Keindahan Bali di tahun 1930-an tersorot jelas dalam “Samsara”

Estimated read time 5 min read

Jakarta (ANTARA) – Sutradara Garin Nugroho kembali sukses membawa warna baru di dunia perfilman Tanah Air.

Setelah sukses dengan ‘Setan Jawa’ yang tayang pada tahun 2017, tahun ini ia menayangkan film bisu hitam putih bertajuk ‘Samsara’. Film yang memadukan unsur sinematik, unsur teatrikal, dan unsur seni tradisional.

Meski film yang dibintangi Ario Bayu dan Juliet Widyasari Burnett ini disebut-sebut sebagai film horor, namun para pecinta film tak perlu khawatir karena filmnya sendiri lebih terasa seperti “menyelami” kekayaan budaya Bali sambil menjelajahi keindahan alam. waktu itu melalui gaya sinematiknya yang tidak biasa.

Pasalnya, baik Garin maupun para pemainnya banyak mencari referensi kehidupan Bali di tahun 1930-an. Mulai dari foto-foto orang-orang yang hidup pada masa itu, aktivitas mereka, buku hingga kunjungan komedian Charlie Caplin ke sana, yang secara realistis dapat merangsang imajinasi mereka untuk menonjolkan keindahan Bali.

Berkat semua referensi tersebut, penonton bisa menyaksikan rimbunnya hutan sambil menikmati indahnya aliran sungai jernih yang dikelilingi dedaunan. Secara detail juga ditambahkan beberapa pohon kelapa yang berdiri kokoh di beberapa adegan.

Lanjut ke desa tempat tinggal Darta (Ario Bayu), meski saat itu digambarkan miskin, namun suasana di desa tersebut cukup hangat dan penuh kegembiraan.

Orang suka menari dengan gaya tubuh yang anggun dan indah atau memakai topeng karakter. Dari segi busana, para aktor yang berperan sebagai warga sekitar mengenakan pakaian adat.

Sedangkan untuk pemain dari negara-negara Eropa yang saat itu diketahui pernah menikah dengan bangsawan Bali, busana yang ditampilkan jauh lebih modern dengan laki-laki yang mengenakan jas atau jas kolonial berlengan panjang.

Keharmonisan antar masyarakat terlihat jelas dari cara mereka bercengkerama, ketika sedang melakukan sesuatu seperti mengukir atau menenun sesuatu. Bahkan dalam adegan di halaman belakang rumah Darta usai menikah dengan Sinta (Juliet Widyasari Burnett), seorang gadis cilik lucu menari dengan mengenakan topeng.

Keharmonisan keluarga terlihat jelas dari sikap para orang tua yang kemudian ikut serta dalam tarian yang disusul tawa Darta dan Sinta.

Jangan sampai kita lupa, Garin juga memasukkan “sentuhan film lama” dalam “Samsara”. Menampilkan tiga karakter komedi dengan ukuran tubuh berbeda, untuk memberikan rasa humor ringan di tengah kacaunya hubungan karakter utama.

Ketiga karakter ini akan membuat kehidupan di desa semakin seru untuk diikuti.

Selain keindahannya, kita tentu tahu kalau Bali punya budaya mistis yang cukup kental. Untuk menampilkannya, tim produksi banyak menyertakan latar tempat keramat berupa candi, tempat penempatan dupa dan bunga, serta tanah tandus luas yang dipenuhi tumpukan batu.

Sebab dan akibat dari tindakan manusia

Hal-hal magis dan mistis juga nyambung pada seluruh karakter yang berperan di dalamnya. Lewat tokoh Darta misalnya.

Diceritakan sebagai pria miskin yang cintanya ditolak oleh orang tua wanita kaya, ia terpaksa melakukan ritual yang mengubah seluruh hidupnya.

Setiap perbuatan ada sebab dan akibat yang akan didapat, berdasarkan sosok Darta, Garin mengajak masyarakat untuk mempelajari ritual mendapatkan kekayaan yang selanjutnya akan melibatkan Raja Kera (Gus Bang Sada). Menurutnya, masyarakat setempat saat itu sangat mengandalkan ritual tersebut.

Untuk menaklukkan orang yang dicintainya, Darta mengikuti semua prosedur untuk menyelesaikan ritualnya. Dari bertemu dengan seorang wanita tua di dekat jembatan ditemani dua sosok setengah kera dan seorang manusia bertopi mengesankan, hingga mencari topeng berwajah monyet di tanah tandus hingga mengunjungi tempat di mana mereka menemukan Raja Kera dan para pengikutnya. . hidup.

Dalam pandangan Sinta, sebagai perempuan yang telah melahirkan seorang anak laki-laki, aura misterius pun melekat pada beberapa adegan di mana ia memegang hiasan berbentuk bunga yang selalu ia letakkan di depan matanya sambil berdiri di atas pohon besar yang rindang.

Sinta pun tertangkap kamera berulang kali menari tanpa alas kaki sambil mengangkat kepala ke langit, seolah memohon ampun kepada Sang Pencipta.

Setelah mengetahui suaminya sedang bermain ilmu hitam dan bertingkah aneh saat memasuki ruangan dengan jendela kecil di rumahnya, Sinta segera mengetahui langkah-langkah ritualnya dan melakukan hal yang sama.

Bedanya Sinta harus segera membayar apa yang diminta Darta dengan sesuatu yang sangat berharga baginya. Pertemuan Sinta dengan Raja Kera menjadi adegan yang paling seru untuk disaksikan.

Kita akan diperlihatkan adegan di mana seorang pria dipaksa untuk memilih antara berjuang untuk hidupnya atau bertanggung jawab atas segala akibat dari perbuatannya.

Cerita mencapai klimaksnya ketika Raja Kera mengetahui pengkhianatan Darta yang lebih memilih istrinya. Raja Kera membawa pasukan dan turun tahta langsung ke desa dan menimbulkan masalah.

Kerusuhan pun terjadi dan situasi semakin tidak terkendali. Di sini efek ritual akan datang langsung ke Darta. Meski semua pemain hanya mengandalkan ekspresi wajah, namun dipastikan bisa memahami pesan dan cerita yang ingin disampaikan Garin.

Kolaborasi musik yang luar biasa

Soal suara, Garin mengaku sangat suka bereksperimen dan memadukan hal-hal yang tidak biasa. Seperti musik yang digunakan dalam film ini, memadukan seni memainkan gamelan dengan elektronika kontemporer.

Perpaduan suara gamelan yang dimainkan oleh Tim Gamelan Yuganada menambah sentuhan magis dan sakral. Tempo dan suaranya semakin lengkap dengan sentuhan elektrik Gabber Modus Operandi.

Dalam kata-kata Garin, masing-masing jenis musik bisa melengkapi kekurangan yang lain sehingga jika disatukan akan melahirkan warna-warna baru dalam sebuah karya.

Sementara untuk suara-suara yang mengiringi film tersebut, dipastikan suara Ican Harem, Gusti Putu Sudarta, Dinar Rizkianti dan Thaly Titi Kasih membuat kisah “Samsara” semakin semarak dan penuh nuansa kehidupan. masa lalu.

Sebelumnya, pada tanggal 10 Mei, “Samsara” ditayangkan perdana di Esplanade Concert Hall di Singapura. Diketahui lebih dari 1.000 penonton dan tamu hadir dan memberikan standing ovation pada konser bioskop yang memadukan pemutaran film dengan live music tersebut.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours