Kisah Mpu Sindok, Raja Bijaksana yang Banyak Tinggalkan Jejak Prasasti dan Bendungan Megah

Estimated read time 3 min read

Kerajaan Mataram kuno memindahkan pusat ibu kota dari tengah Pulau Jawa ke arah timur. Mpu Sindok adalah raja yang memulai era baru Kerajaan Mataram di Jawa Timur, setelah sebelumnya di Jawa Tengah.

Ketika raja Mataram, Mpu Sindok memerintah wilayah Nganjuk (barat), Pasuruan (timur), Surabaya (utara), dan Malang (selatan), Mpu Sindok menggunakan nama Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa (928). – 947 a.).

Dalam menjalankan pemerintahannya, Mpu Sindok didampingi oleh Rakai Mapatih Hino yang dikenal dengan nama Mpu Sahasra. Menurut para ahli sejarah, Mpu Sindok adalah seorang raja yang saleh dan bijaksana yang selalu berusaha memperbaiki kehidupan seluruh rakyatnya.

Mpu Sindok yang seorang dokter ini sangat menganut agama lain yang bisa mengantarkan kepada keimanan yang paling besar di tanah jawa”. Buktinya, Mpu Sindok memberikan penghormatan kepada Desa Wanjang seperti sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana yang menulis sebuah kitab Kehidupan gaya Tantrayana berjudul Sang Hyang Kamahayanikan.

Selain itu, Mpu Sindok sangat tertarik dengan bidang sejarah. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, Mpu Sindok banyak meninggalkan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan peraturan pada masa pemerintahannya sebagai raja Medang. Melalui banyak catatan tertulis, sejarah hidup Mpu Sindok dapat dengan mudah ditelusuri dan ditelusuri oleh generasi sekarang.

Setidaknya ada 9 dokumen yang ditulis Mpu Sindok pada masa kekuasaannya di Mataram. Naskah asli dari Turyan bertanggal 929 M yang berisi permintaan Dang Ayu Sahitya kepada Mpu Sindok, agar tanah di sebelah barat Sungai Desa Turyan dapat dijadikan rumah suci.

Kemudian muncullah Prasasti Linggasutan bertanggal 929 M yang memuat Pemujaan Mpu Sindok Desa Linggasutan (Wilayah Rakryan Hujung Mpu Madhura Lokaranjana) sebagai sima swatantra. Aturan ini disusun Mpu Sindok untuk meningkatkan nilai pemujaan batara di Walandit setiap tahunnya.

Prasasti Gulunggulung tahun 929 M memuat permintaan Rake Hujung Mpu Madhura kepada Mpu Sindok agar sawah di Desa Gulunggulung dijadikan sima swatantra rumah suci Mahaprasada di Himad. Kemudian pada Prasasti Cungkrang tahun 929 M, terdapat keputusan Mpu Sindok ke Desa Cunggrang sebagai sima swatantra untuk melindungi makam Rakryan Bawang Dyah Srawana yang diyakini sebagai ayah dari Raja Mpu Kbi.

Selain itu, Prasasti Jruju tahun 930 M yang menyebutkan permintaan Rakai Hujung Mpu Madhura kepada Mpu Sindok, Desa Jrujru di distrik Lingasutan diubah menjadi sima swatantra untuk melindungi rumah suci Sang Sala di Himad. Selain itu terdapat Prasasti Waharu tahun 931 tentang pemberian Mpu Sindok kepada Penduduk Desa Waharu yang dipimpin oleh Buyut Manggali. Mereka mendapat pahala karena setia membantu dalam melawan musuh negara.

Berikutnya adalah Prasasti Sumbut tahun 931 M yang mencantumkan nama Desa Sumbut oleh Mpu Sindok sebagai sima swatantra, karena kesetiaan Mapanji Jatu Ireng dan masyarakatnya dalam mengusir musuh di negeri tersebut.

Prasasti Wulig bertanggal 8 Januari 935 M, juga merupakan dokumen yang ditulis Kerajaan Mataram pada masa Mpu Sindok, yang berisi tentang peresmian bendungan Wuatan Wulas dan Wuatan Tanya yang dibangun oleh Warga Desa Wulig pada masa kepemimpinannya. dari nama Sushan. Pertemuan tersebut dilakukan oleh rekan Mpu Sindok bernama Rakryan Mangibil.

Yang terakhir adalah Prasasti Anjukladang tahun 937 M yang berisi tentang pengabdian Mpu Sindok terhadap hasil bumi di Desa Anjukladang sebagai sima swatantra dan bathara yang diberikan kepada Sang Hyang Prasada, serta pembangunan jayastambha. Monumen ini merupakan peringatan kemenangan melawan serangan Sriwijaya yang sampai di tempat tersebut.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours