak tanah untuk pendapatan nasional. Demikianlah ketentuan yang berkaitan dengan penggunaan tanah pada karya hukum Majapahit (Nagarakrtagama, rabya haft LXXXVIII).
Demikian dikutip dari “Perpajakan Masa Majapahit” karya Djoko Dwijanto dalam “Antologi 700 Tahun Majapahit (1293 – 1993)”.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa lahan tersebut harus diolah secara intensif agar produksinya besar dan menguntungkan. Sebaliknya jika tanah tersebut dilepaskan maka pemiliknya akan dikenakan denda oleh raja.
Adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan lahan dapat mendorong pesatnya pengolahan lahan.
Sekali lagi, jangka waktu setelah pembayaran manfaat lebih besar adalah tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian masyarakat dan pemerintah.
Tanah tersebut juga memberikan keuntungan bagi pemerintahan Kerajaan Majapahit; Terutama mereka yang menghasilkan pajak besar. Pajak atas penggunaan air pertanian juga dikenakan pada lahan pertanian.
Pajak kedua adalah pajak bisnis. Misalnya saja dibagi menjadi tiga kategori yaitu pajak perdagangan dan jenis pajak yang dipungut oleh Kerajaan Majapahit.
Pajak bisnis disebut ‘panema’ dan dikelola oleh pejabat pajak bisnis yang disebut ‘lingkaran haft madrawya’.
Selain itu pajak usaha bagi pedagang antara lain sering disebut bantyaga atau wantyaga atau apeken dan sambyawahara.
Pajak dagang ini dipungut oleh para pejabat kerajaan kepada para pedagang barang pajak yang berupa pipa dagang atau barang dagangan.
Dasar pengumpulannya adalah jenis produk; Misalnya dasar kumpulan hewan (sapi, kambing, babi, dan bebek) dihitung berdasarkan jumlah bagian yang disebutkan dalam satuan prana atau tuban.
Lalu ada pajak kerajinan tangan yang disebut Paure. Pajak ini dikenakan kepada kelompok kerajinan tangan termasuk kelompok pande dan misra.
Pande adalah Pande Mas (emas); wst (logam); tamra atau tamwaga (kuningan); gagak (gagak); gansa (gamelan), kawat (?), glang (gelang) Mereka adalah perajin benda logam seperti manik-manik. (Perisai panjang), bernyanyi- Singen.
Misra adalah sekelompok seniman non-metal; penenun selendang; manganamanam (panen); magawe rungki (sejenis payung, biasanya dengan tali magawe); magawe suri (sisir, pembuat), mangula (pembuat gula).
Seperti halnya bisnis, para perajin ini diketahui dikenakan pajak karena adanya pembatasan pada pekerjaan mereka.
Basis pajaknya bukan berdasarkan jumlah kerajinannya, melainkan konstruksinya. ubban wawwan paean atau paryyan; Satuan tutur atau tangki membangun, ubunan wawwan Dihitung berdasarkan kata atau tangki yang merupakan bagian kerja pande. bengkel).
Pajak properti dikaitkan dengan bisnis bernama Atitih dan Parahu, yang tidak membayar pajak di wilayah Sima. Transportasi mengacu pada hewan (kuda, keledai, sapi, gajah); Kereta wagon berupa gerobak sapi dan perahu yang disebut sasapen giling.
Sebagai negara maritim, Majapahit memiliki banyak jenis perahu; perahu masungran tanpa kemudi; parahu pawalijan, parahu banawa, pakbowan, jurag, panggaran, pawalijan, biliran, welah galah dan panggayan (teks Wimalasrama).
Meski jumlahnya tidak diketahui, namun dasar pengenaan pajaknya berbeda-beda untuk setiap kapal. Kemudian pajak profesional menjadi salah satu bentuk pajak pemerintah.
Karena berkembangnya keterampilan tersebut, pemerintah Majapahit biasa memungut pajak. Selain itu, terdapat spesialisasi pada jenis pekerjaan yang dilakukan secara profesional.
Selain petani dan nelayan, pedagang tukang kayu dan penjual jasa seperti Abol; Aringis, Mattukan Ada juga Samakha dan Byaga.
Yang terakhir ini termasuk dalam komunitas Kilalan; Itu berarti orang-orang menyukai hasilnya. Ini mengacu pada wajib pajak atau wajib pajak. Belum diketahui bentuk dan besaran pajak yang akan dipungut, khususnya bagi warga Kilalan.
Dalam catatan tersebut, ketika pembatasan diberlakukan pada area stma, hanya unit yang ditunjuk yang tersedia; Misalnya padabt satuan tangkep, disebut tankan atau kilan. Jadi dapat diketahui bahwa pajak tersebut dipungut pada setiap bagian parahi.
Pajak yang keempat adalah pajak yang dikenakan terhadap orang asing yang bertempat tinggal di wilayah Majapahit. Orang asing dari berbagai negara seperti Arya, Barbara, Bible Camp, China Karnataka Clean, mengadakan Mambang Mandira Reminder, Singala.
Orang-orang ini adalah pembayar pajak, karena mereka tinggal di Kilalan, orang asing disebut kiteran. Keterangan mengenai hal itu disebutkan dalam prasasti Wurudu Kidul tahun 922 Masehi.
Dokumen ini menjelaskan tentang proses peradilan dalam hal kewarganegaraan seseorang. Sang Dhanadi, warga Wurudu Kidul, menduga dirinya orang Khmer, namun saat menjalani proses hukum, ia menolak mengambil akta tersebut karena tidak bisa membuktikan tuduhan tersebut.
Jenis pajak terakhir yang dipungut adalah pajak eksploitasi sumber daya alam (SDA). Jenis usaha yang dikenakan pajak antara lain usaha yang mengambil sumber daya alam secara langsung.
Perahu nelayan (biltran) sebagaimana disebutkan dalam teks Wimalasama; Perusahaan pemilik kapal dan jaring diketahui memungut pajak atas eksploitasi sumber daya laut.
Namun besarnya pajak yang dipungut dan waktu dipungutnya tidak dapat dipastikan dari teks. Namun dari sudut pandang lingkungan hidup, ketentuan ini dapat dianggap sebagai solusi untuk mencegah kerusakan lingkungan akibat eksploitasi yang berlebihan.
Dalam daftar Hajdrabiya Manila, parayipanpan bisa berarti pejabat yang memberikan denda kepada mereka yang menebang pohon secara ilegal.
+ There are no comments
Add yours