Menjernihkan pemahaman tentang kontrasepsi di PP 28/2024

Estimated read time 4 min read

Bondowoso (ANTARA) – Peraturan Pemerintah atau PP No. 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan peraturan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjadi perbincangan hangat di berbagai saluran media sosial.

Poster-poster yang mengajak pelajar untuk menolak penggunaan alat kontrasepsi tersebar di berbagai media sosial, mengisyaratkan bahwa informasi tersebut benar dan semua pihak harus bekerja sama untuk menolak aturan tersebut.

Melalui peraturan tersebut, pemerintah mendorong gagasan pemberian alat kontrasepsi kepada remaja dan anak sekolah. Oleh karena anggapan tersebut, sudah sepatutnya kita mencari informasi dari sumber asli yang lebih akurat, yaitu isi peraturan pemerintah tersebut.

Dilihat dari perbincangan di media sosial, komentar banyak kelompok yang beredar di media arus utama, semuanya seolah berujung pada perdebatan yang tak ada habisnya. Padahal, jika dicermati isi PP tersebut, terlihat jelas tidak ada pasal, ayat, maupun poin tentang pemberian alat kontrasepsi kepada remaja, khususnya pelajar. Selain itu, memberikan kesan bahwa alat kontrasepsi dapat digunakan di sekolah atau sebagai perwujudan aturan.

Dari sudut pandang perdebatan ini, budaya literasi yang kuat harus digalakkan, agar kita tidak selalu mudah terjerumus ke dalam perdebatan-perdebatan yang benar-benar membingungkan, bahkan membingungkan masyarakat, karena manusia tidak akan pernah mengerti secara daging. mengenai permasalahan yang dibicarakan.

Padahal, di era internet sekarang ini, kita bisa dengan mudah mengakses semua topik atau permasalahan yang dibicarakan. Jika topik yang dibahas berkaitan dengan peraturan, kita hanya perlu mengetikkan kata kunci dengan nomor dan tahun peraturan atau undang-undang tersebut, kemudian mesin pencari menawarkan kita banyak pilihan untuk membuka dan membaca, kemudian melihat dengan seksama.

Alangkah lebih baik dan menyenangkan jika kebiasaan membaca dan memperhatikan pokok-pokok serta argumentasi terlihat jelas saat membahas suatu topik.

Ketika kebiasaan reaktivitas informasi berupa pengumpulan fakta yang penafsirannya mengarah pada suatu tujuan yang cenderung menimbulkan kontroversi, maka diskusi yang muncul justru berujung pada perdebatan yang tidak sehat dan kurang informasi. Faktanya, keresahan sosial semakin membesar, seperti bola salju.

Dalam pembahasan ini, masyarakat kita sepertinya hanya mendapat informasi mengenai frasa “pemberian alat kontrasepsi” poin E Pasal 103 ayat 4 hal. 24/2024.

Karena yang dimaksud dengan “pemberian alat kontrasepsi” terdapat pada pasal 103 pembuka ayat 1 tentang upaya kesehatan alat reproduksi pada usia sekolah dan remaja, maka yang dimaksud dengan alat kontrasepsi diberikan kepada anak atau remaja usia sekolah.

Padahal, penjelasan jelas mengenai poin tersebut sangat jelas dalam Pasal 104 ayat 3 poin E bahwa pemberian alat kontrasepsi diberikan kepada pasangan usia produktif dan kelompok berisiko dan tidak ada obyek yang diberikan kepada pelajar, apalagi bagi pelajar. sekolah.

Poin E paragraf 3, kata kunci pada penjelasan paragraf 104 adalah “pendamping”. Istilah tersebut mewakili makna suami istri, dengan penekanan pada kelompok rentan. Artinya kontrasepsi diberikan kepada pasangan (suami istri) yang mempunyai risiko jika hamil.

Disebutkan juga bahwa tujuan pemberian kontrasepsi adalah untuk membantu pasangan usia subur dalam mengambil keputusan mengenai usia yang tepat untuk hamil, jumlah anak yang optimal, jarak persalinan yang tepat, serta status kesehatannya.

Pasal 103 ayat 1 menyatakan bahwa upaya kesehatan paling sedikit meliputi komunikasi, informasi dan pendidikan serta pelayanan kesehatan reproduksi bagi usia sekolah dan sistem reproduksi remaja.

Pasal 2 mempunyai penekanan yang jelas mengenai masalah menjaga kesusilaan, yaitu memberikan komunikasi informasi dan pendidikan (usia sekolah dan remaja) tentang melindungi diri dan menolak seks.

Pemberian informasi berdasarkan pemahaman menyeluruh terhadap permasalahan apa pun, termasuk peraturan pemerintah yang sedang hangat diperbincangkan saat ini, sangat penting untuk meredakan kekhawatiran banyak pihak terhadap nasib generasi muda di masa depan. Jika kita tidak membiasakan mengedepankan budaya literasi, maka kita hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga untuk memperdebatkan hal-hal yang tidak seharusnya diperdebatkan.

Kita kini bekerja sama untuk mempersiapkan manusia yang siap menjadi generasi emas tahun 2045. Orang tua yang mempunyai tanggung jawab mempersiapkan generasi penerus harus mengakhiri permasalahan mentalnya sendiri, yaitu: orang tua yang damai dan bahagia. Pola pikir para sesepuh ini tentunya menjadi landasan dan modal bagi generasi muda untuk menyongsong masa depan yang penuh kedamaian dan cinta, kasih sayang dan kasih sayang.

Melahirkan budaya pertentangan gagasan yang tidak dilandasi cinta dan kasih sayang, ibarat meletakkan beban di pundak generasi mendatang. Jika demikian, maka kenyataannya menjadi generasi yang rawan konflik, dan suka berpikir negatif terhadap satu sama lain. Semua karakter ini jauh dari harapan ideal kita tentang generasi mendatang.

Generasi emas sangat membutuhkan “manajemen” dari orang tua dan lingkungan sosialnya agar merasa tenteram dan bahagia dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan permasalahan yang pelik dan pelik. Kita membutuhkan generasi yang saling mencintai, dan itu harus dimulai dari generasi tertua.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours