Marak Gelar Guru Besar Abal-abal, Ketua DPP Perindo: Miris Jika ada Orang yang Tidak Malu

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Ketua DPP Kesehatan Perindo Sortaman Saragih mengaku prihatin dengan fenomena beberapa petinggi lembaga di Indonesia yang memberinya gelar guru besar tanpa menghasilkan karya ilmiah.

Berdasarkan temuannya di bidang ini, banyak orang yang kini menjadi profesor tanpa harus menjadi guru yang mengajar di perguruan tinggi.

Baca Juga: Unika Soegijapranata Semarang Pangeran 3 Guru Besar Minor Psikologi

“Sangat miris sekali ada masyarakat yang tidak malu untuk segera menyandang gelar guru besar tanpa prosedur ilmiah. Hasil lapangan menunjukkan bahwa untuk mendapatkan ijazah guru besar di negeri ini sangat mudah. guru yang profesional,” kata Sortaman, Rabu (17/7/2024) dalam keterangannya.

Menurut Sortaman, dianugerahi gelar guru besar merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang akademik di Indonesia.

Baca Juga: Begini Cara Cek Status Kenaikan Gaji Guru dan Profesor yang Perlu Diketahui Guru

“Banyak orang yang mengejar gelar palsu ini karena menganggap itu membuat mereka menjadi orang terhormat. Mereka tidak memahami bahwa tidak ada kehormatan yang tidak bisa diraih dengan cara tidak jujur,” ujarnya.

Sortaman juga menyayangkan acara pemberian gelar guru besar tidak bisa dimasukkan dalam bidang hukum. Faktanya, banyak penjualan hak milik yang ditangani oleh pejabat pemerintah.

Baca Juga: 10 Besar Provinsi Dengan Guru Besar Terbanyak, Jawa Timur Penuh Guru Besar

Sayangnya perdagangan tidak dibawa ke bawah hukum, karena dilakukan oleh orang yang berkuasa atau mungkin kebal hukum. Sejumlah pimpinan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di negeri ini patut disalahkan, ujarnya.

Menurut Sortaman, gelar profesor tidak salah. Sepanjang gelar tersebut diperoleh atau diperoleh melalui jalur prosedur yang benar.

“Profesor, Ph.D., persyaratan gelar akademik yang diterbitkan secara internasional, minimal 10 tahun sebagai guru penuh waktu. Tapi honor tidak berlaku, semua persyaratan bisa dipesan bekerjasama dengan kampus (disajikan sebagai makanan). Itu dijual. , ”jelasnya.

Sortaman mengatakan, kasus penjualan gelar ini tidak hanya terbatas pada guru besar, tapi juga gelar sarjana dan magister. Itu sebabnya orang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan gelar ini.

“Tidak hanya bisa memberikan gelar profesor, tapi juga gelar sarjana dan magister. Tapi masa pemesanannya tidak dadakan seperti jajanan tahu bulat, dilakukan dengan cerdas. Artinya, kuliahnya seolah-olah benar-benar terjadi. Dia ikut.”

“Semua mata kuliah dan tesis, tesis dan disertasi tersedia dan siap bayar. Jadi, orang yang lulus SMA pun bisa menyandang gelar profesor setelah 15 tahun. Semua bisa diatur, yang penting harga produknya, ” – dia menambahkan.

Menurut Sortaman, penerbitan ijazah palsu sangat merusak reputasi lembaga pendidikan di Indonesia. Ia pun meminta pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengkaji permasalahan tersebut secara mendalam.

“Hapus gelar ini untuk dijual. Ikuti aturan yang berlaku saat ini untuk mendapatkan gelar ini. Bagaimana dunia melihat jika pendidikan di negeri ini tidak tuntas,” ujarnya.

“Maka bangsa ini telah menjadi bangsa badut yang tidak tahu malu. Tapi bisakah penjualan jabatan profesor juga menjadi bagian dari permainan kementerian?” dia menekankan.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours