Kolaborasi menuju transisi energi

Estimated read time 6 min read

Jakarta (Antara) – Pada Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024, Indonesia menyatakan komitmennya untuk beralih dari energi terbarukan ke energi tak terbarukan untuk mencapai tujuan zero electrical (NZE) pada tahun 2060.

Kolaborasi adalah kunci untuk mencapai tujuan ini.

Dalam pertemuan dua hari di Jakarta pekan ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah telah mengumumkan 400 proyek untuk mendukung transisi energi, yang merupakan salah satu program pensiun dini PLTU Suralaya di Banten dan PLTU. Cirebon di Cirebon, Jawa Barat.

Meski demikian, Luhut menegaskan transisi energi harus dilakukan secara bertahap dan terukur karena batu bara berperan penting sebagai energi (baseload) dalam menjamin stabilitas ketenagalistrikan negara.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosen Roeslani mengatakan pengembangan energi terbarukan tidak seragam di berbagai wilayah di dunia.

Menurutnya, pengembangan teknologi dan investasi energi terbarukan saat ini terkonsentrasi di beberapa negara besar seperti China, Eropa, dan Amerika Serikat. Tiongkok mendominasi investasi di sektor energi terbarukan dan menyumbang 44 persen dari total investasi, diikuti oleh Eropa sebesar 21 persen dan Amerika Serikat sebesar 15 persen.

Sebaliknya, Amerika Latin, Afrika, dan banyak negara di Asia hanya menyumbang 18 persen dari total investasi dunia, meskipun wilayah-wilayah tersebut merupakan rumah bagi lebih dari dua pertiga populasi dunia.

Menurut Rosen, negara-negara berkembang seperti Indonesia menghadapi tantangan dalam transisi energi, seperti kurangnya infrastruktur, kebutuhan investasi awal yang besar, dan terbatasnya akses terhadap pendanaan.

Faktanya, pemerintah Indonesia mengharapkan memiliki 3.600 gigawatt energi terbarukan dari berbagai sumber, namun pemanfaatannya masih di bawah 1 persen.

Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan bahwa Asia Tenggara memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. IEA memperkirakan bahwa pada tahun 2040, penggunaan energi terbarukan dalam pembangkitan listrik di kawasan ini akan meningkat hampir tiga kali lipat.

Sesuai peta jalan yang ditetapkan pemerintah, Indonesia berjanji tidak akan membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru, melainkan menghentikan pengoperasian pembangkit listrik yang sudah ada mulai tahun 2050.

Meski saat ini ada beberapa proyek PLTU yang akan segera dihentikan, namun upaya pembangkitan energi ramah lingkungan perlu dipercepat.

Oleh karena itu, pemerintah dan industri harus lebih responsif dan fleksibel dalam menghadapi krisis keuangan global. Semua pihak, mulai dari negara berkembang, lembaga keuangan hingga investor, harus bekerja sama untuk membantu transisi negara berkembang menuju energi ramah lingkungan melalui investasi, transfer teknologi, dan akses ke pasar global.

Senada dengan hal tersebut, Rachmat Qaimuddin, Deputi Koordinator Bidang Pembangunan dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, mengatakan bahwa transisi energi merupakan proses yang sulit dan memakan waktu lama.

Oleh karena itu, negara-negara perlu berkolaborasi dengan dana global dalam bidang teknologi dan penelitian, mengembangkan infrastruktur energi berkelanjutan, dan memperkuat kapasitas tenaga kerja.

“Untuk mengatasi perubahan iklim global, diperlukan kerja sama antara negara maju dan negara berkembang, apapun nilai-nilai yang dianut masyarakat. Kerja sama bukanlah suatu pilihan, melainkan suatu keharusan,” kata Rachmat.

Tanpa kerja sama dan investasi negara-negara berkembang, dunia tidak akan mencapai perubahan yang dibutuhkan untuk memerangi perubahan iklim.

Perubahan nyata bukan sekedar peluang untuk melakukan mitigasi perubahan iklim, namun juga peluang untuk mendapatkan energi yang terjangkau dan mempertahankannya tanpa mengorbankan perekonomian.

Perdagangan elektronik

Salah satu kolaborasi yang dilakukan Indonesia untuk mendukung transisi energi adalah perdagangan listrik ramah lingkungan dan sambungan listrik antara Indonesia dan Singapura.

Kemitraan tersebut ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman antara kedua pemerintah pada acara ISF tahun lalu. Kerja sama tersebut mencakup dukungan Singapura terhadap pengembangan produksi energi terbarukan di Indonesia, seperti produksi panel surya dan alat penyimpan energi (BESS).

Pada ajang ISF 2024, Singapura mengumumkan peningkatan kuota impor listrik rendah karbon dari Indonesia menjadi 3,4 GW dari semula 2 GW. Lima perusahaan telah mendapat persetujuan dari Energy Market Authority (EMA) Singapura untuk mengekspor listrik ke Singapura. Diperkirakan proses elektrifikasi akan dimulai di Singapura pada tahun 2028.

Dalam hal ini, EMA telah menyetujui dua perusahaan lainnya, Total Energy dan Royal Golden Eagle (RGE). Mereka telah mendirikan perusahaan patungan, Singa Renewables Pte Ltd (Siga), untuk mengimpor 1 GW tenaga surya dari Indonesia ke Singapura.

Singa juga akan memasok tenaga surya ke pembangkit listrik ramah lingkungan di provinsi Riau untuk mendukung pencapaian tujuan bauran energi Indonesia.

Olivier Jouni, Wakil Presiden Senior Renewables Total Energy, mengatakan proyek ini merupakan bagian dari upaya menyediakan listrik yang bersih dan berkelanjutan, menggabungkan teknologi listrik dengan penyimpanan baterai.

Kepala Energi Terbarukan RGE, William Goh, mengatakan proyek ini merupakan win-win solution bagi Indonesia dan Singapura. Proyek ini diyakini akan membantu kedua negara mengurangi emisi karbon dan mencapai tujuan energi bersih. Selain itu, proyek ini akan mendorong pengembangan produksi energi surya di Indonesia dan menciptakan lapangan kerja baru.

Menurut Tan See Leng, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Perdagangan dan Bisnis Industri Singapura, kerja sama antar negara adalah kunci untuk mencapai dekarbonisasi.

Diketahui, impor listrik dari negara tetangga merupakan langkah strategis Singapura untuk mencapai netralitas karbon dan dekarbonisasi pada tahun 2050. Untuk mendukung transisi energi ini, Singapura bertujuan untuk meningkatkan pembangkit listrik dari 4 GW menjadi 6 GW. . Pada tahun 2035.

Selain itu, kerja sama perdagangan ketenagalistrikan antara Indonesia dan Singapura disebut-sebut akan memberikan manfaat bagi kedua negara. Selain menyediakan listrik ke Singapura, proyek ini dapat mendorong pertumbuhan produksi energi terbarukan di Indonesia, seperti produksi baterai dan panel surya.

“Pendapatan dari ekspor listrik dapat digunakan untuk mempercepat urbanisasi Indonesia untuk mempercepat proyek energi terbarukan di Indonesia,” kata Tan.

Menurut Puah Kok Keong, CEO Otoritas Pasar Energi (EMA) Singapura, untuk mengurangi emisi gas, Singapura perlu membangun proyek energi terbarukan yang besar dengan negara tetangga.

Kerjasama dengan negara lain untuk mencapai nol emisi dinilai sebagai jawaban yang tepat. Sebab, kondisi geografis Singapura tidak mendukung pengembangan pembangkit listrik tenaga surya, air, dan angin dalam skala besar, sehingga akan sangat bergantung pada impor listrik dari negara tetangga.

Saat ini, kemitraan antara Indonesia dan Singapura akan menjadi hal yang paling bermanfaat bagi kedua negara, ungkap Luhut. Bagi Singapura, mereka akan mendapat pasokan listrik bersih dari Indonesia melalui panel surya dan baterai yang diproduksi di Indonesia.

Di sisi lain, bagi Indonesia, pengembangan pabrik tenaga surya dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, terutama silika yang berlimpah, akan memperkuat posisi Indonesia di pasar energi global.

Transisi energi yang sukses memerlukan kerja sama antara sektor swasta, pemerintah dan masyarakat sipil, serta negara berkembang dan berkembang. Kemauan bersama dan kepemimpinan kolektif adalah kunci untuk mencapai perjanjian nol emisi yang disepakati dalam Perjanjian Paris.

Namun, perlu juga diingat bahwa dukungan finansial yang besar, terutama dari investasi asing langsung, merupakan prasyarat transisi energi.

Sutradara : Achmad Zainal M

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours