Kecurangan Terulang di PPDB 2024, JPPI: Dipicu Sistem yang Membingungkan

Estimated read time 4 min read

JAKARTA – Koordinator Nasional Jaringan Pengawasan Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menegaskan kecurangan masih terus terjadi pada Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) 2024. Permasalahannya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya dan tidak ada perbaikan.

“Kalau dicermati, persoalan PPDB tahun 2024 sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada perubahan sama sekali. Begitu pula dengan laporan pengaduan masyarakat tahun ini dan hasil pemantauan JPPI juga menghadapi permasalahan yang sama, kata Ubaid, Senin (24 Juni 2024).

Hingga 20 Juni 2024, berdasarkan pengaduan dan laporan pemantauan JPPI, total berhasil dikumpulkan sebanyak 162 kasus, yaitu penipuan titik di jalur pencapaian (42%), manipulasi KK di zona jalur (21%) dan transfer (7 %). seperti ketidakpuasan orang tua terhadap jalur afirmatif (11%).

Selain itu, terdapat juga kasus dugaan korupsi (19%) yang dilakukan melalui dua jalur ilegal, yakni jual beli kursi dan jasa titipan uang internal. “Ini semua merupakan kejadian rutin dan tahunan. Tidak ada yang baru. Ya tiap tahun sama saja,” ucapnya.

Ubaid menyayangkan Forum Bersama Pengawasan Pelaksanaan PPDB tahun ini yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pasalnya, baru muncul tahun ini dan hanya sebagai forum pemantauan.

“Sangat disayangkan jika forum bersama yang digagas Kemendikbud ini hanya sekedar forum pemantauan. Mereka juga harus mendiskusikan kemungkinan perubahan pada sistem PPDB agar lebih adil bagi semua. “Ini penting karena persoalan PPDB bukan teknis pelaksanaannya tapi sistemnya masih tidak adil,” kata Ubaid.

Menurutnya, sistem yang diterapkan saat ini membuat para orang tua sangat bingung. Misalnya calon mahasiswa yang melalui jalur zona akan gagal meskipun rumahnya dekat dengan kampus.

“Kalau bukan jarak rumah ke sekolah, lalu di mana kita bisa mengukurnya? Kasus ini terjadi pada tahun 2024 di Kota Bogor dan viral pada minggu lalu. “Kejadian ini juga terjadi di daerah lain,” ujarnya.

“Sama halnya dengan jalur pencapaian. Meski calon mahasiswa berprestasi, namun kenyataannya tidak lulus. Kasus ini ditemukan di Palembang yang melibatkan 7 SMA yang melakukan pelanggaran. Jadi apa pengukuran pada garis ini? Kegagalan dalam perjalanan menuju pencapaian ini juga menambah laporan kekecewaan di banyak kota lain, kata Ubaid.

Terlebih lagi, tindakan sembrono terjadi di jalur gelap melalui pelayanan dan kepuasan internal. “Ini melibatkan banyak pihak dan memakan banyak biaya. Tahun ini kasus senilai Rp 2 juta hingga Rp 25 juta dilaporkan di berbagai daerah, ujarnya.

Misalnya saja akibat sistem PPDB yang tidak berkeadilan, pada tahun 2023 terpantau jumlah Anak Putus Sekolah (ATS) masih terus meningkat. Berdasarkan data BPS tahun 2023, ATS masih terdapat di setiap jenjang mulai dari SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/MA (21,61%).

Jika dihitung, JPPI memperkirakan jumlah penduduk ATS bisa mencapai lebih dari 3 juta jiwa. Ini merupakan jumlah yang sangat besar. “Itu data anak terkonfirmasi tidak sekolah dan putus sekolah. Sedangkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2023 menunjukkan 10.523.879 siswa mengalami diskriminasi di sekolah swasta karena harus membayar uang sekolah, kata Ubaid.

Berdasarkan fakta tersebut menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan provinsi serta sekolah menganggap PPDB sebagai hal yang lumrah dan nyatanya banyak oknum yang hanya ingin mencari keuntungan musiman. Mereka jelas belum belajar dari kesalahan tahun lalu, terbukti dengan tidak adanya perubahan yang sistematis.

“Dengan sistem yang berlaku saat ini tercermin dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1 Tahun 2021, para orang tua sibuk dengan jalur ini dan itu. Padahal kita tahu setiap jalur penuh dengan kawasan, karena minimnya tempat sekolah, ditambah lagi dengan masalah kualitas sekolah yang tidak merata. Oleh karena itu, mereka harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkan PPDB dengan sistem kompetitif yang mencakup zonasi dan merit, kata Ubaid.

Ia berharap sistem perebutan kursi pada musim PPDB kali ini berakhir. Sistem PPDB seperti ini hanya menguntungkan sekolah negeri dan mendiskriminasi sekolah swasta. Begitu pula dengan anak-anak, mereka yang lolos PPDB di sekolah negeri akan diuntungkan, sedangkan yang menganiaya orang tua gagal yang terpaksa masuk ke swasta mahal atau swasta murah tanpa kualitas.

“Apakah ini yang disebut keadilan? “Ini masih jauh, hal ini jelas menyimpang dari amanat konstitusi yang dilaksanakan pemerintah terkait perlindungan dan pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang adil dan berkualitas bagi anaknya,” ujarnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours