Mahkamah Etik Nasional Perlu Dibentuk untuk Kembalikan Demokrasi

Estimated read time 3 min read

Makassar – Sistem politik Indonesia semakin rapuh dan penuh dengan kepentingan pribadi dan kelompok elite. Hukum yang seharusnya menjadi penopang keadilan, justru kehilangan martabatnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hukum seringkali dijadikan alat permainan kekuasaan, diubah, dibubarkan bahkan ditundukkan demi kepentingan politik dan kapitalis.

Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) pada Selasa, 16 September 2024 dengan tema “Lemahnya Etika Administrasi Publik” yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin (Unhas).

Pakar hubungan politik Benny Sustio mengatakan perdebatan tersebut menyoroti dinamika penting hukum dan etika kenegaraan di Indonesia, di mana praktik kriminal dan kebijakan pembagian kekuasaan sering digunakan untuk mengalahkan lawan politik.

Katanya, “hukum bukan lagi alat untuk memelihara keadilan, melainkan alat yang diatur menurut kebutuhan kekuasaan.”

Kriminalitas dan politik pemisahan kekuasaan menjadi senjata ampuh untuk menekan lawan politik, karena memandang hukum hanya sebagai alat kekuasaan. Hukum, yang seharusnya menjadi penegak keadilan yang kuat, kini fleksibel di tangan elit dan diubah sesuai dengan kebutuhan politik praktis dan kepentingan kapitalis.

Dalam banyak kasus, hukum tidak lagi berperan sebagai pelindung rakyat, namun sebagai perpanjangan tangan kelompok elit yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Hal ini tidak hanya merendahkan martabat hukum, namun juga merusak demokrasi dan pemerintahan.

“Ketimbang memperjuangkan kepentingan rakyat, para pemimpin politik malah sibuk mengutamakan kepentingan pribadi dan kolektif.

Menurut Beni, ketika pemimpin mengabaikan etika dalam menjalankan tugasnya, maka etika hilang dalam tata kelola hukum. Proses legislasi yang seharusnya menjadi alat penyelenggaraan negara, seringkali terbentur kepentingan politik praktis dan modal.

“Partai politik yang seharusnya menjadi penjaga moralitas dan pengawas kekuasaan, bukannya berpolitik transaksional, malah mengedepankan kepentingan langsung rakyat. Akibatnya, hukum bukan lagi untuk hak dan keadilan, tapi soal perlindungan. kekuasaan.”, jelasnya.

Ironisnya, Pancasila yang menjadi dasar negara seringkali hanya dijadikan semboyan politik kosong tanpa implementasi nyata. Jika Pancasila benar-benar dijadikan sebagai falsafah politik dan hukum, maka produk hukum yang dihasilkan harus menghilangkan konflik kepentingan dan mengedepankan etika.

Ia menjelaskan: “Memang politik Indonesia seringkali menjadi medan cinta antara kekuasaan dan kapital. Kerja sama ini menghancurkan tatanan demokrasi dan budaya hukum yang berujung pada hilangnya moralitas hukum dan kepentingan elit.” kekuatan.”

Sistem hukum yang terjerat kepentingan politik dan kapitalis perlu direformasi, kata Beni. Salah satu solusinya adalah dengan menjunjung tinggi supremasi moral, bukan sekadar supremasi hukum. Artinya hukum harus dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai moral dan bukan sekedar aturan tertulis.

Ia menjelaskan: “Jika hukum dilihat hanya sebagai seperangkat aturan, maka akan berwarna abu-abu di bagian bawah, namun di bagian atas, dimana masyarakat kecil menjadi korban ketidakadilan, sedangkan elit penguasa bisa lolos dari hukum.”

Untuk memulihkan harkat dan martabat hukum dan demokrasi di Indonesia, perlu dibentuk undang-undang yang mengatur etika berbangsa dan bernegara, serta membentuk pengadilan etik nasional yang bertanggung jawab terhadap penegakan etika di kalangan pejabat publik.

“Penting untuk mengukur perilaku pemimpin politik tidak hanya dengan memperhatikan hukum, tetapi juga dengan memperhatikan nilai-nilai moral,” tegasnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours