KBRI Beijing silaturahmi warga “guiqiao” jelang peringatan HUT RI

Estimated read time 3 min read

Beijing (Antara) – Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing (KBRI) menggelar silaturahmi dengan komunitas “Guiqiao” atau “Sahabat Indonesia” jelang HUT RI ke-79.

Johari Ortamangun, Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok dan Mongolia, mengatakan, “Sebenarnya sudah menjadi tradisi kami di sini untuk mengundang ‘sahabat Indonesia’ sebelum tanggal 17 Agustus. Meski hujan, kami senang masih banyak orang yang datang. Mereka bisa menikmati bahasa Indonesia makan bersama.” .” Di Kompleks KBRI, Wisma Indonesia di Beijing, China pada Jumat malam.

“Guiqiao” mengacu pada orang-orang yang lahir dan tinggal di luar Tiongkok tetapi pindah ke negara asalnya. Migrasi diartikan oleh pemerintah Tiongkok sebagai “pulang kampung” atau “gui”, sedangkan “qiao” berarti pendatang atau orang yang tinggal di luar negeri.

Istilah “Guiqiao” didefinisikan oleh pemerintah Tiongkok untuk orang Tionghoa perantauan yang kembali ke Tiongkok pada periode 1950-1960. Sedangkan istilah “Yinni Guiqiao” mengacu pada orang yang lahir atau tinggal di Indonesia kemudian pindah ke Tiongkok pada tahun yang sama dan kini telah menjadi warga negara Tiongkok setelah tinggal di Tiongkok selama kurang lebih 60 tahun.

Ada sekitar 20 orang “Guiqiao” yang hadir, sebagian besar berusia di atas 80 tahun, ada pula yang datang bersama pasangan atau anak-anaknya.

Selain berkomunikasi, staf KBRI Beijing, pelajar Indonesia di Beijing dan Perkumpulan “Guiqiao” juga banyak menyanyikan lagu-lagu Indonesia, mulai dari Reyuan Pulau Kelapa hingga lagu-lagu daerah antara lain “Sio Mama”, “Lisoi” dan “Sio Mom” . , pada lagu anak-anak “Pepaya Manga Pisang Jambu”. Johari Ortamangun, Duta Besar RI untuk Tiongkok dan Mongolia, tampil bersama grup “Guiqiao” di Wisma Indonesia KBRI Beijing, Tiongkok pada Jumat (9/8). (Antara/Deska Lidya Natalia)

Li Kuitang, 83 tahun, salah satu “Guiqiao”, juga memberikan cinderamata kepada Dubes Johari berupa lukisan karya istrinya dalam rangka memperingati HUT RI ke-79.

“Saya kembali ke Tiongkok pada tahun 1960, ketika saya berusia 19 tahun,” kata Lee kepada Antara dalam bahasa Indonesia.

Lee yang awalnya tinggal di Bandung, Jawa Barat, kemudian bersekolah di Beijing dan kemudian bekerja di sebuah pabrik di Beijing bahkan menikah dengan istrinya yang merupakan warga Beijing.

Ia mengaku senang bisa datang ke KBRI Beijing setahun sekali untuk bertemu dengan Dubes Johari dan staf KBRI serta bertemu dengan warga “Guiqiao” lainnya.

“Entah bagaimana pesta ini dimulai, tapi saya juga diundang oleh masyarakat Bandung, saya senang, kadang-kadang kita juga piknik, mungkin di Beijing, Hangzhou, Shanghai, bahkan Nanjing juga,” kata Lee.

Li pun mengaku beberapa kali mengunjungi Bandung bersama istrinya setelah kembali ke China.

Mengenai lukisan pemberian istrinya, Lee mengatakan bahwa istrinya bukanlah seorang pelukis, namun ia suka melukis dan belajar melukis.

Sementara itu, Tang, perempuan berusia 83 tahun yang tidak bisa berbahasa Indonesia, juga mengaku bersemangat untuk terlibat karena bertemu dengan Benny, mahasiswa Indonesia program doktoral di Tsinghua University Beijing.

Tang yang menghabiskan masa kecilnya di Palembang, Sumatera Selatan, bertemu dengan Benny yang juga berasal dari Palembang. Teman Tang ternyata adalah teman ayah Benny yang sama-sama mengelola kelenteng di Palembang.

Nenek moyang Tang dan Benny juga berasal dari Anxi, provinsi Fujian.

Kembalinya kelompok “Guiqiao” ke Tiongkok didorong oleh berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, serta kebijakan pemerintah Indonesia saat itu untuk “memulangkan” suku-suku Tionghoa.

Sekitar 600.000 orang Tionghoa perantauan dari Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya kembali ke Tiongkok pada tahun 1960an, tanpa memandang kewarganegaraan, usia, waktu kepulangan mereka, dan apakah kepulangan mereka dilakukan secara sukarela atau tidak.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours