Menko Muhadjir Ungkap Praktik Titipan Pejabat Biar Masuk Sekolah Favorit di PPDB

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyoroti kejanggalan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Mulai dari praktik jual beli kursi hingga pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (KTP) agar bisa masuk ke sekolah favorit.

“Misalnya terkait PPDB, penerimaan siswa baru. Saya jadi teringat saat saya menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, saya bercerita bahwa kita khawatir dengan keberadaan sekolah negeri elit atau yang disebut sekolah casting. “Di setiap kota, di setiap daerah, terdapat sekolah negeri yang diminati dan digemari semua orang tua dalam segala hal,” kata Muhadjir dari Kantor Koordinasi Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan di Jakarta. Rabu (7 Oktober 2024).

Baca juga: Wapres: Satgas PPDB Dibentuk untuk Pengawasan Lebih Ketat dan Fokus

Bahkan, kata Muhadjir, praktik jual beli kursi sekolah di PPDB juga dilakukan aparat untuk menitipkan anaknya di sekolah pilihannya. “Lalu karena banyak yang berminat, di sinilah terjadi praktik-praktik bias, mulai dari jual beli tempat hingga pemalsuan kartu penduduk agar dia bisa berpindah-pindah daerah agar bisa masuk ke sekolah favoritnya. “Kemudian menjadi kepercayaan bagi petugas juga,” ujarnya.

Baca juga: Kisruh PPDB 2024, Anak Pasangan Tuna Netra Miskin Tolak Masuk Sekolah Negeri di Semarang

“Tidak hanya itu, istri petugas juga didorong untuk pindah ke sekolah pilihan mereka. Sementara sekolah negeri juga ada, tapi peminatnya tidak ada karena dinilai kualitasnya rendah, karena dianggap marginal, ujarnya.

Muhadjir menambahkan, yang lebih parah lagi, anak-anak yang tinggal di dekat sekolah favoritnya tidak bisa bersekolah. “Dan yang lebih menyedihkan adalah tidak ada satupun anak dari sekolah tersebut, yang disebut sekolah elit, diterima di sana.”

“Ada apa dengan dia? Karena mungkin dia kurang pintar secara akademis untuk memenuhi kriteria sekolah favoritnya. Untuk bisa masuk ke sana,” kata Muhadjir.

Baca juga: Ombudsman: Sistem Penataan Ruang Mengurangi Prioritas Sekolah

Selain itu, kata Muhadjir, anak-anak marginal terpaksa bersekolah jauh dari tempat tinggalnya karena miskin dan tidak mampu membayar biaya yang mahal. “Yang satu lagi miskin, tidak mampu bayar, tidak bisa memberi sesuatu ke sekolah, makanya dikeluarkan. Jadi dia harus bersekolah di tempat yang jauh dari tempat itu, di sekolah itu.’

Bahkan, Muhadjir mengaku bertemu dengan anak-anak yang terpaksa menempuh perjalanan 5 jam ke sekolah. “Bisakah Anda bayangkan, Tuan-tuan? Apakah hanya secara sosial? Keduanya adalah anak bangsa, ya, kedua bangsa, dia berada di tempat itu saat itu, tetapi dia tidak dapat menikmati sekolah yang indah itu dan dia harus pergi jauh. Saat itu di Jakarta jam 5 sore, saya pernah mengalami situasi dimana seseorang harus menempuh perjalanan jauh ke sekolah yang belum jam 5 sore. “Bahkan ada sekolah negeri yang jaraknya tidak sampai 200 meter dari sekolah,” ujarnya.

“Nah, kalau secara sosial atau tidak, secara unsosial mungkin karena dia tidak sesuai kriteria, dia tidak punya uang karena tidak bisa. “Namun, hal ini menciptakan ketidakadilan sosial dan itulah inti dari keadilan sosial,” katanya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours