Mematangkan ikhtiar untuk menempa generasi muda tenis

Estimated read time 7 min read

Banda Aceh (ANTARA) – Di lapangan hijau biru, nomor beregu putra dan putri membuka pertandingan tenis Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut 2024.

Kontingen dari berbagai daerah peserta berlomba-lomba menampilkan pemain terbaiknya yang berusia 17 hingga 34 tahun. Dalam ajang beregu, para pemain tenis dari masing-masing kontingen berkumpul untuk menyumbangkan hasil.

Salah satunya adalah tim tenis tuan rumah, Aceh yang beranggotakan petenis putri Cylova Zuleyka Hukmasabiyya, Dina Novrianti, Nadya Aulia dan Ananda Putri Kurniani, serta petenis putra Muhammad Gunawan Trimuswantara, Hafiz Muhammad, Muhammad Zaid Aulia, dan Irfandi Hendrawan. .

Beberapa bek yang membela Aceh masih berusia muda dan baru lolos PON pertamanya. Zaid misalnya, di usianya yang masih 17 tahun, dipercaya pelatih Aceh untuk berkontribusi dalam hasil yang ditetapkan. Selain Zaid, ada juga Gunavan Trimusvantara yang baru berusia 21 tahun. Dibandingkan Zaid, Gunawan menorehkan namanya di beberapa laga internasional.

Berbeda dengan tim Jatim yang menampilkan petenis terbaik Indonesia yang sudah banyak tampil di turnamen nasional dan internasional.

Di tenis putri, Jawa Timur diperkuat Beatrice Gumulya, Janice Tien, Jessie Priscilla Rompis, dan Aldila Sutjadi. Sementara di tenis putra, Jawa Timur diperkuat kakak beradik Susanto, David Agung, dan Anthony, serta Muhammad Rifki Fitriadi dan Christopher Benjamin Rungkat.

Tim tenis Jatim ibarat “tim impian” yang punya segudang pengalaman. Mereka sepertinya sudah hafal semua jenis serangan balasan yang akan dilakukan musuh mereka.

Tentu berbeda dengan pemain muda yang baru beberapa kali mengikuti turnamen. Musuh yang mereka hadapi masih terbatas skalanya. Apalagi, beberapa petenis baru saja mengikuti ajang olahraga nasional empat tahunan tersebut. Mereka hanya mencoba bidang baru, pengalaman baru, dan tentu saja lawan baru.

Fenomena perbedaan kemampuan antara satu kontingen dengan kontingen lainnya juga menimbulkan pertanyaan: Apakah petenis muda yang berlaga di PON kali ini memiliki kemampuan yang sama dengan petenis senior di PON mendatang?

Petenis Jawa Timur Janice Tien Aceh Petenis Cylova Zuleyka usai memenangi pertandingan tenis beregu putri perempat final PON XXI Aceh-Sumut 2024 di Lapangan Tenis Harapan Bangsa, Banda Aceh, Aceh, Kamis (12/9/2024). ). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Asa adalah pemain tenis muda

Beberapa diantaranya, petenis muda yang sedang naik daun, mulai mewujudkan mimpi dan harapannya untuk pertama kalinya di PON tahun ini. Suatu kehormatan bagi mereka bisa mewakili tim daerahnya di ajang olahraga paling bergengsi se-Indonesia tersebut.

Di lapangan tenis Stadion Harapan Bangsa yang luas, mereka berlomba membawa nama daerah yang mereka bela ke podium. Namun, balapan adalah masalah lain. Kesenjangan keterampilan juga menjadi masalah.

Salah satu tokoh tenis paling terkenal itu terlihat menghadiri pertandingan babak penyisihan tim putra dan putri. Sosok itu adalah Sukharyadi, mantan petenis yang bermain di Olimpiade Seoul 1988 bersama rekannya Donald Wylan Walangi. Ia juga merupakan suami dari Yayuk Basuki, petenis Indonesia yang mencatatkan berbagai prestasi.

Suharyadi yang kini menjadi pelatih pribadi petenis kontingen Jatim, Muhammad Rifki Fitriadi pun mengamati berlangsungnya pertandingan antara petenis junior dan senior.

“Di sini terlihat daerah mana yang serius untuk dikembangkan, juga bisa dilihat daerah mana yang pemain-pemainnya bagus,” ucapnya sambil melihat langsung ke lapangan.

Menurut dia, tugas masing-masing daerah memberikan pedoman jangka panjang, jangka menengah, jangka pendek dan mempunyai tujuan. Pedoman tersebut tidak hanya mendekati tanggal PON, namun juga harus terus diterapkan secara konsisten.

Jika dibahas secara teori, pembinaan tidaklah sulit. Namun ada satu hal yang kerap menjadi kendala utama dalam setiap permasalahan di dunia tenis, yaitu pendanaan.

Ia menjelaskan, tenis merupakan olahraga individual. Awal mula karir tenis anak sebagian besar diawali dari pengaruh orang tuanya. Karena merupakan olahraga individu, maka dana yang dikeluarkan tergantung pada kemampuan masing-masing pemain tenis, sehingga ada yang lebih memilih berlatih hemat karena keterbatasan dana.

Padahal, sebaiknya para petenis muda berusia 15-19 tahun dilatih oleh pengurus daerah (pengda) atau klub tenis, sehingga latihan bisa dibarengi dengan upaya regenerasi petenis masa depan.

Berada di bawah payung besar seperti Pengprov, proses latihan dan pemulihan pemain bisa terjamin. Namun, mereka kembali menghadapi kendala pendanaan. Atlet harus mengikuti banyak turnamen untuk mengumpulkan poin dan belajar menghadapi lawan baru.

Namun biaya yang diperlukan untuk berkompetisi di tingkat nasional maupun internasional bagi seorang atlet tidaklah sedikit. Selain itu, dalam satu tahun pemain harus mengikuti 10-12 turnamen.

Untuk biaya turnamen internasional dikenakan biaya US$1.000 hingga US$1.200 per minggu. Jika dikalikan dengan 12 turnamen maka dana yang dibutuhkan sekitar Rp 180 juta. Ini hanya untuk satu atlet, bukan lima atlet.

Untuk dana sebesar itu, otoritas lokal dan klub seringkali tidak mampu mendanainya. Cara lain yang bisa digunakan untuk mendapatkan biaya tersebut, salah satunya adalah dengan mencari sponsor swasta.

Kerja sama dengan pihak swasta juga tidak mudah. Bagi perorangan yang ingin memberikan sponsorship, harus ada hubungan timbal balik antara pemain tenis dan sponsor. Tenis harus terlebih dahulu menjadi komoditas olahraga yang dipedulikan dan diwaspadai masyarakat Indonesia, agar pihak swasta bisa datang dan bersedia memberikan sponsorship.

Namun jika melihat keadaan di Indonesia, tenis masih menjadi olahraga yang belum banyak ditemui di masyarakat. Selain itu, tidak ada faktor menarik yang membuat masyarakat ingin terus mengikuti olahraga tenis.

Persoalan lain selain pendanaan adalah komitmen latihan para pemain. Eri, sapaan akrab Sukharyadi, menilai hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah pembinaan pemain tenis secara bertahap.

Sambil menyaksikan aksi para pemain muda di lapangan tenis Stadion Harapan Bangsa, ia mengatakan banyak pemain tenis muda yang memiliki masa depan cerah. Sayangnya, setelah keluar dari status tenis junior, pembinaan tidak lagi dianggap serius sehingga terjadi gap di antara keduanya.

Menilik dari PON, Eri menilai generasi muda yang berlaga di PON harus bisa terus berlatih di daerahnya masing-masing setelah ajang tersebut selesai.

Ilmu yang mereka peroleh dari bekerja sama dengan pemain senior yang lebih berpengalaman juga bisa diterapkan pada ilmu yang diajarkan saat latihan sehingga ajang olahraga di tanah air tidak hanya sekedar ajang bertanding melainkan ajang menimba ilmu.

Jika seorang petenis Indonesia berprestasi, bukan tidak mungkin akan ada dana dari pihak swasta yang ingin mendukung prestasi petenis tersebut. Perwujudannya tentu saja memerlukan sinergi antar pihak yang berkepentingan.

“Masalah ini bisa diatasi bersama, mulai dari pemerintah, Pengurus Besar Persatuan Tenis Seluruh Seluruh Indonesia (PB PELTI) dan daerah. Melalui kerja sama, mungkin kendala pendanaan bisa teratasi. Namun perlu pemikiran yang baik, komitmen dan disiplin,” ujarnya.

Petenis asal Jawa Timur M Rifqi Fitriadi bersalaman dengan petenis asal Aceh M Gunawan Trimuswantara usai bertanding di babak perempatfinal tenis beregu putra PON XXI Aceh-Sumut 2024 di Lapangan Tenis Harapan Bangsa, Banda Aceh, Aceh, Kamis (12/). . 9/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Komitmen PELTI

Sebagai organisasi yang membawahi segala sesuatu yang berkaitan dengan tenis, PP PELTI mempunyai rencana sebagai bagian dari upaya mematangkan upayanya membentuk generasi emas tenis di masa depan.

Melihat ke belakang, salah satu isu utama yang dibahas sebelumnya adalah pendanaan. Kepala Departemen Pengembangan Prestasi (Kabid Binpres) Dedi Prasetyo mengakui memang ada kendala terkait pembiayaan atlet.

Meski demikian, kata dia, Ketua PP PELTI Noordin Khalid telah berkomitmen pada organisasinya untuk mendatangkan pemain-pemain terbaik untuk mencari sponsor agar bisa berangkat ke turnamen tersebut.

Kemudian, untuk menggaet dukungan sponsor, harus ada pemain berkualitas yang mampu membawa nama Indonesia. Oleh karena itu, salah satu hal yang menjadi fokus Dedi dan timnya saat ini adalah peningkatan kualitas pemain.

Ia dengan tegas menyatakan, kualitas petenis Indonesia semakin terpuruk dalam beberapa tahun terakhir. alasannya? Salah satunya karena menurunnya kualitas pelatih karena tidak mau terus belajar.

Banyak pelatih yang hanya memiliki pengalaman di bidang tenis dan kemudian menjadi pelatih. Setelah itu, mereka tidak mau lagi mempelajari ilmu olah raga, khususnya ilmu tenis. Padahal, ilmu tersebut sangat diperlukan selain kemampuan bermain tenis. Diperlukan strategi yang baik untuk melahirkan pemain berkualitas.

“Pelatih mengajari mereka seolah-olah mereka bekerja seperti biasa. Mereka (pemain) harus dilatih. Jadi, kalau ingin maju, para petenis perlu mendapatkan latihan berkualitas yang memiliki tujuan jangka panjang tertentu,” ujarnya.

Pelatih harus mampu meningkatkan latihan atletnya dengan program latihan yang terjadwal secara rutin. Jika atlet yang dilatih sudah beradaptasi dengan levelnya, maka tingkat kesulitannya harus ditingkatkan lagi. Dengan begitu akan ada kesinambungan dan bakat dalam tenis tidak berhenti pada usia 15-19 tahun.

Jika kekurangan dalam latihan bisa diperbaiki, maka atlet yang dilatih akan berkualitas dan dunia tenis Indonesia akan bergerak ke arah yang lebih baik. Dibutuhkan komitmen yang tegas dan berkesinambungan untuk menyelesaikan program yang dimulai. Upaya ini juga menjadi komitmen PELTI ke depan.

Kita berharap masa depan tenis Indonesia bisa terus berkembang hingga bisa kembali mengirimkan wakilnya ke Olimpiade, bahkan nama-nama petenis Indonesia bisa mengharumkan nama negara di ajang Grand Slam, ajang tenis paling bergengsi.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours