Mendorong Investasi Migas, Skema Cost Recovery Dianggap Cocok

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Sistem cost recovery di industri migas diyakini memiliki prinsip sharing beban atau sharing the pain secara baik, baik bagi kontraktor maupun pemerintah. Apalagi dalam penggantiannya juga ada proses dan prosedur yang ketat.

Direktur Pusat Kebijakan Energi Muhammad Kholid Syeirazi juga menjelaskan bahwa program cost recovery juga cocok diterapkan di Indonesia berdasarkan distribusi yang besar. Sebab, sumur dalam negeri saat ini tergolong sudah matang sehingga membutuhkan biaya lebih tinggi untuk mempertahankan produksinya.

“Cost recovery adalah hal yang paling logis, apalagi sumur kita sudah dianggap matang. “Perlu biaya besar untuk mempertahankan produksi,” kata Kholid.

Menurut Kholid, rencana cost recovery dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu, pemerintah kini menargetkan produksi 1 juta barel per hari pada tahun 2030.

“Misalnya kita punya rencana untuk meningkatkan produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari pada tahun 2030, tapi tidak didukung dengan cost recovery, maka itu tidak mungkin. Itu tidak mungkin,” kata Kholid.

Apalagi, lanjutnya, industri migas tidak bisa dipahami dengan menggunakan prinsip ekonomi umum. Apa contohnya? Misalnya, kata dia, pengembang yang berinvestasi Rp 1 triliun tidak bisa menemukan minyak.

Kholid juga mengingatkan, situasi saat ini lebih sulit dibandingkan masa lalu. Sementara itu, lanjutnya, minyak semakin sulit ditemukan dan semakin dalam. “Juga pencariannya ke arah timur dan turun dari darat,” tambah Kholid.

“Ini juga menjadi masalah kita sekarang, karena kita beralih dari minyak dan gas sederhana. “Kita sudah melewati era harga minyak dan gas yang tinggi, kita akan sulit mendapatkan minyak,” tambah Kholid.

Begitu pula, lanjut Kholid, sumur-sumur di Indonesia kini lebih banyak menampung air dibandingkan minyak. Jadi menghilangkan minyak tersebut memerlukan upaya yang mahal dan teknis.

Oleh karena itu, menurut dia, wajar jika ada kontraktor yang ingin memulihkan divisi yang buruk untuk memulihkan biaya. Sebab tanpa cost recovery, kata dia, kontraktor migas tidak punya insentif untuk melakukan ekspansi ke greenfield atau sumur dan cadangan baru. Mereka lebih suka bermain di lapangan tanah atau sumur yang sudah dikembangkan.

“Itulah mengapa hal ini tidak terlalu menarik bagi kontraktor minyak dan gas ketika proses pemulihan biaya bergeser ke margin yang besar.” “Dan jika hal ini terjadi secara rutin, lama kelamaan bisa menyebabkan penerimaan pemerintah dari sektor migas berkurang,” pungkas Kholid.

Perdebatan antara kedua sistem penetapan biaya aktivitas baru-baru ini muncul. Ini melibatkan proses peningkatan arus kas, ketika proses pertukaran uang dalam jumlah besar dalam kontrak diubah kembali menjadi pemulihan biaya.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komite Eksekutif VI dan PT Pertamina (Persero) pekan lalu, Wakil Direktur Utama Pertamina Wiko Migantoro mengatakan sektor migas Indonesia menunjukkan tanda-tanda peningkatan produksi.

Untuk itu diperlukan dukungan untuk meningkatkan keuangan publik di sektor migas. Dengan membaiknya keuangan pemerintah diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi migas.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto membenarkan akan banyak perubahan di lapangan migas. Sejak pembagian penuh sebelumnya, terjadi peningkatan biaya.

“Karena perpecahannya yang besar, saya merasa KKKS tidak bisa berfungsi. Makanya mereka mengusulkan perubahan cost recovery,” kata Dwi.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours