Kisah Soetarjo, Pejuang Gerilyawan Bersenjata Peluru Uang Koin Usir Tentara Sekutu

Estimated read time 3 min read

SOETARJO menjadi salah satu pejuang gerilya lama Indonesia di Malang. Pria yang menghabiskan masa tuanya di Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang ini merupakan anggota pasukan gerilya pada tahun 1947 hingga 1949.

Soetarjo mengatakan, dia adalah anak ketiga dari 6 bersaudara, kakak laki-laki pertama, dan keduanya adalah partisan. Namun saudara laki-lakinya yang lain terbunuh dalam Perang Semarang tahun 1947, memaksanya ikut berperang melawan Belanda.

“Pertama tahun 1945 saya dididik menjadi calon DPR Solo. Namun pada tahun 1947 saudara laki-laki saya yang kedua meninggal. Maka saya keluar dari calon prajurit Istana Solo dan bergabung dengan satuan gerilya secara acak yang berlokasi di Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri, kata Soetarjo.

Soetarjo teringat kakaknya adalah sosok yang tidak takut. Kakak laki-lakinya yang lain, Soedijono, mempunyai semboyan “Berani membunuh, berani dibunuh”. Soedijono kini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Solo (TMP) no. 25B.

“Pertama kali bertugas tahun 1947. di pemerintahan militer, sekarang Koramil, lalu Kabupaten Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri, tahun 1947 sampai 1949,” ujarnya.

Soetarjo mengatakan mereka selalu kekurangan senjata, menurutnya senjata lengkap hanya di kota-kota besar, sedangkan di daerah pakai semampunya. Bahkan ada kalanya ia berburu babi hutan dengan senjata, namun tidak berisi peluru.

“Saya membawa senapan dan busur, kemudian digunakan untuk berburu babi hutan. Lucunya pistolnya ada, tapi tidak ada pelurunya. Dipecahkan dengan koin Belanda 1 sen, tapi ketika ditembakkan dari jarak 10 meter, pelurunya hilang, jelas pria berusia 99 tahun itu.

“Komandan hanya membawa satu senjata, 10 Bomen, satu senapan Jepang, dan kemudian granat nanas Jepang. “Cara pembuatan granat nanas ini dilakukan dengan cara diikatkan pada wadah berisi cat bekas dan dibuang,” lanjutnya.

Soetarjo mengatakan, ia ikut perang sebanyak dua kali pada agresi militer Belanda ke-1 dan ke-2 di Solo, namun ia hanya bisa melakukan perang gerilya. Penyebabnya adalah mereka kekurangan pasukan dan senjata, jika dipaksa berperang terbuka pasti akan dihancurkan oleh tank dan tank musuh.

“Solo Holland sebenarnya berbeda, bendera Surabaya berwarna merah, putih, dan biru. Tapi kalau bendera Sóla itu Inggris, rakyatnya kecil, tidak seperti Belanda yang besar, katanya.

Soetarjo mengenang bahwa selama kampanye gerilya, mereka menargetkan perbekalan militer musuh. Mereka juga akan menculik unit patroli musuh untuk mendapatkan informasi.

Namun, ketika perjuangan kemerdekaan berkembang di tengah agresi militer Belanda dan Sekutu, Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Musso memberontak.

“Pada pertengahan tahun 1948, setelah Perjanjian Gencatan Senjata Renville, terjadi peristiwa Musso PKI. Namun pasukan Belanda masih berada di Solo, Semarang dan Surabaya. “Kemudian terjadi lagi perang gerilya besar hingga tahun 1949. Terjadi lagi gencatan senjata berdasarkan Perjanjian Meja Bundar,” jelasnya.

Pada tahun 1949 tanggal 5 Januari, dengan berakhirnya agresi militer Belanda ke-2, Soetarjo akhirnya benar-benar dapat merasakan kemerdekaan. Setelah mendapat kritik dari seluruh dunia, Belanda akhirnya menarik pasukannya. “Hanya dengan begitu kita akan benar-benar merdeka dan tidak akan ada lagi yang menjajah,” ujarnya.

Ia berpesan kepada generasi muda bahwa perjuangan Indonesia saat ini bukan lagi perang senjata, melainkan perang melawan kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu, ia berharap generasi muda saat ini giat belajar untuk memajukan bangsa Indonesia.

“Anak pejuang bukanlah anak veteran, kami menganggap semua generasi muda sebagai anak pejuang. “Dulu terjadi berbagai macam tawuran, tidak hanya yang punya senjata, tapi petani, pedagang juga pejuang, kalau tidak ada beras maka perang tidak akan kuat,” tutupnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours