Mengapa Perempuan Bisa Sekejam Itu? Istri Bunuh Suami

Estimated read time 7 min read

Dr. Vinita Susanti, MSi

Dosen Kriminologi UI dan pengurus ASPERHUPIKI

Pada hari Sabtu, 8 Juni 2024, kita dikejutkan dengan kabar yang cukup mengejutkan, yaitu seorang istri setia yang membunuh suaminya di Mojekerto. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita sering menjumpai fenomena kontroversial yang menggoyahkan persepsi kita terhadap norma-norma yang dianut dengan baik. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah kasus seorang pria yang dibunuh oleh istrinya sendiri di Mojokerto. Peristiwa tragis ini tak hanya menggemparkan publik, namun juga membuka diskusi mengenai kompleksitas persoalan di baliknya.

Kasus ini menyoroti persoalan bias gender terhadap perempuan sebagai pelaku kejahatan. Perempuan, apalagi isteri, yang melakukan pembunuhan dianggap menyimpang ganda. Pertama, karena secara sosial perempuan tidak diharapkan melakukan kejahatan. Kedua, kejahatan yang dilakukannya dalam kasus ini menjadikan pembunuhan sebagai tindak pidana.

Berdasarkan pemberitaan dlbrw.com, kejadian tersebut bermula saat sang istri mengecek saldo rekening ATM suaminya dan menemukan gaji ke-13 yang seharusnya Rp 2.800.000,- hanya menyisakan Rp 800.000. Penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan bahwa suaminya telah menghabiskan uang tersebut untuk perjudian online padahal uang tersebut seharusnya digunakan untuk pemeliharaan ketiga bayi mereka dan kebutuhan keluarga lainnya. Ketidakpuasan istrinya yang juga seorang polisi wanita (Polvana) memuncak dan berujung pada kasus pembunuhan. Saat ini, sang istri terluka parah akibat kejadian tersebut dan mendapat dukungan psikologis.

Fakta bahwa kedua pihak yang terlibat dalam insiden ini adalah petugas Kepolisian Negara menambah keterkejutan dan kontroversi kasus ini. Mengapa masalah pembunuhan ini muncul pada pasangan yang perlu memahami konsekuensi hukum dari kejahatan tersebut? Apakah faktor ekonomi dan kecanduan judi online menjadi penyebab utama kejadian ini atau ada faktor lain? Berikut pembahasan mengapa perempuan sebagai istri bisa membunuh suaminya.

Didekonstruksi: Perempuan bisa menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga Kekerasan dalam rumah tangga dapat diartikan sebagai kekerasan fisik, psikologis, seksual atau ekonomi yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya atau sebaliknya, atau terhadap anggota keluarga lainnya (Sinombor, 2023; Komnas Perempuan, 2024). Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya mencakup pelecehan fisik tetapi juga emosional, penghinaan, ancaman, dan tindakan lain yang membatasi kebebasan seseorang (Wang & Sekiyama, 2023).

Terkait kasus pembunuhan di Mojokerto, istri yang diduga membunuh suaminya, bukan tidak mungkin bermula dari korban kekerasan dalam rumah tangga. Informasi menunjukkan adanya pengabaian ekonomi, suami sering berjudi di Internet, uang yang diperoleh tidak membantu pengeluaran keluarga. Selain itu, istrinya juga mengalami kekerasan mental dan fisik selama kehidupan pernikahannya. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan permasalahan yang kompleks dan seringkali tidak terdiagnosis karena banyak korban memilih menjadi ‘penderita yang diam’ atau penderita yang diam (Bhattacharya dkk, 2020). Sebab, konstruksi gender dalam sistem patriarki lebih mengutamakan dominasi laki-laki atas perempuan. , serta ketidakseimbangan relasi kekuasaan antara pelaku dan korban (Winarti, 2023; Slabbert, 2016).

Secara umum, perempuan dianggap sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dalam pemberitaan atau penelitian. Perempuan mungkin saja menjadi korban, namun gender bukanlah satu-satunya alasan. Bukan tidak mungkin perempuan juga bisa menjadi pembunuh. Perempuan sebagai ibu bisa melakukan pembunuhan karena berbagai alasan seperti ekonomi, stres keluarga, seperti kasus Mojekerto, istri yang membunuh suaminya. Namun pembunuhan bisa dilakukan oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang melakukan pembunuhan seringkali adalah suaminya (Susanti, 2015) dan bertekad untuk tidak memiliki riwayat kriminal (Flynn, 1990). Apa yang dilakukan merupakan tindak pidana tipikal dimana istri yang dituduh melakukan pembunuhan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya.

Catatan Hukum Kami dari Perspektif Kriminologi Feminis Perspektif kriminologi feminis menawarkan sudut pandang berbeda terhadap kasus dimana seorang istri membunuh suaminya. Kriminologi feminis berfokus pada isu-isu yang menyoroti perbedaan antara pola kejahatan dan viktimisasi laki-laki dan perempuan (Walklate, 2004). Dengan menerapkan perspektif gender dalam diskusi tentang kejahatan dan viktimisasi, kriminologi feminis berupaya membuat korban tersembunyi, seperti kekerasan dalam rumah tangga, terlihat. Hal ini meningkatkan kesadaran bahwa kekerasan dalam rumah tangga memiliki konsekuensi terkait gender. Dengan demikian, kriminologi feminis memberikan perspektif yang lebih komprehensif untuk memahami dinamika kekerasan dalam rumah tangga, serta mencari keadilan bagi para korban yang sebelumnya tersembunyi atau terpinggirkan dalam masyarakat. Dalam hal ini pendapat penulis adalah istrilah yang menjadi korban dan pelaku. Berikut gambaran seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan dituduh membunuh suaminya.

Gambar 1.

Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi pembunuh

Seorang istri yang membunuh suaminya merupakan kejahatan yang lazim dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan undang-undang kita, kekerasan yang terjadi pada pasangan sering kali dilatarbelakangi oleh kekerasan dalam rumah tangga, seperti pengabaian ekonomi, kekerasan fisik, dan kekerasan psikologis di masa lalu, seperti yang terjadi pada kasus Mojokerto. Kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan bahwa pembunuhan terhadap suami terjadi sehubungan dengan situasi keluarga yang sedang berlangsung.

Perspektif kriminologi feminis mengemukakan bahwa dalam hal ini perempuan (istri) melakukan pembunuhan karena pada hakikatnya ia adalah korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya (Renzetti, 2013). Dalam kasus ini, korban (suami) turut andil dalam pembunuhan istrinya akibat perbuatan kekerasan yang dilakukan sebelumnya. Wolfgang (1957) berpendapat bahwa korban berperan langsung dalam kejahatan tersebut. Dengan kata lain, pembunuhan adalah tindakan ilegal, namun kriminologi feminis melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, mencoba memahami alasan atau konteks yang memotivasi istri melakukan tindakan tersebut.

Dalam kasus Mojekerto, perempuan yang melakukan pembunuhan dalam rumah tangga, seperti istri yang membunuh suaminya, tidak lepas dari peran korban (suami) yang memfasilitasi kejahatan tersebut, misalnya kebiasaan suami berjudi dapat menjadi alasan ekonomi. perilaku ekstrim istri. Namun, ada banyak faktor berbeda yang mempengaruhi viktimisasi istri (Susanti, 2020), termasuk: 1) kekerasan, budaya dan dominasi patriarki; 2) Hubungan interpersonal yang tidak sehat; 3) karakteristik pribadi dan temperamen pelaku; 4) Ketimpangan peran gender; dan 5) kekerasan dalam rumah tangga bersifat genetik.

Perspektif kriminologi feminis ditawarkan bukan untuk melindungi perempuan (female pelaku), namun untuk lebih memahami posisi perempuan sebagai korban dan pelaku kejahatan. Oleh karena itu, kriminologi feminis berupaya menangkap kompleksitas pengalaman perempuan yang seringkali terjebak dalam siklus kekerasan dan viktimisasi yang kemudian dapat mengarah pada perilaku ilegal. Feminis hadir agar suara perempuan dapat didengar dan didengar sehingga perempuan dapat mencapai kesetaraan gender.

Konsep kaburnya batasan dalam kriminologi feminis membantu menunjukkan tumpang tindih posisi perempuan sebagai korban dan pelaku kejahatan (Walklate, 2004). Konsep ini menunjukkan bahwa pola viktimisasi yang dialami perempuan di masa lalu dapat mengarah pada perilaku kekerasan perempuan di masa depan. Hal ini serupa dengan kasus seorang istri yang membunuh suaminya, yang reaksi kekerasannya mungkin disebabkan oleh kekerasan dalam rumah tangga yang pernah dilakukan sebelumnya.

Dalam hal pemidanaan, dari perspektif kriminologi feminis, fokusnya bukan pada alasan seseorang melakukan kejahatan, namun pada bagaimana proses pidananya dan bagaimana lembaga dan sistem penegakan hukum mengkriminalisasi perilaku kriminal (menetapkan latar belakang) (Flavin 2001). Terkait dengan konsep pemidanaan terhadap korban dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (Susanti, 2018), terdapat argumentasi bahwa penerapan hukuman yang sama dalam kasus pembunuhan adalah tidak tepat (KUHP). Permasalahan ini memerlukan alternatif penyelesaian, seperti jenis hukuman yang berbeda sesuai konteksnya, misalnya jika pelaku baru pertama kali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Susanti (2018) menegaskan, UU PKDRT tidak memenuhi kepentingan perempuan atau melihatnya dari sudut pandang korban. Hal ini karena Sistem Peradilan Pidana mengandalkan tekanan normatif untuk mengendalikan kejahatan melalui mekanisme pengendalian kejahatan normatif yang beroperasi secara resmi untuk mengidentifikasi pelaku perbuatan terlarang sebagai pelaku yang taat hukum, sehingga apapun alasannya, pelakunya harus dihukum (Flavins, 2001). Dalam kasus Mojokerto, sang istri membunuh suaminya, meski mengakui perbuatannya, korban (suami) juga diduga ikut judi online sehingga membuat sang istri kesal. Dalam hal ini suami dapat digolongkan sebagai korban, provokator, atau korban ikut serta (Mendelsohn & Wolfgang, 1976).

Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan sistem peradilan yang kurang memperhatikan kebutuhan dan perlindungan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (Situmoran & Susnati, 2022). . Norma hukum yang melindungi perempuan masih rapuh (Putra et al., 2018). Hal ini sejalan dengan temuan Sette (2023) yang mengemukakan bahwa salah satu alasan perempuan tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya adalah karena mereka tidak mempercayai sistem peradilan. Menurut Wolfgang (1957; 1967), korban seringkali terlibat dalam kasus pembunuhan pasangan intim (IPH), terutama jika pelakunya adalah perempuan dan laki-laki (Suonpaa & Savolainen, 2019). Dengan demikian, pembunuhan pasangan intim yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki biasanya melibatkan peran korban (laki-laki) hingga akhirnya perempuan tersebut membunuhnya.

Kesimpulan Secara keseluruhan, perspektif kriminologi feminis dalam tulisan ini menekankan pentingnya memahami alasan seorang istri membunuh suaminya, seperti dalam kasus Mojokerto. Pendekatan ini berupaya menganalisis permasalahan dari sudut pandang korban, dalam hal ini istri. Kriminologi feminis tidak hanya melihat kejahatan yang terjadi, namun juga berupaya mengkaji konteks dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan tersebut. Meski istri mengakui kesalahannya, perspektif ini memperkenalkan konsep ‘Garis Kabur’, yang menunjukkan tumpang tindih posisi korban dan pelaku. Dengan demikian, keadilan ditentukan tidak hanya oleh definisi normatif dari pelanggaran, tetapi juga pengalaman dan keadaan korban harus dinilai secara komprehensif. Kriminologi feminis percaya bahwa hukuman harus disesuaikan dengan konteks dan mencakup pemahaman tentang konsep “viktimisasi”, yang mengakui peran korban dalam melakukan kejahatan.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours