Kisah Pangeran Diponegoro Menjabat Wali Sultan, Terlibat Konflik dengan Keraton Yogyakarta

Estimated read time 2 min read

Meninggalnya Sultan Hamengkubuwono IV mengguncang Keraton Yogyakarta sehingga menimbulkan kekosongan kekuasaan yang harus segera diisi. Dalam kekosongan itu, Pangeran Diponegoro, sosok kharismatik yang dikenal sebagai pahlawan besar masa depan, diserahi tugas yang sangat penting. Ia diangkat menjadi salah satu bupati sultan bagi putra mahkota selama dua tahun, sebuah tanggung jawab yang mendekatkannya pada pusat kekuasaan di istana, namun juga menanamkan benih kekecewaan mendalam pada dirinya.

Sebagai kakak dari Sultan Hamengkubuwono IV, Diponegoro mempunyai wawasan yang mendalam terhadap pemerintahan adiknya yang dianggap kurang tegas. Jadi, dia melihat kematian mendadak Sultan sebagai peluang untuk menyelamatkan istana dari ketidakpastian. Dalam salah satu catatannya, Diponegoro bahkan mengungkapkan rasa syukurnya atas kejadian tersebut, sebuah sikap yang mencerminkan betapa dalamnya kekecewaannya terhadap pemerintahan adiknya.

Pada tanggal 14 Desember 1822, resolusi rahasia Van der Capellen, yang didukung oleh rekomendasi De Salis, memutuskan bahwa perwalian dan pemerintahan istana harus diberikan kepada empat orang: Ratu Ageng dan Ratu Kencono, yang membesarkan Sultan. , serta Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Diponegoro yang bertugas mengurus Kesultanan hingga Putra Mahkota dewasa.

Pada tanggal 19 Desember 1822, putra mahkota yang masih kecil itu diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono V. Bersamaan dengan pengangkatan tersebut, Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi wali Sultan. Keputusan tersebut dinilai tepat mengingat keduanya bercirikan masyarakat tenang tanpa ambisi politik berlebihan.

Namun dibalik sikapnya yang tenang itu, Diponegoro menyimpan luka batin yang mendalam. Kehadirannya di acara penobatan sebagai wali Sultan rupanya tak membuat dirinya bangga. Di sisi lain, Diponegoro merasa terhina dan kecewa. Pada saat penobatan, muncul cerita bahwa saat mengambil sumpah, Pangeran Diponegoro tanpa sadar merobek pakaian resminya, simbol rasa frustrasi yang tak terucapkan.

Hampir setahun menjabat, Diponegoro tetap menjalankan tugasnya dengan baik, meski harus menghadapi berbagai konflik internal, termasuk ibu tirinya yang sudah lama menjadi musuh bebuyutannya. Namun, permusuhan pribadi terhadap residen Belanda, Smissaert, dan asistennya, Chevallier, mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1823. Konflik ini akhirnya menyebabkan Diponegoro mengundurkan diri sebagai wali sultan, sebuah keputusan yang menjadi titik balik dalam hidupnya. menyebabkan Diponegoro mengundurkan diri sebagai wali sultan. untuk perjuangan yang lebih besar melawan kolonialisme Belanda.

Kisah Pangeran Diponegoro dalam menjalankan tugasnya sebagai wali Sultan merupakan cerminan perjalanan seorang pahlawan yang tidak hanya berjuang di medan perang, tetapi juga di panggung politik keraton. Di balik ketenangannya, terdapat kekecewaan mendalam yang kelak menjadi bahan bakar perjuangannya melawan penjajahan Belanda, perjuangan yang mampu mengubah sejarah bangsa.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours