Pakar bantah kemasan AMDK berbahan polikarbonat sebabkan anak autis

Estimated read time 3 min read

Jakarta (ANTARA) – Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) Prof. Dr. Dr. Rini Sekartini, Sp.A (K) membantah air minum kemasan galon biru berbahan polikarbonat (AMDK) yang dapat digunakan kembali menyebabkan autisme pada anak.

“Belum ada penelitian mengenai pengaruh air galon biru yang dapat digunakan kembali terhadap autisme pada anak, tidak ada buktinya,” kata Rini, Senin di Jakarta.

Rini mengatakan, belum ada bukti jelas mengenai hal tersebut. Meskipun telah ada penelitian sebelumnya yang mendukung pengaruh logam tembaga terhadap penyebab autisme, belum ada bukti konklusif yang mendukung hal ini.

Terakhir, penelitian mengenai korelasi keduanya semakin jarang, dan pencarian penyebab autisme sudah tidak lagi diminati saat ini.

Menurutnya, air galon biru reusable sebenarnya sangat baik untuk kesehatan karena mengandung mineral yang sebenarnya dibutuhkan tubuh manusia karena mengandung mineral.

“Kalau dibilang bisa menyebabkan autisme, pasti banyak anak autis di Indonesia karena banyak orang yang minum air berliter-liter. “Tetapi orang autis sebenarnya bisa dihitung dengan jari,” kata Rini.

Hingga saat ini diketahui bahwa autisme disebabkan oleh masalah atau kelainan perilaku pada anak yang disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor genetik.

Beberapa faktor risiko lain telah diidentifikasi, seperti riwayat kelahiran prematur, riwayat kejang pada masa kanak-kanak, dan infeksi di masa lalu.

“Kami biasanya tidak mencari penyebab spesifik pada anak autis. “Sering kali kita tidak melakukan tes darah, tomografi, kita langsung melanjutkan ke pengobatan intervensi,” ujarnya.

Dijelaskannya, gejala yang ditemukan pada anak autis adalah keterlambatan bicara dan kurangnya kontak mata, tidak mampu berkomunikasi, melakukan gerakan berulang tanpa tujuan seperti melihat, menumpuk benda, memutar roda, dan terkadang disertai perilaku hiperaktif. .

Dalam beberapa kasus, anak autis juga mengalami alergi makanan, seperti susu sapi dan makanan laut. Jadi pengobatannya tergantung gejalanya.

Rini menjelaskan, tingkat keparahan autisme sendiri dapat dibedakan menjadi ringan, sedang, dan berat. Dimana tingkat keparahannya dipastikan dengan alat skrining berupa kuesioner M-CHAT-R.

Anak yang masuk dalam kategori autisme ringan disebut biasanya menunjukkan gejala tidak mampu melakukan kontak mata meski hanya sebentar. Berbeda dengan kategori rata-rata, di mana anak tidak cuek, namun tidak ada kontak mata.

“Tetapi mereka yang apatis total dan tidak menonjol biasanya tergolong autis berat,” ujarnya.

Adapun kondisinya, terdapat potensi perbaikan dengan mengembangkan kemampuan anak melalui beberapa jenis terapi. Termasuk jenis terapi yang berulang-ulang, antara lain terapi perilaku, terapi integrasi sensorik, terapi okupasi, dan terapi wicara, meskipun hal ini memerlukan waktu yang cukup lama.

“Karena autisme merupakan gangguan perilaku, maka pengobatannya juga harus mencakup perbaikan perilaku.

“Terapi hadir dalam berbagai bentuk, ada terapi integrasi sensorik, ada terapi okupasi, ada terapi wicara, dan ada terapi perilaku,” katanya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours