Kisah Keluarga Sumiran, Penghuni Terakhir Kampung Mati di Pegunungan Menoreh Kulonprogo

Estimated read time 2 min read

KULONPROGO – Di Padukuhan Watu Belah, Desa Sidomulyo, Pengasih, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ada desa mati. Kampung orang mati sebenarnya bernama Kampung Suci.

Desa yang berjarak 12 kilometer dari Alun-alun Wates ini dikenal sebagai desa mati karena hanya ada satu keluarga yang tinggal di sana, Sumiran (50). Aksesnya hanya melalui jalan setapak yang naik turun bukit Menoreh dengan jarak 2 km.

INews Media Group diajak Dewi Septiani, putri Sumiran (50) melihat desa terpencil di Dusun Watu Belah, Kapanewon Pengasih, Kabupaten Kulonprogo.

Memang untuk mencapai desa tersebut sangat sulit dan hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki naik turun Pegunungan Menoreh.

Untuk menuju rumah tetangga terdekat melalui mancanegara, dibutuhkan waktu sekitar satu jam berjalan kaki naik turun jalan hutan yang menyusuri tepian pegunungan.

Secara administrasi, desa yang diberi nama oleh masyarakat Desa Kampung Suci ini terletak di Dusun Watubelah, Desa Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulonprogo. Jaraknya 33 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta dan 12 kilometer dari Kota Wates.

Keluarga yang tetap setia pada Kampung Mati antara lain Sumiran (50) dan istrinya Sugiati (51), serta kedua anaknya Agus Sarwanto (24) dan Dewi Septiani (11). Di penghujung tahun 2023, keluarga Sumiran mendapat tempat tinggal baru di Dusun Watu Belah.

“Di desa itu banyak sekali penduduknya, sekitar 12 KK, namun karena sulitnya daerah tersebut maka dibuatlah jalan setapak, yang mempunyai tanah di atasnya berpindah, dan akhirnya menjadi desa mati”. dia berkata. Dukuh Watu Belah Sutatik.

Ia mengatakan, karena Sumiran belum pernah menemukan tempat, ia tetap tinggal di sana meski memiliki rumah baru di kawasan pemukiman yang aksesnya mudah ke sana. Rumah baru ini ia dapatkan berkat sumbangan dari berbagai kelompok dan masyarakat karena kepeduliannya.

Meski demikian, Sumiran tetap merasa nyaman tinggal di rumah lamanya, menunjang kehidupannya sebagai tukang kayu. “Sumiran, kamu masih bahagia di sini. Tempatnya hangat, dingin, kosong. “Kalau mau cari kayu bakar, dekat sini, mending bebas,” ujarnya.

Diakui Sumiran, rumah barunya setiap hari ditempati oleh anak-anaknya. “Anak-anak saya tinggal di rumah baru. “Saya dari sekolah di sana, sakit sekali datang ke sini ketika saya masih muda, jauh sekali,” kata Sumiran.

Namun bangunan lama tersebut digunakan untuk aktivitas Sumiran yang biasanya bekerja pada malam hari, agar tidak mengganggu warga sekitar. Rumah baru masih diperiksa, tapi saat mereka tidur di rumah lama.

Banyak juga yang mengajaknya tinggal di rumah baru dan berbagi dengan orang lain, namun karena hatinya tenang, orang tidak mau memaksanya. Kini, hanya Sumiran yang hidup di tempat mati.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours