KEHIDUPAN Presiden Sukarno yang kerap disapa Bung Karno penuh cinta dan kisah cinta yang menjadi bagian dari perjalanan heroiknya mempopulerkan negara.
Citra Presiden pertama Republik Indonesia (RI) tidak bisa dilepaskan dari Kota Pahlawan. Surabaya adalah kota tempat Bung Karno dilahirkan, dibaptis pada tanggal 6 Juni 1901 di Jalan Pandean IV No 40 Surabaya.
Bung Karno juga pertama kali beroperasi di kota ini.
“Bung Karno pertama kali menikah dan bekerja di Surabaya. Dia juga pertama kali belajar Islam di sini, mungkin belum banyak yang tahu,” kata Kunkarsono Prasetio yang mendirikan Komunitas Soerabaia Begandring beberapa waktu lalu.
Kisah ini tertulis dalam buku “Menghubungkan Bahasa Indonesia” yang ditulis oleh Cindy Adams. Surat ini membenarkan Putra Sang Fajar lahir di Jalan Pandean IV Nomor 40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.
Bung Karno lahir di Pandean Surabaya, namun tinggal di sana hanya enam bulan sejak kelahirannya pada 6 Juni hingga 28 Desember 1901, ujarnya.
Saat Bung Karno berumur enam bulan, ayahnya, Raden Sokemi Sosrodiharjo, mendapat surat untuk dipindahkan ke Ploso, Jombang sebagai guru. Otomatis Bung Karno kecil pun dibawa ke Jombang.
“Saat berumur empat tahun, kakeknya membawa Bung Karno ke Tulungagung karena sakit,” kata Kunchar.
Ketika berusia tujuh tahun, Bung Karno pindah ke Mojokerto karena tugas ayahnya. Di sana, Bung Karno belajar hingga usia 15 tahun.
Setelah lulus sekolah di Mojokerto, Bung Karno melanjutkan pendidikannya di Hoogere Burgerschool (HBS) di Surabaya. Ia tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto, di Jalan Peneleh Gang VII Surabaya.
Semasa kuliah di HBS, Bung Karno dikenal sebagai pemuda yang cerdas dan cerdas. Menurut Kunchar, kecerdasannya itu berkat kebiasaannya membaca di Perpustakaan Masonik di Jalan Tunjungan Surabaya.
“Bung Karno menjadi anggota VIP perpustakaan Freemason yang kini menjadi kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional). Anehnya, organisasi Masonik kemudian dilarang oleh Bung Karno,” jelasnya.
Selain belajar di HBS, Bung Karno pertama kali diperkenalkan Islam pada usia 15 tahun ketika ia diundang oleh HOS Tjokroaminoto untuk menghadiri pertemuan rutin di depan rumahnya.
“Di depan Tuan. Tjokro yang kini menjadi toko buku Peneleh dulunya merupakan pusat aktivis Muhammad,” kata Kuncar.
Pada usia 21 tahun, Bung Karno diterima menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Jawa Barat. Namun saat itu istri HOS Tjokroaminoto meninggal dunia sehingga menyebabkan Bung Karno mengambil cuti kuliah selama tujuh bulan dan kembali ke Surabaya.
Di Surabaya, Bung Karno bekerja sebagai masinis kereta api di stasiun Semut untuk membantu keuangan keluarga Tekroaminoto.
Menurut Kunchar, adik HOS Tjokroaminoto melamar Bung Karno untuk menikah dengan putri sulung HOS Tjokro, Siti Oetari. Bung Karno bersedia menikah dengan Siti Oetari di Jembatan Peneleh.
“Di Jembatan Peneleh, Bung Karno mengungkapkan rasa cintanya kepada Oetari karena melihat Pak Theokro bersedih sepeninggal istrinya,” kata Kunchar.
Pernikahan Soekarno dan Siti Oetari digelar di ruang tamu rumah HOS Tjokroaminoto. Setelah menikah, Bung Karno mengajak istrinya ke Bandung untuk melanjutkan studi.
+ There are no comments
Add yours