Jakarta (ANTARA) – Teater Koma menyuguhkan pementasan ke-230 lakon terakhir karya penulis Norbertus Riantiarno (almarhum) bertajuk “Matahari Papua” yang mengisahkan perjuangan anak manusia bernama Biwar melawan naga penguasa.
Pada pementasan perdananya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis (6/6), lakon “Matahari Papua” yang disutradarai Ranggo Riantiarno dan dibintangi oleh Nino Bukira berkisah tentang seorang pemuda bernama Biwar (Lutfi Ardiansyah) yang dibesarkan oleh keluarganya. ibu Yakomina (Netta Kusumah Dewi) sejak kecil. Mereka tinggal di wilayah Kamoro Papua dan jauh dari hiruk pikuk pemukiman penduduk.
Klip adegan lakon “Matahari Papua” karya Teater Koma bersama Bakti Budaya Djarum Foundation di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat (6/6/2024) malam. ANTARA/Vinny Soffa Salma/am.
Cerita bermula ketika Biwar menyapa ibunya untuk mencari ikan di tepi sungai. Saat memancing, Biwar dikejutkan dengan teriakan dua gadis yang diserang oleh tiga ekor kadal, bawahan sang naga.
Biwar segera menolong kedua gadis itu dan berhasil mengalahkan ketiga kadal yang menyerang mereka. Dari sinilah benih cinta mulai bertunas, saat Biwar berhasil menyelamatkan dua orang gadis, salah satunya bernama Nadiva (Tuti Hartati).
Di tengah deru cinta yang mulai tumbuh di hati Biwar, kenyataan pahit menyingsing bahwa ayahnya telah tiada karena dibunuh oleh naga penguasa. Dari sinilah Biwar bertekad membalas kematian ayahnya dan membunuh naga tersebut agar tanah Papua bisa kembali damai.
Akankah balas dendam Biwar pada naga itu berhasil?
Kritik sosial
Selama 47 tahun, Teater Koma telah berhasil melahirkan berbagai lakon yang sebagian besar mengangkat isu-isu sosial dan politik yang muncul di Indonesia. Tak terkecuali tayangan “Matahari Papua” yang “menyentuh” kelompok pengeksploitasi sumber daya alam negara Papua, tanpa memikirkan nasib penduduk di wilayah tersebut.
Klip adegan lakon “Matahari Papua” karya Teater Koma bersama Bakti Budaya Djarum Foundation di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat (6/6/2024) malam. ANTARA/Vinny Soffa Salma/am.
Selama kurang lebih 2,5 jam penonton disuguhi dialog-dialog satir yang menggugah pikiran dan sangat sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.
Dengan cerdiknya, mendiang Norbertus Riantiarno meracik dialog dalam “Matahari Papua” agar tidak terkesan menumbangkan sistem negara, namun penonton tetap memahaminya.
Misalnya lambang naga dianalogikan dengan penguasa, atau negara-negara Barat dianalogikan dengan negara-negara kolonial. Tak sampai disitu saja, ada beberapa dialog satir dari para pemain yang cukup tajam dalam mengkritisi situasi politik dan sosial di Indonesia saat ini, khususnya di Papua.
Menariknya, pemilihan waktu pementasan lakon “Matahari Papua” cukup sejalan dengan banyaknya ketidakadilan yang terjadi di dunia.
Melalui pementasan tayangan ini, ia berharap penonton turut serta mengecam ketidakadilan tersebut dan mendukung pihak-pihak yang seharusnya mendapatkan keadilan.
Akting yang mengesankan
Prestasi Teater Koma dalam dunia seni dan pertunjukan teater Indonesia tidak perlu diragukan lagi.
Cuplikan lakon “Matahari Papua” karya Teater Koma bersama Yayasan Bakti Budaya Djarum di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat (6/6/2024) malam. ANTARA/Vinny Soffa Salma/am.
Pengalaman dan kepiawaian para aktor berpadu apik dalam pementasan acara “Matahari Papua”, kualitas naskah yang tinggi serta kekompakan tim produksi berhasil menjadikan pertunjukan ini istimewa.
Mulai dari pemeran utama, pemeran pendukung, tim musik, sutradara hingga tim pendukung lainnya berhasil menjadikan “Matahari Papua” layak mendapat pujian.
Menariknya, naskah “Matahari Papua” terpilih menjadi salah satu pemenang Lomba Skenario Dewan Kesenian Jakarta 2022. Tak heran jika naskah lakon ini juga sangat mempengaruhi struktur keistimewaannya.
Selain tokoh Biwara, Yokomine, dan Nadiva yang berhasil memperkuat komedi “Matahari Papua”, ada juga dua tokoh yang mencuri perhatian dan berhasil membuat komedi ini semakin berwarna. Kedua tokoh tersebut adalah Sir Ilham Jambak sebagai buaya dan Sri Qadariatin sebagai burung hitam.
Di tengah perlawanan sengit Biwar dan sang naga, kedua karakter tersebut berhasil mencairkan suasana dengan sangat baik. Candaan dan tingkah magis antara buaya dan burung hitam berhasil menggelitik perut penonton.
Tanpa mengabaikan karakter lain dan tim produksi, tayangan “Matahari Papua” semakin menarik dengan hadirnya karakter buaya dan burung hitam. Meski terkesan serius, “Matahari Papua” berhasil menyeimbangkan nuansa komedi dan drama.
Meski tayangan “Matahari Papua” cukup panjang, namun penontonnya mungkin tidak akan bosan. Akting hebat para aktornya berhasil menghipnotis penonton untuk terus menyaksikan penampilan mereka hingga akhir, sehingga 2 setengah jam mungkin terasa tidak terlalu lama.
Kostum yang menggoda
Selain akting para aktornya yang luar biasa, penonton juga akan dimanjakan dengan kostum dan alat peraga yang indah dan detail, mulai dari penggambaran suku Papua yang sangat mirip dengan aslinya, serta alat peraga yang menunjang adegan tersebut. . cerita dibuat sangat mirip dengan aslinya.
Klip adegan lakon “Matahari Papua” karya Teater Koma bersama Bakti Budaya Djarum Foundation di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat (6/6/2024) malam. ANTARA/Vinny Soffa Salma/am.
Pergantian setting cerita dengan properti berbeda pun sangat lancar dan mulus, misalnya setting hutan dilanjutkan dengan adegan desa, tanpa ada kendala yang berarti.
Jika penonton membawa serta anak-anak kecil, kemungkinan besar mereka juga akan menikmati pertunjukan “Matahari Papua”, karena bingkai cerita yang berubah-ubah akan menarik perhatian mereka. Selain itu, unsur tarian dan nyanyian yang ditampilkan para pemain juga akan menghibur penonton, termasuk anak-anak.
Jangan lewatkan pertunjukan “Matahari Papua” di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada tanggal 7 hingga 9 Juni 2024. Untuk memesan tiket pertunjukan, kunjungi situs resmi mereka di www.teaterkoma org atau hubungi mereka di 0217359540 dan 0821122777709.
+ There are no comments
Add yours