Memahami tata kelola uang negara

Estimated read time 6 min read

Jakarta (ANTARA) – Benarkah utang negara yang semakin banyak akan menjadi beban berat bagi masyarakat generasi mendatang? Pertanyaan ini kerap menjadi perbincangan menarik di kalangan masyarakat.

Padahal, perlu dipahami bahwa pengelolaan utang negara merupakan aspek penting dari kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendorong pembangunan dan menjaga stabilitas perekonomian.

Dana kredit dari dalam dan luar negeri digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan belanja sosial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 2003 tentang Keuangan Negara dan pelaksanaannya harus mendapat persetujuan dan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Namun masih banyak masyarakat yang belum memahami cara pengelolaan utang negara sehingga sering muncul ketakutan dan kesalahpahaman, misalnya utang negara menjadi beban masyarakat yang diwariskan secara turun temurun, sedangkan bayi baru lahir yang memikulnya. .

Hal-hal seperti itu diyakini di masyarakat, padahal kenyataannya argumen tersebut tidak berdasar dan tidak ada praktik seperti itu di dunia.

Artikel ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada orang awam tentang cara pengelolaan utang pemerintah.

Pengelolaan utang publik terutama bertumpu pada tiga hal yaitu sumber utang, manajemen risiko, dan pengelolaan utang berkelanjutan.

Utang negara bersumber dari dua sumber utama yaitu utang dalam negeri. Melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Negara Syariah (SBSN), pemerintah meminjam dana dari investor dalam negeri.

Hal ini dilakukan sehubungan dengan pembiayaan APBN dan menjaga keseimbangan fiskal. Utang dalam negeri memiliki keuntungan karena tidak terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar dan lebih mudah dikelola dalam hal refinancing, namun tingkat suku bunga lebih tinggi sehingga membuat investor tetap tertarik. Utang dalam negeri menyumbang sekitar 70 persen dari total utang.

Kemudian sumber utang luar negeri. Hal ini dapat berupa pinjaman dari lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, IMF), pinjaman bilateral dari pemerintah negara lain (G to G) dan penerbitan surat utang dalam mata uang asing untuk menarik investor asing.

Dana tersebut dapat digunakan untuk membiayai proyek pembangunan yang produktif dan memiliki syarat tertentu seperti tingkat suku bunga dan jangka waktu pengembalian.

Utang luar negeri lebih rentan terhadap risiko nilai tukar dan suku bunga global, sehingga pemerintah berupaya mengurangi ketergantungan dengan membatasi porsinya maksimal 30 persen.

Dari sisi pengelolaan risiko, pengelolaan utang dilakukan secara hati-hati untuk meminimalkan risiko makroekonomi.

Risiko yang mungkin timbul, antara lain adalah rasio nilai tukar, dimana sebagian utang luar negeri berdenominasi mata uang asing, sehingga fluktuasi nilai tukar dapat mempengaruhi jumlah kewajiban utang.

Risiko suku bunga, khususnya kenaikan suku bunga global, dapat meningkatkan beban bunga utang, khususnya utang yang memiliki suku bunga mengambang.

Dan ada risiko pembiayaan kembali.

Pemerintah harus memastikan utang yang sudah jatuh tempo dapat dilunasi atau diganti dengan utang baru tanpa menambah tekanan pada APBN.

Sedangkan dari sisi pengelolaan utang berkelanjutan dapat dijelaskan bahwa salah satu prinsip pengelolaan utang haruslah keberlanjutan, menjaga pembiayaan utang tetap terkendali sehingga undang-undang membatasi jumlahnya tidak melebihi 60 persen PDB dan disiplin dalam pengelolaan kebijakan fiskal dan pengendalian defisit anggaran yang tidak melebihi 3 persen per tahun.

Jika utang proporsional, maka dapat berdampak positif terhadap perekonomian dengan mengutamakan proyek-proyek produktif yang mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Penggunaan hutang

Sumber utama pembayaran utang adalah pendapatan pemerintah. Pembayaran utang dilakukan secara terstruktur melalui alokasi anggaran tahunan yang disusun dalam APBN.

Diantaranya penerimaan perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), penerbitan surat utang baru (refinancing), dividen BUMN, dan dana eksternal seperti hibah.

Pemerintah seringkali membayar utang melalui program belanja strategis seperti impor alat kesehatan, obat-obatan darurat seperti pada masa pandemi COVID-19, penyediaan berbagai komoditas untuk persediaan pangan, subsidi energi, dan belanja sosial melalui negosiasi dan restrukturisasi.

Hal ini dapat berupa keringanan berupa penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu pinjaman hingga terhapuskannya utang dengan mengubah status hibah menjadi hibah, atau bahkan imbalan usaha seperti barter produksi sumber daya alam. .

Adapun penggunaan utang negara diatur sebagai penyaluran utang negara, bahkan untuk objek infrastruktur. Secara umum, pos ini menempati bagian terbesar dari utang negara – 30-40 persen.

Utang dalam tunjangan ini dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandar udara, sistem perkeretaapian, jembatan, bendungan, irigasi, serta sarana dan prasarana lainnya.

Infrastruktur menjadi katalis pertumbuhan ekonomi karena meningkatkan konektivitas, mempercepat distribusi barang dan jasa, serta menciptakan lapangan kerja.

Alokasi sektor sosial yang berjumlah sekitar 15-20 persen dari utang negara dialokasikan pada sektor pendidikan dan kesehatan, seperti pembangunan sekolah, universitas, fasilitas kesehatan, rumah sakit, program bantuan sosial lainnya dalam bentuk peningkatan kesejahteraan. peningkatan jumlah atau kualitas dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, untuk mendukung produktivitas dan daya saing perekonomian.

Belanja sosial dan perlindungan sosial menutupi 10-15 persen utang negara. Antara lain membiayai program perlindungan sosial seperti bantuan sosial (banso), subsidi energi, dan subsidi pangan untuk mengurangi kesenjangan dan mendukung masyarakat kurang mampu.

Pos Berikutnya Pembiayaan Defisit APBN. Utang tersebut juga digunakan untuk menutupi defisit anggaran. Defisit terjadi ketika pendapatan pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai pengeluaran pemerintah, sehingga pemerintah harus meminjam dana untuk menutupi defisit tersebut.

Defisit anggaran dapat terjadi karena berbagai sebab seperti menurunnya neraca perdagangan dengan negara lain, terdepresiasinya nilai tukar rupee, atau karena tertundanya penerimaan negara, atau karena perubahan kondisi geopolitik global seperti peperangan di berbagai wilayah negara. dunia, yang menyebabkan ketidakpastian dan resesi.

Kemudian pos pembiayaan pemulihan ekonomi. Berbagai kejadian tidak terduga seperti bencana alam, pandemi COVID-19, dan perang memaksa pemerintah untuk mengubah prioritas APBN yang membutuhkan dana mendesak dalam waktu singkat.

Utang tersebut merupakan solusi pembiayaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program ini mencakup dukungan terhadap sektor dunia usaha, insentif bagi usaha kecil dan menengah, serta pembiayaan bagi sektor-sektor yang terkena dampak seperti pariwisata, manufaktur, dan jasa, serta menjaga daya beli masyarakat guna menjaga stabilitas perekonomian.

Daya beli masyarakat sangat penting untuk menjaga berbagai industri tetap aktif berproduksi dan menyerap tenaga kerja.

Tantangan dalam penggunaan

Meskipun utang dialokasikan untuk berbagai tujuan produktif, namun masih terdapat beberapa permasalahan dalam penggunaan utang pemerintah, seperti efisiensi proyek infrastruktur yang tidak semuanya menghasilkan laba atas investasi (ROI) dengan cukup cepat.

Beberapa proyek besar mungkin membutuhkan waktu puluhan tahun untuk benar-benar berkontribusi terhadap pendapatan pemerintah, sehingga terdapat risiko bahwa beban utang akan bertambah lebih cepat dibandingkan manfaat ekonominya.

Selain itu, risiko keuangan meningkat jika utang diandalkan untuk membiayai defisit anggaran.

Ditambah dengan ketidakpastian kondisi ekonomi global, seperti kenaikan suku bunga global, perubahan kebijakan ekonomi internasional dan geopolitik dapat meningkatkan biaya utang luar negeri.

Oleh karena itu, pengelolaan utang harus menerapkan berbagai strategi dengan disiplin berkelanjutan, seperti pengendalian fiskal, menjaga defisit anggaran, memperbaiki neraca perdagangan, serta mengalokasikan dan memantau pemanfaatannya secara cermat.

Pemantauan dan evaluasi memastikan bahwa setiap hibah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

*) Penulis adalah perwakilan dari operasional CSIRT.ID

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours