Pakar Sebut Rencana Insentif HEV Dapat Hambat Keberlanjutan BEV

Estimated read time 3 min read

dlbrw.com, JAKARTA – Ekonom Senior Institute for Economic and Financial Development (Indef) Tawhid Ahmad mengatakan rencana kebijakan untuk mendorong Hybrid Electric Vehicle (HEVs) dapat menghambat kemajuan ekosistem BEVs (Battery Electric Vehicle) di Indonesia.

Dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (20 Juni 2024), pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan peningkatan insentif kendaraan HEV untuk mempercepat tujuan netralitas karbon pada tahun 2060.

Namun langkah tersebut kemungkinan besar akan mempengaruhi kemajuan ekosistem BEV di Indonesia yang sudah menunjukkan pertumbuhan positif. Jika ekosistem BEV stagnan maka akan menghambat inovasi dan keberlanjutan industri otomotif dalam negeri.

“Tren penjualan kendaraan hybrid pasti akan meningkat seiring dengan diterapkannya insentif untuk mengurangi pangsa pasar kendaraan listrik di dalam negeri. Namun rencana kebijakan insentif HEV kemungkinan besar akan menghambat perkembangan ekosistem BEV di Indonesia, ujarnya.

Indonesia telah memiliki pabrik perakitan kendaraan listrik yang didukung dengan pabrik baterai kendaraan listrik sehingga memungkinkan BEV tumbuh karena perkembangan teknologi dan baterai.

Infrastruktur yang lengkap ini akan membantu mendongkrak industri suku cadang dalam negeri sehingga menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Ketika BEV muncul sebagai terobosan teknologi dalam industri otomotif, tren global sangat mendukung perkembangannya.

Laporan Reuters memperkirakan total pengeluaran produsen mobil global untuk kendaraan listrik, baterai, dan material akan mencapai US$1,2 triliun (atau sekitar Rp19 juta) pada tahun 2030.

Sementara itu, dibandingkan HEV yang sudah berada pada tahap teknologi matang, BEV mungkin belum menarik investasi signifikan di industri otomotif Indonesia.  

Skema insentif HEV juga dapat mengganggu potensi investasi dalam pengembangan ekosistem BEV di Indonesia. Banyak merek mobil yang menganggap Indonesia sebagai pasar penting, termasuk operasional produksi.

Ada kekhawatiran bahwa rencana kebijakan insentif HEV ini dapat menjadi penghambat investasi berkelanjutan dari merek-merek yang telah membangun ekosistem BEV di Indonesia dan mengganggu keberlanjutan ekosistem BEV di masa depan.

Investasi besar diperlukan untuk mendirikan fasilitas manufaktur baterai baru dan mengembangkan komponen elektronik untuk BEV.

Selain itu, BEV memiliki potensi lebih besar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dibandingkan HEV.

Menurut studi tahun 2023 yang dilakukan oleh International Council on Clean Transportation (ICCT), BEV dapat mengurangi siklus hidup GRK sebesar 47% dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil, sedangkan HEV hanya mampu menguranginya sebesar 26%.

Oleh karena itu, fokus pada BEV akan lebih efektif dalam mencapai tujuan netralitas karbon dan mendukung inovasi teknologi energi terbarukan di sektor otomotif.

“Dengan mempertimbangkan seluruh faktor tersebut, penting bagi pemerintah Indonesia untuk menyeimbangkan kebijakan insentifnya agar tidak menghambat kemajuan ekosistem BEV yang sedang berkembang,” kata Ahmad.

“Langkah strategis ini akan memastikan Indonesia berada pada jalur menuju masa depan otomotif yang berkelanjutan dan inovatif,” tutupnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours