Mengembalikan Spirit UU Desa

Estimated read time 4 min read

Abdul Malik Haramain

Anggota Panitia Seleksi Hukum Pedesaan (2014)

LAUS (UU) Nomor 6 Tahun 2014 Desa masuk pada usia 11 tahun. Undang-undang ini telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024. Meskipun kemajuan signifikan telah dicapai, sebagian besar desa tidak mengikuti semangat Undang-undang Desa.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah memaparkan catatan penerapan undang-undang ini; pertama, Rural Trust (DD) tidak menikmati pengelolaan penduduk secara penuh; kedua, DD tidak merevitalisasi perekonomian negara; Ketiga DD tersebut tidak memungkinkan pemanfaatan potensi masyarakat pedesaan secara optimal.

Hukum Desa Hantu

UU Desa setidaknya memiliki empat tujuan utama, pertama, mengubah paradigma (paradigma moving) mengenai vila dari “Membangun vila” menjadi “Membangun vila”. Ini adalah perubahan yang signifikan. “Pembangunan desa” menempatkan desa sebagai objek atau sasaran pembangunan.

Desa hanya menerima program dari pemerintah, bukan program dari pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Seringkali, program mobilisasi tidak didasarkan pada kebutuhan masing-masing kabupaten. Program ini dimaksudkan hanya untuk menyelesaikan “program formalitas” pemerintah.

Sedangkan paradigma “desa berkembang” menempatkan desa sebagai entitas, pelaku dan pelaku utama dalam proses perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, evaluasi program dan akuntabilitas. Perubahan pola pikir dan cara pandang desa menambah kewenangan aparatur desa (Pemdes).

Kedua, penegasan kewenangan Pemerintah Kota. Kewenangan pedesaan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Kewenangan yang terpenting antara lain, pertama: kewenangan di pedesaan asal usul hak. Penguasa pedesaan berhak mengatur kepentingan masyarakat pedesaan sesuai dengan tradisi, budaya, dan adat istiadat yang masih ada.

Kedua, kekuasaan untuk melakukan kontrol atas benteng. Kewenangan ini berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pengembangan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat. Ketiga, kewenangan pengelolaan bendahara desa. Kewenangan ini meliputi perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan akuntansi keuangan pedesaan, khususnya DD dari APBN dan ADD dari pemerintah atau pemerintah negara bagian.

Keempat, pemerintah desa juga mempunyai kewenangan terhadap pembangunan desa dan perdesaan. Kompetensi tersebut meliputi pembangunan infrastruktur pedesaan, peningkatan mutu pendidikan dan kesehatan, serta potensi perekonomian penduduk.

Selain kewenangan tersebut di atas, pemerintahan pedesaan mempunyai kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Dengan tambahan kewenangan tersebut, pemerintah desa dapat melaksanakan program atau kebijakan pemerintah yang berada di atasnya. Singkatnya, pemerintah pedesaan mempunyai kekuasaan yang besar, mulai dari perencanaan pembangunan hingga pelaksanaannya.

Ketiga, alokasi Dana Perdesaan (DD) langsung oleh pemerintah pusat. Perubahan paradigma dari “membangun desa” menjadi “membangun desa” dan penguatan kekuatan Rural Self Government dalam bidang pembangunan pedesaan memerlukan alokasi dana khusus kepada desa. UU Desa mengarahkan pemerintah pusat untuk menginvestasikan 10% anggaran transfer yang dihimpun APBN.

Besaran DD berbeda-beda tergantung posisi APBN dan dana yang ditransfer ke daerah. Saat ini saya transfer dana Rp 700-800 triliun, artinya total DD nasional Rp 70-80 triliun. DD ini ditransfer langsung oleh Kementerian Keuangan RI ke rekening 83.763 desa di Indonesia.

Alokasi DD memperhitungkan jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, luas wilayah, dan sebagainya. Oleh karena itu, total alokasi DD di setiap desa tidak sama, berkisar antara Rp700 juta hingga di atas Rp1 miliar. Alokasi DD sebagai upaya membantu pelaksanaan pembangunan pedesaan.

Keempat, desa merupakan pemimpin dalam pembangunan langsung. Desa secara langsung dapat menggerakkan perekonomian warganya. Desa ini mempunyai potensi ekonomi yang beragam, seperti potensi pertanian, perikanan, seni dan wisata. Jika dikelola secara sungguh-sungguh, desa setempat menjadi kekuatan ekonomi yang potensial berasal dari pedesaan.

Mereka bisa menjadi kekuatan ekonomi alternatif yang tidak terjangkau akibat krisis keuangan global. Untuk itu desa menjadi strategis, terutama untuk misi pemerataan pembangunan yang dimulai dari bawah.

Anomali otoritas

Memasukkan semangat hukum desa tidaklah mudah, banyak kendala yang perlu dihilangkan. Kompetensi Pemerintahan Desa seringkali dibatasi oleh kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda), dalam hal ini Wakil/Kepala (KDH). Proses penerbitan DD tergantung pada hasil penilaian APBDes oleh KDH, serta pertanyaan KDH, peraturan KDH tentang APBDes dan pertanyaan KDH tentang Surat Kuasa.

Proses-proses tersebut menimbulkan banyak permasalahan terutama mengenai kewenangan penilaian KDH. Praktek “menjalankan agenda dan memeriksa rencana” seringkali mewarnai proses ini. Akibatnya banyak kepala desa yang harus menuruti keinginan KDH, padahal panitia pembangunan tidak memenuhi kebutuhan desa. Kita perlu mengkaji ulang kewenangan KHD, khususnya kewenangan “menilai” APBD.

Selain itu, kompetensi walikota yang kurang memadai seringkali menghambat kegiatan seperti pembuatan dan pengesahan RPJMD, penyusunan tahunan ROC desa, dan persetujuan tahunan APBDe. Kendala-kendala tersebut harus segera diatasi dengan pendampingan, baik melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) maupun melalui Pendamping Desa.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours