Ogah Rumah Dikontrakkan dan Dijual ala Mafia Tanah Santoso Halim? Pelajari Modusnya

Estimated read time 5 min read

JAKARTA – Mafia tanah menggunakan berbagai cara untuk menyembunyikan berbagai lapisan masyarakat. Salah satu korbannya, mantan diplomat Djohan Efendi, juga menjadi korban kelompok mafia tanah Husin Ali Muhammad dan Santoso Halim.

Pengacara Djohan Efendi, Arlon Sitinjak mengatakan, kejadian yang menimpa kliennya bermula pada Juni 2016, saat penyerang Husin Ali Muhammad menyewa rumah Djohan.

“Setelah pensiun, dia menyewakan rumahnya kepada Husin Ali Muhammad. Untuk meyakinkan pemilik rumah, dia sering mengadakan pengajian. Pak Djohan Efendi juga diundang ke pengajian,” kata Arlon baru-baru ini.

Setelah mendapat kepercayaan, pelaku Husin meminjam fotokopi dua buah SHM dari Djohan dengan pengurangan daya dari 23.000 watt menjadi 6.000 watt. Usai dipinjamkan, Husin kembali menghubungi Djohan dengan alasan harus menggunakan SHM asli untuk mengurangi listrik sehingga ia mendatangkan petugas PLN palsu untuk meyakinkan Djohan.

Korban awalnya tidak percaya, namun pelaku Husin mendatangkan petugas berseragam PLN palsu Fauzi (DPO) untuk meyakinkan korban, ujarnya.

Kemudian pada tanggal 12 Juli 2016, korban terpaksa meminjamkan 2 buah sertifikat asli yang diminta pelaku dan menunggu di teras rumahnya. Satu jam kemudian, pelaku mengembalikan dua korban SHM yang ternyata palsu.

“Sertifikat asli ini saya bawa pulang, tapi saya tukar dengan sertifikat yang sudah dipalsukan sebelumnya. Sebelumnya saya pinjam fotokopinya. Sesampainya di rumah, kami lihat ada yang tidak beres, lalu kami bawa ke BPN. , setelah saya cek ternyata palsu,” ujarnya.

Korban kemudian menghubungi Husin, namun selalu menghindarinya. Husin menghindar karena berbagai alasan, ia mulai mengakui ada yang mengambil suratnya dan karena berbagai alasan. “Dia akhirnya dilaporkan ke polisi,” katanya.

Beberapa jam kemudian, pelaku yang memiliki sertifikat asli korban menjualnya ke Santoso Halim seharga Rp 10 miliar. Saat rumah itu dijual, Halim menyebut itu Djohan Efendija.

Pada tanggal 12 Agustus 2016, perjanjian jual beli no. 08 dan tidak. 09 disimpulkan antara Djohan Efendi, sosok yang diperankan Halim (DPO) selaku penjual, dan Santosa Halim sebagai pembeli di hadapan Notaris/PPAT Lusi Indriani.

Pada tanggal 22 Agustus 2016, akta jual beli no. 376 dan kontrak penjualan no. 377 dieksekusi di hadapan Notaris/PPAT Viva Novita Ranadireksa.

“Dalam jual beli ini, yang mengejutkan adalah Santoso Halim tidak membayarkan jual beli tanah dan bangunan tersebut kepada Djohan Efendi, oknum Halim (DPO) yang berperan sebagai penjual,” kata Arlon.

Namun Santoso Halim justru mentransfer uang sebesar Rp 8 miliar ke rekening atas nama pelaku Husin Ali Muhammad berdasarkan keterangan Santoso Halim dalam Putusan Pidana Nomor. 1073/Pid.B/2018/PN.Jkt.Sel halaman 33.

Akibat kejadian tersebut, korban mengajukan permohonan pemblokiran SHM ke BPN. Usai pemblokiran, Santoso Halim tidak bisa menyelesaikan transaksinya sehingga meminta penjual yang merupakan pelakunya Husin Ali Muhammad untuk membuka pemblokiran. Kemudian Djohan Efendi yang diperankan Halim (DPO) memerintahkan Lilis Lisnawati untuk membuka blokir kedua SHM tersebut.

Anehnya, BPN membuka blokirnya tanpa mengecek silang detail Djohan Efendi dan Djohan Efendi yang sebenarnya, sosok yang diperankan Halim (DPO). BPN juga tidak mengkonfirmasi Djohan Efendi terlebih dahulu, katanya.

Pada 6 Februari 2017, Djohan membuat laporan polisi nomor. LP/176/K/II/PMJ/Restro JakSel. Berdasarkan laporan tersebut, pelaku Husin Ali Muhammad divonis 5 tahun penjara.

Berdasarkan tuntutan pidana no. 562 K/Pid/2019 (Inkracht van gewijsde), karena terbukti secara meyakinkan dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan akta otentik dan pemalsuan surat, yang diatur dan diancam KUHP dalam alinea pertama Pasal 266 KUHP. KUHP juncto ayat 55 pertama Pasal 1 KUHP dan ayat 2 Pasal 263 KUHP juncto ayat pertama Pasal 55 ke-1 KUHP dengan Halim (DPO). ).

Seorang wartawan SINDOnews mencoba menghubungi Santosa Halim selaku pembeli, namun mereka belum memberikan tanggapan hingga berita ini diturunkan.

Pada 16 Maret 2018, Santoso Halim dikabarkan menggugat Djohan Efendi terkait gugatan (PMH) no. 240/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel dalam putusan majelis hakim menyatakan gugatan Santoso Halim tidak dapat diterima karena kekurangan pihak (N.O.).

Majelis hakim mempertimbangkan. Santoso Halim tidak menggugat pihak-pihak yang seharusnya digugat, yakni Husin Ali Muhammad, Halim (DPO), Notaris/PPAT Lusi Indriani dan Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa.

“Santoso Halim mengajukan pengaduan dalam perkara no. 317/Pdt/2020.PT.DKI dengan putusan yang menyatakan Santoso Halim merupakan pembeli dengan itikad baik, sedangkan hakim di tingkat banding justru menyatakan korban Djohan Efendi telah melanggar hukum. , kata Arlon.

Tak berhenti sampai disitu, Djohan juga mengajukan aduan dalam kasus no. 2721 K/Pdt/2021, namun hakim kasasi menyatakan Santoso Halim merupakan pembeli beritikad baik sehingga Djohan Efendi kalah dalam upaya banding.

Djohan Efendi mengajukan gugatan perdata dengan nomor registrasi 251/Pdt.G/2020/PN JKT.SEL sebagai jawaban atas putusan nomor 240/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel yang menyatakan bahwa gugatan Santos Halim tidak dapat diterima karena dia tidak memiliki klien.

Namun Majelis Hakim yang mengadili perkara a quo membatalkan putusan Ne bis in Idem karena mempunyai tujuan yang sama dengan perkara no. 240/PDT.G/2018/PN. Jakarta Selatan.

Dalam putusan tersebut, Santoso Halim bahkan mencabut Djohan Efendi sebagai terdakwa, padahal memakzulkan terdakwa merupakan sebuah kesalahan (gemis aanhoeda nigheid). Perhatikan bahwa ne bis in idem hanya berlaku untuk keputusan positif.

Oleh karena itu, pada prinsipnya putusan negatif tidak dilampirkan ne bis in idem. Putusan Nomor 240/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel., dapat disimpulkan sebagai putusan negatif. Karena tidak memutuskan pokok permasalahannya. Oleh karena itu, korban mengajukan pengaduan dan diperiksa di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, kata Arlon.

M Luthfi Adrian dan Siti Sarita, selaku ahli waris Djohan Efendi yang menjadi korban mafia tanah, mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi no. 2721 K/Pdt/2021. Pada tanggal 26 Desember 2022, berdasarkan surat no. W10.U3/18834/HK.02/12/2022, berkas PK Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung (MA).

Pada 15 Desember 2022, Santoso Halim dalam putusan kasasi mengatakan pembeli beritikad baik, dan notaris/PPAT Lusi Indriani dan notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireks ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik ​​Poldo Metro Jaya berdasarkan surat identitas tersangka no. B / 18529. /XII/RES 1.9/2022/Ditreskrim perihal Laporan Polisi no.LP/B/3397/VII/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 8/7/2021 yang diduga melanggar Pasal 266 KUHP dan /atau Pasal 264 KUHP.

Namun mereka tidak datang karena dinyatakan positif Covid-19, lalu seharusnya datang kembali pada 25 Januari 2023 dan kembali meminta penundaan hingga 6 Februari 2023.

“Telah dilakukan berita acara pemeriksaan tersangka (BAP) untuk tersangka Santos Halim, tersangka Notaris/PPAT Lusi Indriani, dan tersangka Notaris/PPAT Viva Novita Ranadireksa,” kata Arlon.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours