Kisah Heroik Kapten Harun Kabir, Pejuang Kemerdekaan dan Kemanusiaan dari Cianjur

Estimated read time 3 min read

Dini hari tanggal 13 November 1947, tentara Belanda merusak sebuah gubuk di Hutan Chihurang, Chanjur. Di atasnya ada Kapten Haron Kabir, kepala departemen teknik brigade Surikanan, bersama istri dan anak-anaknya. Peti mati itu dengan tenang keluar menemui tentara Belanda. Dia dan kedua pengawalnya dieksekusi tanpa ampun di depan keluarganya. Sebelum kematiannya, Haron Kabir meneriakkan kata-kata terakhirnya: “Kebebasan!”

Haron Kabir bukan hanya pejuang kemerdekaan, tapi juga pejuang kemanusiaan. Sebelum bergabung dengan TNI, ia merupakan birokrat sipil dan menjabat Asisten Residen di Bogor. Namun proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 membangkitkan semangat juangnya. Ia mendirikan Laskar Tjiwaringin 33, sebuah perusahaan survei yang namanya diambil dari alamat rumahnya di Bogor.

Keluarga Presiden Soeharto mengungsi di rumah ini pada awal revolusi, dan juga sering dikunjungi oleh tokoh-tokoh nasional seperti Tan Malaka. Haron Kabir juga membela Eropa di saat situasi keamanan sedang berbahaya dan menunjukkan bahwa baginya deklarasi tersebut bukan hanya tentang kemerdekaan tetapi juga tentang kemanusiaan.

Karir militernya mengantarkan Haroon Kabir menjadi Kepala Staf Divisi Siliwangi, walaupun ia berpangkat Mayor, namun sesuai dengan hukum pada masanya, ia menjadi Kapten dan melakukan berbagai operasi melawan. Ketika ia dewasa, ia dan keluarganya pindah ke Sukabumi dan kemudian ke Sianjur untuk melanjutkan perang gerilya meski menderita penyakit malaria.

Perjuangan Kapten Haroon Kabir berakhir di Sienjur. Meski sakit, ia tetap memimpin gerilya hingga akhirnya dieksekusi oleh pasukan Belanda. Kisah heroik ini dibahas secara rinci dalam buku “Untuk Republik, Perjuangan Kapten Haroon Kabir 1942-1947” karya Handy Joe, dianalisis oleh sejarawan Prof. Anhar Gungong di Aula Bale Prayoga, Siangor, 2 Agustus 2024.

Prof. Anhar Gungong mengatakan, ketangguhan Haroon Kabir dan keluarganya luar biasa. Istrinya Socrates dan anak-anaknya menyaksikan eksekusi Harun Kabir oleh tentara Belanda. “Haron Kabir mengorbankan masa depan dan hidupnya demi keluarga dan bangsanya. Untuk kita semua yang bisa duduk di sini hari ini sebagai bangsa yang mandiri,” kata Anhar.

Handi Joe menambahkan, Haroon Kabir menolak segala tindakan kekejaman terhadap warga sipil tak bersenjata. “Dia adalah orang yang langka pada masanya. Memiliki talenta kepemimpinan yang baik dan jujur, Haron Kabir tetap berusaha ‘akal’ di tengah badai revolusi,” ujarnya.

Harun Kabir tidak hanya memimpin gerilyawan, tetapi juga membantu India dan Eropa yang membutuhkan, menunjukkan contoh langka dari seorang komandan gerilya pada saat itu. Haron Kabir selalu berkata, jika kita bukan manusia, apa bedanya kita dengan penjajah yang kita lawan? Handy Joe menambahkan, mengutip sang pahlawan.

Muhammad Irfan Sufian, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Siangor mewakili Putra Mahkota. Herman Zurman mengevaluasi acara bedah buku tersebut. Irfan berharap perjuangan dan pengorbanan Kapten Haroon Kabir dapat menginspirasi generasi mendatang. Vina Rezki Agustina dari Yayasan Loktamala berharap dengan pembahasan dan kajian buku-buku ini dapat menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya menghormati nilai-nilai perjuangan para pahlawan kemerdekaan.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours