Menyulap hutan lestari Negeri Amahusu menjadi hutan musik

Estimated read time 7 min read

Ambon (Antara) – Saat pertama kali menginjakkan kaki di Hutan Musik yang terletak di jantung keindahan alam Negeri Amahusu, Kecamatan Amabon Nusaniwe, kami disambut dengan pepohonan rindang yang hijau ditumbuhi beragam satwa liar yang menakjubkan.

Kawasan hutan lestari milik keluarga Siloy kini menjelma menjadi hutan musik yang indah, tempat bersantai menikmati alam dengan alunan musik yang menenangkan.

Sound of Green (SoG) Music Forest merupakan gagasan Direktur Ambon Music Office (AMO) Ronnie Lopis dan aktivis dari Negeri (Desa) Amahusu Studio Boirata. Kawasan tersebut disulap menjadi cara baru bagi warga Ambon untuk menikmati musik sekaligus menjaga kelestarian alam demi kelestarian alam. Ruang pertunjukan musik di atas Jonas Silo, Pengelola Sound of Green (SoG) Music Forest di Negeri Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon. ANTARA/Penina F Mayotte. Hutan Musik Sound of Green (SoG) di Ambon, Kecamatan Nusaniwe, Negara Bagian Amahusu. ANTARA/Penina F Mayotte. AMO merupakan pengelola kota kreatif berbasis musik Ambon yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Ambon Nomor 1. 45 Tahun 2019. Badan ini merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Kota Ambon yang bertugas melaksanakan rencana strategis. Artinya, terus mewujudkan status Ambon sebagai kota musik dunia.

Untuk memenuhi misinya, AMO telah melakukan berbagai kegiatan, antara lain penelitian musik dan kunjungan ke luar negeri untuk studi banding. Setelah itu tim AMO dan delegasi dari Ambon City Music Group mengunjungi Jinju, Korea Selatan. Pada tahun 2022, lahirlah ide untuk membuat hutan musik, dan kemudian dicari lokasi yang cocok untuk mengembangkan suara Green, yang akan menggabungkan upaya musik dan pelestarian lingkungan.

Di Amahusu, Kecamatan Nusaniwe terdapat hutan musik. Karena kawasan ini merupakan tujuan wisata musik utama, khususnya di kota Amboina, maka kawasan ini menjadi rumah bagi komunitas musik ukulele Amboina dan Sanggar Seni Vojrata.

Selain itu, Negeri Amahusu juga dikenal telah melahirkan penyanyi legendaris maluku, Zet Lekatompessi yang mengabadikan potensi maluku melalui lagu-lagunya.

Ide ini kemudian mengarah pada pengembangan Hutan Musik, ketika pemilik tanah Jonas Siloy menawarkan lahan seluas 5 hektar untuk pembangunan struktur pendukung Hutan Musik.

Properti ini terletak di sebuah desa kecil yang dimiliki oleh sebuah keluarga yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Hingga saat ini, yang ditanam di tempat tersebut hanya pohon cengkeh, pala, kenari, dan lingua untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kota Ambon mendukung penuh pengembangan Sound Of Green Music Forest di Provinsi Amahusu. Sebab, hal tersebut telah memberikan dampak terhadap perkembangan masyarakat, khususnya di bidang ekonomi kreatif, sosial, dan lingkungan. Kontribusinya antara lain dengan didirikannya Ambon Music Office (AMO).

Kini, lima tahun setelah Ambon dinobatkan sebagai Kota Musik oleh UNESCO, Pemerintah Kota Ambon bersama AMO terus mempertahankan predikat tersebut dengan memberikan ruang bagi komunitas musik untuk mengembangkan kreativitasnya.

Pemerintah terus membuka ruang bagi komposer dan musisi untuk menciptakan karya baru kapan saja, pendidikan musik, diskusi musik dengan komunitas dan kelas rekaman di AMO Music Studio.

Selain musik, di Hutan Musik SOG, pemerintah setempat kini menyiapkan fasilitas bagi para pelaku ekonomi kreatif yang akan menjual kuliner khas Maluku melalui AMO, termasuk kerajinan khas seperti alat musik kecil.

Fenomena yang muncul di Ambon menunjukkan bahwa pengembangan ekosistem ekonomi kreatif tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun juga melalui kerja sama pentagon pemerintah, akademisi, komunitas lokal, pengusaha, dan media.

Segala upaya bertujuan untuk menciptakan kemandirian masyarakat sebagai bukti bahwa generasi muda Kota Ambon semakin maju dalam hal kreativitas dan inovasi.

Keberadaan Hutan Musik SoG memberikan dampak tidak langsung terhadap pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu mengurangi dampak perubahan iklim seperti mengurangi dampak tanah longsor dengan menanam lebih banyak pohon. Pohon-pohon ini juga membantu meningkatkan kadar oksigen, sehingga mengurangi emisi karbon.

SoG Music Forest yang menjadi ikon Kota Musik Ambo tidak hanya menjadi destinasi wisata musik namun juga menjadi ruang pameran UMKM yang natural.

Keberadaan hutan musik ini seiring dengan berkembangnya pariwisata kota Ambon hingga wisata musik kota musik dunia. Dampaknya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memfokuskan pada 10 destinasi wisata utama di lima subwilayah Ambon.

10 penghargaan teratas untuk keunggulan wisata musik antara lain musik bambu dari Dusun Tuni, Sanggar Seni Boyratan, sekolah alam berbasis musik bernama Komunitas Anak Ukulele Amahusu Amboina, lembaga budaya dan seni berbasis instrumen Tifa di Negara Bagian Soya. Dan komunitas lainnya.

Menanam pohon

Selain pohon-pohon yang sudah ada, para musisi yang bekerja di SoG Music Forest juga menunjukkan ketertarikannya terhadap alam dengan menanam bibit berbagai pohon baru, antara lain nangka, gabah, titi, karet, dan bambu tui.

Bambu yang berasal dari Maluku, khususnya Ambon, digunakan sebagai bahan pembuatan alat musik seruling, sedangkan kayu titi atau Gmelina moluccana (Blume) biasa digunakan untuk pembuatan alat musik tifa dan rebana.

Kayu titi merupakan salah satu jenis pohon asli maluku yang termasuk dalam famili lamiaceae dan biasa juga disebut jati maluku.

Selain itu, kayu pohon jagung, getah, tsempedaki, dan nangka juga digunakan untuk membuat alat musik Hawaii dan ukulele. Kami menanam 100 anakan dari setiap jenis pohon.

Saat ini bambu Tui untuk pembuatan alat musik seruling sulit didapat di Pulau Ambon sehingga harus dipungut dari Pulau Seram. Oleh karena itu, jika bambu ditanam di hutan musik, diharapkan dapat menjadi bahan baku pembuatan alat musik.

AMO bermitra dengan Departemen Kehutanan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon untuk menanam berbagai jenis pohon demi pelestarian lingkungan. Unpatti, salah satu perguruan tinggi negeri di Maluku, berkumpul untuk memilih pohon yang cocok ditanam di kawasan Hutan Musik.

Untuk memudahkan masyarakat mengakses hutan, akan dibuat jalur sepanjang 150m sehingga pengunjung dapat menggunakannya sebagai batu loncatan untuk mendaki ke puncak Hutan Musik.

Membantu

Menunjukkan ketertarikannya terhadap pengembangan musik dan perlindungan lingkungan, unit utama PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara (UIW MMU) memberikan dukungan dana untuk pengembangan SoG Music Forest dalam dua tahap senilai Rp 350 juta.

Tahap pertama, BUMN membantu membangun dek observasi untuk rekreasi di atas hutan, dan tahap kedua, dek observasi, rumah pohon, koneksi jaringan, dan tempat usaha kecil dan menengah. Ini digunakan untuk membuat instrumen tifa dan seruling.

Kedepannya seluruh fasilitas pembuatan alat musik tifa dan suling di sanggar-sanggar di Ambon akan dipindahkan ke Hutan Musik. Oleh karena itu, selain menikmati pertunjukan musik, pengunjung juga dapat melihat proses pembuatan alat musik dan menikmati alam melalui rumah pohon yang berfungsi sebagai tempat berfoto.

Pengunjung Hutan Musik ini diharapkan tidak hanya wisatawan mancanegara namun juga wisatawan nusantara. Setelah pembukaan pada tahap awal, tiket masuk ke Forest of Music tidak dipungut biaya, dan kedepannya akan dikenakan biaya tiket untuk masuk ke perbendaharaan studio “Boiratan”.

General Manager PLN UIW MMU Avat Tuhulula mengatakan, dukungan yang diberikan sejalan dengan komitmen perusahaan energi nasional tersebut dalam mendukung eksistensi Ambon sebagai kota musik dunia.

Perlindungan lingkungan

Direktur AMO Ronnie Lopis menjelaskan, pihaknya bertemu dengan akademisi Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Patimura (Unpati), Ambon, mengenai upaya pelestarian lingkungan dan mitigasi perubahan iklim dalam konteks Kota Musik Ambon.

Pertemuan tersebut membahas tentang teknologi pengukuran dan penghitungan cadangan karbon di hutan musik Sound of Green (SoG) di Amahusu, pembuatan Petak Ukur Permanen (PUP) untuk melestarikan lingkungan dan kontribusi praktis para musisi. Fokusnya adalah mengurangi emisi gas rumah kaca dan mempertahankan identitas Ambon sebagai kota musik global yang nyaman.

Selain menunjukkan komitmen para musisi terhadap upaya pelestarian alam, kegiatan ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat dan memperkuat upaya perlindungan lingkungan di Ambon, Kota Musik Dunia.

Dari segi musikal, masyarakat bisa menggelar konser di tengah hutan karena suara yang berasal dari pepohonan menjaga ruang suara yang juga bisa dijadikan ruang pertunjukan. Artinya kayu mempunyai kemampuan menyerap bunyi. Itu sebabnya pohon ditanam di perkotaan untuk menyerap suara mobil.

Program Sound of Green secara tidak langsung menunjukkan bagaimana ruang terbuka hijau dapat dikelola. Salah satu fungsinya adalah menghasilkan tanaman yang mampu menyerap karbon sekaligus menyerap air.

Dari sisi pariwisata, kehadiran SoG Music Forest akan menjadi sarana promosi Ambon dan Indonesia ke dunia internasional. Pasalnya, “ASEAN Music Cities Forum 2024” akan digelar di kota ini pada Oktober mendatang.

Delegasi dari beberapa negara akan berpartisipasi dalam forum ini, antara lain Ipoh (Malaysia), Supan Buri (Thailand), Dalat (Vietnam) dan Jinju (Korea).

,

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours