Kisah Jenderal Kopassus Soegito Perintahkan Luhut Pandjaitan Cari Makanan saat Peristiwa Malari

Estimated read time 6 min read

LETGEN TNI (Purn) Soegito pernah memerintahkan Luhut Binsar Panjaitan untuk mencari makan ketika ada kejadian malaria (bencana lima belas Januari).

Foto/Spesifikasi

Pada tanggal 15 Januari 1974 terjadi demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial.

Saat itu, Letjen Soegito yang menjabat Wakil Komandan RPKAD Grup 1, kini berganti nama menjadi Kopasus, membantu pertahanan Jakarta yang dilanda kerusuhan.

Sebagaimana tertuang dalam buku “Pengabdian Letjen Soigito Sebagai Prajurit”, Soigito menjalankan rutinitasnya sebagai wakil komandan Grup RPKAD 1 sambil menunggu panggilan dari Seskod.

Foto/Spesifikasi

Pada sore hari tanggal 15 Januari 1974, Soigito tidak langsung pulang ke rumah setelah pertemuan malam itu. Ada satu hal lagi yang harus dia lakukan sebelum meninggalkan kantor. Namun tiba-tiba Brigjen Vitermin Danian memanggilnya dengan marah.

“Mayor Guiteau, siapkan kompi tentara. Segera selesaikan kekacauan di Zenen. Pertama, Mayor Gito panggil Mayjen Mantik Merdeka Barat,” perintah Park Witermin, dikutip Kamis (22/08/2024).

Soegito bertanya-tanya, apa ini? Sementara itu, Panglima tidak memberikan informasi tambahan mengenai situasi di lapangan yang dapat dijadikan acuan dalam mengambil tindakan.

Padahal, sejak beberapa hari lalu, Soegito sempat mendengar rumor mahasiswa berencana turun ke jalan menentang kunjungan Perdana Menteri Jepang (PM) Kakuei Tanaka ke Jakarta.

Ternyata itu benar. Peristiwa yang dikenal dengan nama Malari adalah demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi di Jakarta pada tanggal 15 Januari 1974.

Peristiwa Malari merupakan gerakan mahasiswa yang tidak senang dengan kebijakan pemerintah mengenai kerjasama dengan pihak asing untuk pembangunan nasional.

Para mahasiswa menilai kebijakan pemerintah sudah melenceng dan tidak lagi mengarah pada pembangunan untuk kemaslahatan rakyat. Mahasiswa menilai kerja sama tersebut justru memperburuk kondisi perekonomian masyarakat.

Pendorong utama terjadinya demonstrasi anti modal asing ini adalah kehadiran Jan P Pronk, presiden Intergovermental Group on Indonesia (IGGI), sebuah badan penanaman modal asing yang didirikan oleh Amerika Serikat.

Pronk tiba di Jakarta pada hari Minggu 11 November 1973. Sesampainya di Bandara Kemayoran, para mahasiswa menyambutnya dengan parade. Puncaknya adalah kunjungan Perdana Menteri Jepang pada 14-17 Januari.

“Ah bagaimana ini, semua anggota sudah pulang dan sebagian besar anggota tinggal di luar asrama,” gumam petugas pertama RPKAD sambil meninggalkan ruangan Danian. Namun dia harus bergerak cepat.

Soegito segera memanggil seluruh pejabat untuk mengumpulkan informasi. Kapten Adrian Sitoras, Inf.

Selain itu, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 100 anggota. Bersiap dan bersenjatakan mereka bersiap untuk berangkat.

Soegito masih sempat pulang untuk makan siang dan mengambil radio 4 band kesayangannya. Sekitar pukul 16.00, konvoi truk meninggalkan markas di Kopasanda, Qiantung.

Alih-alih langsung ke Senen seperti perintah Danian, pasukan malah menuju barat menuju Merdeka menemui Mayjen Gustaf Henrik Mantic di Pangdam Jaya.

Seperti halnya Danyen, perintah Panglima Soegito juga tidak jelas.

“Segera tangani di Sennen, jangan dibakar,” perintah panglima perang. Soegito mencoba meminta penjelasan apa yang harus dilakukannya. Terserah Julie,” ujarnya dengan gaya Belanda.

Para prajurit segera bergerak menuju Senan. Banyak sekali masyarakat yang berkumpul di sana dan terlihat berbaur dengan para pelajar dan masyarakat.

Menyadari dinamika bidang tersebut, Soegito pun langsung membagikan tenaganya yang minim. Ada yang menetap di Senen, ada pula yang berpencar menuju Salemba dan Thani Idol.

Faktanya, terjadi akumulasi besar-besaran dari ketiga hal tersebut. Dengan memusatkan kekuatan pada tiga titik tersebut, Soegito berharap kerusuhan bisa diredam agar tidak meluas ke tempat lain. Beberapa anggota Soegito dan kelompoknya mengambil posisi di tengah pertigaan Seine.

Sejumlah besar bangunan terlihat mengeluarkan asap. Malam itu segera menjadi gelap karena Jakarta tertutup asap akibat kebakaran.

Selama kekacauan, seseorang tiba-tiba berlari masuk dengan ekspresi pucat. Ia ternyata pemilik diler mobil Astra dan meminta bantuan untuk menjaga gedung tersebut saat hendak dibakar massa.

Mantan Pandam Jaya itu tidak langsung menjawab karena bingung tentara mana yang harus dikerahkan. Dia hanya bersama beberapa anggotanya di Persimpangan Seenen.

“Nanti,” jawab Soegito tegas, sebelum salah seorang sersannya berinisiatif membantu.

Sersan dan beberapa rekannya segera bergegas menuju saloon. Dari kejauhan, Soigito melihat aksi anak buahnya yang melepaskan beberapa tembakan ke udara untuk membubarkan massa yang hendak membakar gedung tersebut.

“Sersan itu agak remeh tapi hebat,” puji Soegito.

Prajurit Wrathful bermalam di sekitar Senen untuk perlindungan. Karena tergesa-gesa, Soegito lupa membawa radio untuk berkomunikasi.

Karena itu, dia belum bisa menghubungi siapa pun untuk berkoordinasi, termasuk markas Kopasanda di Qiantung. Agar koordinasi lebih efisien dan menghindari malpraktik, Soegito memerintahkan Caracanya menyampaikan informasi yang diperlukan baik kepada garnisun Ciantung maupun Gambir.

Karena tidak dapat berkomunikasi dengan Qiantung, pasukan Kopasanda tidak mendapat dukungan logistik hingga malam itu. Saat ini ia sadar betul bahwa banyak anggotanya yang sudah kelaparan karena belum makan sejak tengah hari.

Saya ingin bertanya kepada Komando Angkatan Darat atau Mabes ABRI, karena hari sudah gelap dan saya tidak tahu siapa yang bisa membantu dalam keadaan panik seperti itu.

Soegito tiba-tiba teringat seorang kenalannya dari Jakarta Pusat yang bisa meminta bantuan.

Ia kemudian menelepon Luhut Panjaitan dan menyuruhnya menemui seseorang di Jakarta Pusat untuk menerima bantuan sembako. Luhut berjalan berkeliling sambil membawa banyak roti.

“Saya tidak tahu apakah anggota di tempat lain bisa makan malam malam itu,” kenang Soegito meratapi sikap pimpinan saat itu yang tidak memikirkan perbekalan anggotanya.

Selama dua hari pembelaan Sennen atas peristiwa pembakaran tersebut, Soegito dan anggotanya banyak menemui kejadian. Seperti Kapten Adrian Sitoras yang memukul kepalanya dengan botol yang dilempar.

Marah, Hadrian berteriak pada kerumunan untuk melompat ke dalam api.

Tapi Adrian luar biasa saat itu, mampu menghentikan anarki mahasiswa, dia pahlawan, kata mantan Pangkostrad itu.

Di tengah kebingungan dan keinginannya untuk mengendalikan situasi di lapangan, Soigito masih direpotkan dengan laporan adanya ban kempes pada truk pengangkut pasukan.

Ia memerintahkan pengemudinya hanya mengambil ban truk yang ditinggalkan pemiliknya di pinggir jalan. Anggota lain mendekatinya dengan segenggam perhiasan dan jam tangan merek terkenal.

Soigito tertegun sebelum menyuruhnya menyerahkannya kepada komando militer. Saat itu ia teringat akan pesan ayahnya Solman yang menyuruhnya untuk tidak pernah mengambil apapun yang bukan miliknya.

Selang beberapa waktu, anggota parlemen tersebut kembali dan melaporkan bahwa ia telah menyerahkan barang-barang tersebut kepada aparat keamanan atas perintah Pangdam Jaya.

Peristiwa tragis terjadi pada sekelompok tentara di sekitar Salemba. Mereka terpaksa menembakkan AK-47 ke arah sebuah jip yang membawa sejumlah besar pemuda yang bertekad melewati barikade dan menolak mundur ketika disuruh berhenti.

Soigito menilai kejadian mengerikan itu merupakan pengalaman pahit karena anggotanya harus mengambil tindakan drastis terhadap korban sipil.

Malam itu, hari kedua, santapan yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Pada hari yang sama, pasukan Kavaleri Kodam Jaya lainnya tiba, dan Vitermin kemudian diperiksa oleh Brigjen Danian Kopasandha.

Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Maradan Pangaben tiba di Distrik Sein pada siang hari. Kehadirannya dimaksudkan untuk menenangkan massa agar tidak melakukan tindakan anarkis.

Sambil berdiri di atas mobil, Jenderal Pangabian berbicara kepada prajurit ABRI melalui pengeras suara yang juga terdengar oleh para pengunjuk rasa.

“Saya mohon kepada polisi untuk tidak bertindak seperti kemarin dengan menembak lagi…” Pada hari ketiga, pasukan pengganti tiba dari Qiantung dipimpin oleh Mayor Inf Xintong Panjaitan.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours