Kapal Bekas dan Masa Depan Kerja Sama Alutsista Indonesia-Korsel

Estimated read time 10 min read

Kabar meresahkan datang dari dunia alutsista Indonesia. Mengapa tidak? Kementerian Pertahanan (Kemkhan) gencar melakukan pengadaan kapal perang terbaru, seperti Offshore Patrol Vessel (OPV) kelas Thaon di Revel, dan membangun berbagai jenis kapal perang – mulai dari fregat, OPV hingga KCR – dengan partisipasi PT PAL. dan sejumlah galangan kapal swasta. Di dalam negeri, kementerian yang dipimpin Presiden terpilih Prabowo Subianto rupanya masih giat membeli kapal perang bekas.

Baca juga: Wakil Menteri Pertahanan angkat bicara soal sulitnya membeli alutsista baru

Keputusan pembelian kapal bekas di Korea Selatan (Korsel) diambil dalam rapat panitia I DPR dengan Kementerian Pertahanan, Kamis (6/6). Anehnya, kapal yang akan diakuisisi hanya kapal perang korvet kelas Pohang. Yang lebih mengejutkan lagi, meski berstatus hibah, pemerintah harus mengalokasikan dana sebesar US$35 juta atau setara Rp569,97 miliar untuk memperbaiki struktur, melengkapi, dan meningkatkan sistem kendali tempur atau sewaco (sensor, senjata, dan komando). ).

Sumber pendanaan tersebut diasumsikan masuk dalam anggaran rencana strategis (renstra) Kementerian Pertahanan tahun 2025-2029. Apakah Indonesia memang perlu membeli kapal bekas tersebut? Apakah korvet kelas Pohang mampu memberikan efek jera bagi keamanan wilayah laut NKRI? Mengingat dinamika geopolitik di kawasan saat ini, tampaknya tidak ada preseden yang mengharuskan Departemen Pertahanan mengambil keputusan drastis ini. Selain itu, dari segi pencegahan, kapal perang jenis korvet tidak mungkin bisa mencapainya.

Jadi satu-satunya pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah keputusan tersebut didominasi oleh pertimbangan politik? Pertanyaan selanjutnya adalah apa urgensi akuisisi kapal-kapal tersebut dalam rangka kerja sama alutsista Indonesia atau lebih luas lagi hubungan diplomasi dan pertahanan dengan negeri Ginseng tersebut?

Hal yang mendasari hal ini adalah dinamika kerja sama Indonesia dan Korea Selatan di bidang alutsista yang bisa dikatakan berada pada level terendah. Buktinya adalah kontroversi yang menyertai proyek kolaborasi KFX/IFX dan terhentinya pembangunan kapal selam Kelas Chang Bogo Batch II. Misalnya pada kemitraan KFX/IFX, hingga Juni 2024 belum ada kabar terkini mengenai kekurangan pembayaran dari Indonesia.

Seperti diketahui, dalam proyek kerja sama yang dimulai pada tahun 2010, awalnya Indonesia setuju untuk membayar 20% (1,7 triliun won) dari total biaya pembangunan sebesar 8,1 triliun won atau sekitar 121,35 triliun rupiah. Seluruh dana tersebut digunakan untuk memproduksi 120 pesawat tempur untuk Korea Selatan dan 48 pesawat tempur untuk Indonesia.

Sejauh ini, pemerintah telah membayar sekitar 300 miliar won untuk proyek tersebut, yang disebut KFX/IFX, yang kemudian disebut KF-21 Boromae oleh Korea Selatan, namun tidak ada tenggat waktu pembayarannya. Namun di sisi lain, keterlambatan pembayaran juga terkait dengan tidak terpenuhinya kewajiban yang diminta Indonesia kepada Korea Selatan.

Sebelumnya diberitakan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan periode 2010-2013, Marsdya (Purn) Eris Gerianto, mengatakan keterlibatan tersebut antara lain soal keterlibatan sumber daya manusia (SDM) Indonesia bukan Yang diharapkan adalah tersedianya beberapa teknologi dasar yang tidak mampu disediakan oleh Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia. Selain itu, Negeri Paman Sam juga tidak mengizinkan ekspor ke Indonesia dalam bentuk komponen LRU/subsistem atau teknologi lainnya, meskipun LRU dan teknologi lainnya mulai digunakan pada prototipenya (KF 21 Boromae).

Setelah perjuangan yang panjang dan sulit, Korea Selatan melaporkan pada Mei 2024 bahwa mereka telah menerima tawaran Indonesia untuk mengurangi pembagian biaya untuk program jet tempur KF-21. Tentu saja ada syaratnya, yakni negara ginseng tersebut akan memberikan transfer teknologi yang lebih sedikit.

Belum diketahui berapa besaran yang harus dibayarkan. Namun, Indonesia telah menawarkan untuk membayar 600 miliar won (US$442,3 juta) untuk proyek KF-21 pada tahun 2026, naik dari semula 1,6 triliun won. Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA) Korea Selatan berharap dapat menyelesaikan keputusan komite peninjau pada akhir Mei 2024 untuk menghindari penundaan proyek pengembangan, yang dijadwalkan akan selesai pada tahun 2026.

Kerjasama strategis khusus

Pada September 2023, hubungan diplomatik Indonesia dan Korea Selatan akan tepat berusia 50 tahun. Meski sudah lama berlalu, namun pada tahun 2017 terjadi kemajuan dalam hubungan kedua negara yang ditandai dengan kunjungan kenegaraan Presiden Moon Jae-in ke negara tersebut pada tanggal 8-10 November.

Baca juga: Beli Alutsista, Apakah Indonesia Berisiko Perang?

Seperti dilansir dalam website www.kemlu.go.id, dalam kunjungan bertajuk “Deklarasi Bersama tentang Visi Republik Korea dan Republik Indonesia untuk Kesejahteraan Bersama dan Perdamaian”, Presiden Moon Jae-in dan timpalannya Presiden Joko Widodo sepakat untuk meningkatkan status kemitraan strategis menjadi kemitraan strategis khusus.

Kemitraan baru ini berfokus pada kerja sama di empat bidang, yaitu: pertahanan dan hubungan luar negeri, perdagangan bilateral dan pembangunan infrastruktur, pertukaran antar manusia, serta kerja sama regional dan global. Penguatan hubungan dan kerja sama bilateral merupakan hal yang tepat karena adanya saling melengkapi sumber daya dan keunggulan masing-masing negara. Di sisi lain, kemajuan ekonomi dan kerja sama politik kedua negara turut menyebabkan peluang kerja sama di berbagai bidang semakin terbuka.

Di sektor keuangan misalnya, Korea Selatan merupakan sumber investasi yang strategis. Indonesia menduduki peringkat ke-2 setelah Vietnam di antara 8 negara ASEAN (19,10%) dan peringkat ke-3 dari 91 tujuan investasi Korea di dunia (7,47%). Korea Selatan juga merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia.

Hubungan militer dan pertahanan kedua negara juga meningkat. Dorongan tersebut ditandai dengan kerja sama pengadaan alutsista dari industri pertahanan Korea Selatan untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI. Akuisisi yang dilakukan Indonesia antara lain Panzer Tarantula untuk TNI Angkatan Darat, kapal selam kelas Changbogo untuk TNI Angkatan Laut, jet tempur T-50iGolden Eagle, dan pesawat latih ringan KT-1B untuk TNI AU.

Keistimewaannya, pembelian senjata juga sudah termasuk Transfer of Technology (ToT) seperti Kapal Selam Chang Bogo dan Tarantula Panzer. Sebelumnya, TNI Angkatan Laut juga membeli kapal landing platform kelas Banjarmasin doc (LPD), dengan rencana sebagian kapal tersebut dibangun di Galangan Kapal Nasional PT PAL Surabaya. Di sisi lain, Korea Selatan telah mengakuisisi alutsista produksi berupa pesawat CN-235 untuk digunakan oleh Angkatan Udara Republik Korea (ROKAF) dan Penjaga Pantai Korea (KCG) sebagai bentuk keuntungan komersial.

Selain belanja alutsista, hubungan militer Indonesia-Korea Selatan juga diwarnai dengan dilaksanakannya pelatihan personel militer di fasilitas pelatihan Presidential Security Service (PSS) Korea Selatan. Kunjungan pertukaran delegasi militer sering diadakan. Kedua negara juga saling mengirimkan pasukan dalam misi pelatihan di berbagai tingkatan.

Buku putih pertahanan juga menegaskan bahwa Korea Selatan merupakan mitra penting bagi Indonesia dalam membangun kemampuan pertahanan dan meningkatkan profesionalisme prajurit TNI. Tercatat, Indonesia dan Korea Selatan memiliki perjanjian kerja sama pertahanan.

Baca Juga: Galangan Kapal Swasta Terkemuka Dorong Kemandirian Alutsista

Kerja sama pertahanan yang diharapkan mencakup dialog bilateral rutin dan konsultasi mengenai isu-isu strategis dan keamanan. pertukaran pengalaman dan informasi pertahanan; pertukaran personel untuk pelatihan profesional dan penelitian bersama; pertukaran data ilmu pengetahuan dan teknologi, tenaga ahli, teknik, pelatih dan kerjasama teknis lainnya sesuai dengan kepentingan pertahanan; angkatan bersenjata; bantuan material dan teknis serta dukungan pertahanan; dan pasokan peralatan pertahanan.

Dihapus dari kompetisi

Dorongan kerja sama yang erat antara Indonesia dan Korea Selatan muncul pada tahun 2004 ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membeli 4 kapal LPD kelas Makassar dari Daesun Shipbuilding & Engineering Co. dengan skema ToT yaitu 2 kapal yang dibangun oleh Korea Selatan dan 2 lainnya oleh PT PAL. Transfer pengetahuan juga memungkinkan PT PAL untuk membangun dan mendesain ulang kapal jenis ini bahkan mengekspornya ke Filipina dan Uni Emirat Arab (UEA).

Setelah sukses besar kerja sama LPD, kerja sama alutsista Indonesia-Korea Selatan menunjukkan tren yang semakin intensif, ditandai dengan akuisisi kapal selam Chang Bogo pada akhir tahun 2011 dan terkenalnya proyek kerja sama KFX-IFX yang berlangsung pada masa tersebut. Presiden SBY. Untuk kapal selam, Indonesia dan Korea Selatan telah menyelesaikan Batch I yang memproduksi KRI Nagapasa-403, KRI Ardadeli-404, dan KRI Alugoro-405.

Namun, belakangan ini muncul kendala performa pada kapal selam yang dibangun Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) Co Ltd, hingga TNI Angkatan Laut disebut tidak mengoperasikannya karena berisiko. Oleh karena itu, akuisisi Lot II yang diharapkan dapat membangun tiga kapal Chang Bogo tidak lagi menjadi prioritas. Bahkan, DSME dikabarkan telah memesan sejumlah suku cadang untuk persiapan produksi batch II.

Begitu pula dengan proyek kolaborasi KFX-IFX yang juga menghadapi banyak kendala. Situasi belakangan ini diperparah dengan drama penahanan seorang insinyur Indonesia yang dituduh mencuri teknologi jet dari Korea Aerospace Industries (KAI), produsen KF-21 Boromae. Orang tersebut ditangkap pada bulan Januari ketika mencoba meninggalkan fasilitas KAI dengan membawa USB drive yang berisi data jet tempur.

Selain program kerja sama alutsista tersebut di atas, Indonesia dan Korea Selatan sebenarnya juga melakukan jual beli enam pesawat latih T-50i senilai total US$240 juta atau sekitar Rp3,4 triliun pada tahun 2021. Langkah ini menyusul pembelian sebesar 400 juta dollar16 T-50 Eagles tepat sepuluh tahun yang lalu.

Dilihat dari ketiga transaksi tersebut, terdapat tanda adanya rasa saling percaya yang tinggi antara kedua belah pihak, termasuk keberanian Indonesia menjadi pembeli pertama alutsista sekelas kapal selam dan pesawat tempur yang belum siap tempur. ternyata

Di sisi lain, Korea Selatan bermurah hati memberikan ToT untuk mendukung visi kemandirian alutsista Indonesia. Selain itu, kapal ToT LPD sangat sukses dimana PT PAL tidak hanya mampu membangun kapal perang berukuran besar tersebut tetapi juga merancang dan mengekspornya.

Baru kemudian muncul masalah serius dalam transaksi kapal selam Chang Bogo dan proyek KFX/IFX. Dalam kasus kapal selam Chan Bogo, Indonesia bisa dikatakan sangat bertekad membeli alutsista strategis dari negara-negara yang bukan pemain besar di industri kapal selam, seperti Jerman dan Perancis. Sementara itu, permasalahan proyek KFX-IFX muncul dari kenyataan bahwa Korea Selatan bergantung pada AS dalam hal teknologi utama, dan di sisi lain, harus diakui bahwa Indonesia bukanlah negara sekutu yang dapat menerima keistimewaan dari AS. untuk memperoleh teknologi canggih untuk produknya atau untuk mengembangkan peralatan pertahanan.

Selain persoalan teknis, pada masa kepemimpinan Jokowi yang menteri pertahanannya adalah Prabowo Subianto, Indonesia justru menunjukkan belanja alutsista yang intensif. Namun orientasi mantan Danjen Kopassus ini adalah membeli alutsista kelas A dari negara-negara alutsista besar dan bisa menjadi sahabat Indonesia. Fakta tersebut ditunjukkan dengan akuisisi Italia atas pesawat tempur Rafale, kapal selam Scorpene Evolved, dan fregat kelas Thaon di Revel.

Di sisi lain, Indonesia juga melakukan reorientasi pasokan alutsista ke negara-negara yang memiliki kemandirian alutsista dan bersedia melakukan ToT, guna mengurangi risiko embargo dan mencapai kemandirian alutsista. Pilihan ini jatuh pada Turki. Baru-baru ini, akuisisi dan kerja sama dengan Kesultanan Utsmaniyah sangat progresif, dengan berbagai titik perdagangan mulai dari kapal perang, drone tempur, sistem kendali tempur hingga rudal.

Jika menilik data di atas, maka kerja sama Indonesia dan Korea Selatan di bidang alutsista yang mencapai puncaknya pada era Presiden SBY justru mengalami kemunduran, padahal kerja sama kedua negara sudah berada pada tataran strategis khusus. karakter. kerja sama Dengan naiknya Prabowo ke kursi kepresidenan dan kepribadian politiknya yang ditunjukkan selama masa jabatannya sebagai menteri pertahanan, masa depan kerja sama pertahanan Indonesia-Korea Selatan semakin suram.

Baca juga: Kontroversi Utang Belanja Alutsista Meningkat

Situasi ini diperparah dengan agresivitas produsen alutsista besar dunia, seperti Perancis dan Turki, yang mendekati Indonesia serta kesediaannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan Kementerian Pertahanan-TNI untuk mengakuisisi peralatan pertahanan termutakhir. peralatan dan menyediakan fasilitas ToT dalam mendukung program kemandirian alutsista. Persaingan tersebut juga membuat Korea Selatan semakin terpinggirkan.

Meski demikian, Indonesia dan Korea Selatan merupakan dua negara sahabat yang terbukti saling mendukung selama 50 tahun hubungan, sehingga kerja sama diplomasi telah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Selain itu, kerja sama yang saling menguntungkan dilakukan tidak hanya di bidang alutsista, tetapi juga di berbagai bidang lainnya, misalnya dalam kerangka komitmen kemitraan strategis khusus.

Untuk itu, Indonesia hendaknya memastikan kerja sama alutsista dan Korea Selatan tetap baik meski tidak seintens dulu. Mengakuisisi Corvette kelas Pohang bisa menjadi upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Tentu saja keadaan bisa berubah di masa depan jika Korea Selatan bisa bersaing dengan Perancis atau Turki dalam hal kualitas alutsista atau memenuhi kewajiban ToT tanpa terikat dengan kebijakan negara lain, terutama AS. (*)

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours