Kisah Jenderal Kopassus Sintong Panjaitan Nyaris Ditombak Suku Pedalaman Papua, Lolos Berkat Pesan Pastor

Estimated read time 3 min read

JENDERAL Kopassus Sintong Hamonangan Panjaitan hampir kehilangan nyawanya dalam operasi berbahaya di Papua yang belum tersentuh pada saat itu.

Jika dia tidak ingat perkataan pendeta itu, Lt. Gen. TNI (Purn) Sintong Panjaitan bakal gugur dalam peristiwa seru itu.

Peristiwa itu terjadi ketika sutradara asal Prancis, Pierre Dominique Gaisseau, meminta izin kepada Panglima XVII/Tjendrawasi Brigjen Sarwo Edhie Wibowo untuk membuat film tentang sejarah bangsa Papua.

Sebelumnya, Gaisseau sukses memproduksi film dokumenter berjudul Sky Above and Mud Beneath yang menjadi film dokumenter pertama yang meraih Academy Award.

Namun, menuju Lembah X di Papua merupakan perjalanan yang sangat sulit.

Juga pada tahun 1961, Michael Rockefeller, putra gubernur New York, Nelson Rockefeller, terbunuh di daerah ini. Ada klaim kuat bahwa Rockefeller diperkosa oleh satu suku di Papua.

Michael Rockefeller, antropolog Belanda Rene Wassing dan dua pemandu lokal pertama kali menaiki kapal untuk membuat film dokumenter tentang suku Asmat. Namun perahunya terbalik dan mereka terapung di laut. Michael Rockefeller memutuskan untuk berenang ke pantai.

Ketika Rene terbunuh keesokan harinya, Michael Rockefeller tidak ditemukan. Pencarian dari udara dan darat akhirnya menemukan bagian kakinya.

“Perjalanan ke Lembah / 2024).

Berdasarkan pengalaman tersebut, rasa was-was tersebut juga menimpa Sintong Panjaitan saat terlibat dalam operasi kemanusiaan di Lembah X Papua.

“Saya berharap ketika saya turun, Dolina akan menyerang saya

Pada tanggal 2 Oktober 1969, Sintong bersama Kapten Inf Feisal Tanjung dan lima anggota Kopasshanda lainnya (sekarang Kopassus) terjun ke Lembah X.

Pegawai lainnya antara lain Petugas Kesehatan Kapten CDM Dr Bondan Haryono, Petugas Sosial Budaya Capa Marwoto, Petugas Perhubungan Serma Suparmin dan Petugas Logistik Koptu Solichin.

Sedangkan dari NBC yakni Gaisseau sebagai sutradara dan juru kamera, Harvey de Meigrid sebagai juru kamera dan penulis skenario, serta Nicholas Gaisseau yang tak lain adalah putra Pierre sebagai asisten.

Namun lompatan tersebut tidak berjalan sesuai rencana. Hembusan angin kencang memisahkan seluruh kelompok dari tempat yang mereka pilih untuk mendarat.

Sintong tiba tepat di tengah-tengah perkampungan suku di pedalaman. Kemudian penduduk sekitar berkumpul mengelilinginya dengan membawa senjata tajam seperti tombak, anak panah, dan kapak batu.

Suasana semakin mencekam saat mereka meneriakkan “Snai e, snai e” yang sangat menakutkan meski Sintong tidak mengerti apa yang dibicarakan.

Dalam situasi sulit itu, Sintong teringat pesan pendeta asal Papua itu: menyapa masyarakat pedalaman dengan tangan terbuka dan senyuman.

Sintong membuka lembut kedua tangannya sambil tersenyum, menunjukkan niat damai. Tidak lama kemudian, seorang lelaki tua keluar dari rumah sambil membawa sepotong daging babi mentah.

Sintong menerima daging itu dan memakannya. Aksi ini disambut antusias warga setempat.

Belakangan Sintong mengetahui bahwa orang yang memakan bingkisan tersebut dianggap sebagai sahabat sukunya. Tindakannya yang berani dan tenang menyelamatkan nyawanya dari kematian di Papua.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours