Masyarakat Sipil Desak Pembahasan RPMK Soal Produk Tembakau Dihentikan

Estimated read time 5 min read

JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil menyerukan penghentian pembahasan rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) 2024 karena memberi ruang lebih pada produk tembakau, rokok elektronik, dan tata niaga tembakau di Indonesia.

Pada Selasa (17/9/2024) perwakilan masyarakat sipil menyampaikan permohonan pada Program Halakho Nasional untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat sipil dan pemerintah yang diselenggarakan oleh Persatuan Pondok Pesantren dan Pengembangan Masyarakat (P3M) di Jakarta. .

Panel tersebut dihadiri oleh 50 orang dari berbagai sektor, termasuk perwakilan pemerintah, asosiasi petani, serikat pekerja, asosiasi ritel, pengusaha, asosiasi industri tembakau, serikat masyarakat sipil, akademisi, aktivis agama, dan media.

Program Halakha Nasional yang mengangkat tema “Kajian Kritis RPMK 2024 Terhadap Keamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik” menghadirkan beberapa pembicara. Antara lain Dr. Benguet Saraghih, perwakilan Kementerian Kesehatan; K.H. Ketua PBNU Mifta Fakih; Dr. Syahrizal Syarif, Wakil Rektor Yunusia Jakarta; Ali Raido, Pakar Hukum Universitas Trishakti; Sudarto, Ketua FSP-RTMM-SPSI, Kusnaji Muhdi, Perwakilan Gabungan Petani Tembakau Indonesia dan Komisi XI DPR RI, Misbakhun.

Baca Juga: PP 2024 Diperkirakan Sebabkan 28 Pengulangan Massal di Sektor Iklan Rokok

Direktur P3M Sarmidi Husna mengatakan, Halakho ini dipicu oleh kekhawatiran berbagai pihak terhadap dampak RPMK 2024 terhadap keamanan produk tembakau dan rokok elektrik yang mengusulkan ketentuan penerapan kemasan polos tanpa merek. RPMK ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan ketentuan Undang-undang ini.

Sarmidi menyoroti proses penyusunan dan pengayaan pasal-pasal RPMK 2024 sangat sedikit partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan yang kredibel sehingga tidak partisipatif.

“Beberapa pasal dalam RPMK 2024 berpotensi merugikan petani tembakau, UMKM, serikat pekerja, dan industri rokok. Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk penolakan dari beberapa kalangan,” kata Sarmidi.

Berbicara atas nama pemerintah, Bengut Sarghih mengatakan, “RPMK 2024 bukan tentang menyuruh masyarakat berhenti merokok, tapi bertujuan untuk menghentikan anak-anak merokok.”

Ditegaskannya, keikutsertaan tersebut dinilai negatif, “Kementerian Kesehatan terus mengeluhkan kelalaian kementerian terkait, karena dianggap menolak pendiriannya,” jelasnya.

Menanggapi penegasan Benguet Saragihin, Miftah Faqih selaku Ketua PBNU menegaskan agar masyarakat dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan secara seimbang dan tidak sepihak (al-maslaha al-amma) yang mengutamakan kepentingan bersama. . Jika tidak, maka RPMK 2024 batal dan tidak adil. Rancangan peraturan tidak dapat diadopsi secara sewenang-wenang tanpa berkonsultasi dengan pemangku kepentingan terkait.

“Pada prinsipnya aturan RPMK tahun 2024 harus mampu mengakomodir semua kalangan dan berwawasan ke depan secara adil dan konsisten dengan fungsi keagamaan,” tegas Mifta.

Sementara itu, Perwakilan Kementerian Perindustrian Nugraha Prasetya Yogi mengungkapkan, dalam proses persetujuan PP 28/2024, pihaknya tidak terlibat dalam rancangan finalnya.

“Apalagi kami tidak terlibat dalam framing pasal-pasal dalam RPMK baru 2024, padahal RPMK ini berpotensi sangat merugikan dunia usaha dan dunia industri,” kata Yogi.

Yogi juga menegaskan, kebijakan standarisasi kemasan produk tembakau dan rokok elektronik dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal. Hal tersebut berpotensi mengurangi penerimaan negara dari cukai hasil tembakau. Menurutnya, semakin populernya rokok ilegal justru menghancurkan pasar rokok legal sehingga berdampak pada penurunan penjualan, penurunan produktivitas dan efisiensi tenaga kerja, hingga PHK.

Situasi ini mengancam 537.452 pekerja di industri tembakau dan mengancam keberlangsungan petani tembakau dan cengkeh yang mencapai 1,5 juta keluarga, tegasnya.

Sebagai perwakilan dari Federasi Serikat Pekerja SPSI-RTMM (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia – Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman), Sudarto menolak RPMK versi Kementerian Kesehatan 2024. Menurutnya, Indonesia adalah negara yang berdaulat. Sistem pertanian tembakau dan perdagangan rokok sudah ada sebelum kita merdeka. Di sisi tenaga kerja, industri rokok menyerap lebih sedikit tenaga kerja.

Sejak diundangkannya UU Kesehatan. Setelah PP 17 Tahun 2003 dan PP 28 Tahun 2004, pengendalian tembakau dilaksanakan dengan strategi yang tenang dan sistematis. Terutama sejak FCTC tahun 2003 diratifikasi dan diterapkan pada tahun 2005, peraturan nasional telah ditekan dan dikesampingkan oleh kepentingan bisnis. Namun Indonesia belum meratifikasi FCTC. Hal ini sejalan dengan pertimbangan jutaan pekerja yang terlibat di industri hasil tembakau, mulai dari hulu hingga hilir.

“Bukan sekedar regulasi, industri hasil tembakau diatur melalui kebijakan cukai, industri mendapat tekanan dengan kenaikan cukai, sehingga harga rokok semakin meningkat dan tidak heran jika banyak bermunculan rokok ilegal. Kami mewakili pekerja. Persamaan hak di hadapan hukum dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak, kami ingin aspirasi kami didengar,” jelas Sudarto.

Gunawan dari Komite Hak Asasi Manusia Indonesia untuk Keadilan Sosial (IHCS) menyatakan perlunya harmonisasi PP tersebut dengan undang-undang dan peraturan pemerintah yang ada. Tembakau merupakan komoditas strategis nasional dan produk daerah yang baik sehingga perlu dilindungi karena menyangkut masa depan petani. Selain harmonisasi, seluruh peraturan juga perlu memberikan perlindungan yang lebih bermakna terhadap hak-hak petani dan partisipasi masyarakat.

“Memberlakukan peraturan tembakau tanpa partisipasi berarti dapat dianggap inkonstitusional,” kata Gunawan.

Sementara itu, Ali Rido menilai RPMK terlalu dominan karena sudah melampaui kewenangan mengatur hal-hal yang tidak seharusnya diatur dalam peraturan menteri. Dalam pembahasan RPMK, Kementerian Kesehatan tidak menerima seluruh kepentingan pemangku kepentingan tembakau.

Sementara itu, kuatnya kepentingan perusahaan raksasa dalam tata kelola kesehatan internasional telah menyebabkan bangkrutnya usaha masyarakat, hilangnya lapangan kerja dan masa depan yang suram bagi petani tembakau dan cengkeh, kata perwakilan Indonesia Mohammad Misbakhun. dan kelangsungan Industri Hasil Tembakau Nasional (IHT).

“Pemerintah sebagai regulator tidak pernah memposisikan diri secara positif dalam memberikan kompensasi kepada ekosistem tembakau,” katanya.

Misbakhun mengatakan RPMK tentang tembakau dan rokok elektrik kurang melibatkan partisipasi industri dan masyarakat untuk mengkaji implikasi (terutama finansial) dari banyak pasal terkait sektor IHT.

“Saya melihat kurangnya partisipasi ini mempengaruhi kondisi perekonomian ke depan,” ujarnya.

Baca Juga: KNPK tolak rancangan peraturan Menteri Kesehatan untuk melindungi produk tembakau, berbau investasi asing

Selain Misbakhun, Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia menyimpulkan bahwa pelarangan dan pembatasan penjualan produk budiman akan menurunkan produksi dan berdampak pada tenaga kerja serta tentunya berdampak pada penyerapan bahan baku tembakau dan cengkeh. Indonesia menyumbang 97 persen rokok kretek berbahan dasar cengkeh, dengan 1,5 juta petani cengkeh memasok kebutuhan rokok kretek. Peraturan berdampak pada komunitas yang mendukung ekosistem tembakau.

Sekretaris Jenderal DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kusnaji Mudi mengatakan pemerintah harus mengkaji dan mengundang hilirisasi industri tembakau karena dampaknya terhadap masa depan tembakau sangat besar. Menurutnya, RPMK belum berdasarkan prinsip keadilan yang komprehensif.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, perwakilan masyarakat sipil Halakha Nasional menyimpulkan bahwa undang-undang RPMK Tahun 2024 yang sedang dibahas Kementerian Kesehatan bermasalah baik unsur, substansi, dan prosesnya sehingga tidak tepat jika pemerintah melanjutkan pembahasannya. . . Itu saja.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours