Pebulu tangkis kejar impian Olimpiade, pikul harapan bangsa

Estimated read time 3 min read

Paris (ANTARA) – Suasana seru di Porte de la Chapelle Arena, Rabu (31/7) malam waktu tuan rumah menjadi momen inspiratif dalam pertandingan bulu tangkis Olimpiade. Loh Kean Yew, unggulan ke-10 asal Singapura, menutup kemenangan dengan tembakan mengarah ke base, sehingga mengakhiri perjalanan Uriel Francisco Canjura Artiga di pentas Olimpiade Paris.

Bagi pebulu tangkis berusia 23 tahun asal El Salvador itu, pertandingan ini lebih dari sekedar pertandingan biasa, namun juga merupakan turnamen bulu tangkis Olimpiade pertama di El Salvador.

“Ini sesuatu yang luar biasa. Saya tidak pernah membayangkan berada di tempat seperti itu, di stadion yang sangat besar dengan seluruh pemain terbaik dunia,” ujar Canjura antusias usai pertandingan.

Dari awal yang sederhana, bermain tanpa alas kaki di halaman belakang yang tertutup abu putih, perjalanan Canjura menuju podium Olimpiade adalah bukti ketangguhan dan tekadnya.

Kevin Cordon dari Guatemala melakukan selebrasi saat laga perempat final tunggal bulu tangkis melawan Heo Kwanghee dari Korea Selatan di Olimpiade Tokyo 2020 pada 31 Juli 2021. (ANTARA/Xinhua/Cao Can)

Saat berusia 15 tahun, Canjura meninggalkan keluarganya untuk berlatih di San Salvador, sebuah kota yang dulu terkenal dengan kekerasannya. “(Kota ini) sangat berbahaya, Anda tidak boleh membawa ponsel atau uang. Untungnya mereka tidak mengetahui nilai dari raket bulu tangkis,” kenang Canjura sambil mencatat ironi tersebut sambil tertawa.

Ada pula Anuoluwapo Juwon Opeyori, pebulutangkis asal Nigeria yang sudah dua kali tampil berturut-turut di Olimpiade. Ia menjadi mercusuar harapan bagi rakyatnya.

Sebagai olahraga yang pertama kali dipopulerkan oleh imigran Inggris di India, bulu tangkis kini didominasi oleh negara-negara Asia, seperti China dan Indonesia, dengan persaingan yang ketat dari negara-negara Eropa, seperti Denmark. Namun, gelombang atlet baru dari Afrika dan Amerika Latin mulai bermunculan. Mereka bertekad meraih kesuksesan di panggung terbesar olahraga tersebut.

Salah satu pionirnya adalah Kevin Cordon, pebulutangkis asal Guatemala yang berhasil mencapai babak semifinal Olimpiade Tokyo sekaligus mengukir tonggak sejarah baru bagi negara dan wilayahnya. Meski cedera memaksa Cordo mundur lebih awal dari Olimpiade Paris, kisahnya terus menginspirasi para pemain bulutangkis muda di seluruh Amerika Latin, termasuk Canjura.

“Anda adalah inspirasi kami. Mencapai semifinal di Olimpiade tidaklah mudah. ​​Anda berhasil. Lalu, mengapa saya tidak bisa melakukan hal yang sama?” kata Canjura.

Kevin Cordon dari Guatemala bersaing dalam perebutan medali perunggu tunggal putra melawan Anthony Sinisuka Ginting dari Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020 pada 2 Agustus 2021. (ANTARA/Xinhua/Ou Dongqu)

Berasal dari daerah kumuh di Lagos, Opeyori ditemukan oleh pelatihnya saat bermain sepak bola. Meski minim fasilitas memadai dan latihan dengan peralatan ketinggalan jaman, ia berhasil empat kali menjadi juara Afrika dan bertekad mematahkan kutukan bulu tangkis Afrika di Olimpiade, di mana belum pernah ada pebulutangkis putra Afrika yang mencapai babak sistem gugur.

“Kami cenderung berlatih menggunakan shuttlecock bekas, sehingga mengurangi intensitas latihan,” kata Opeyori, menunjukkan tantangan yang dihadapi pemain bulu tangkis Afrika dalam mengakses peralatan berkualitas tinggi.

Opeyori, kapten tim bulu tangkis Nigeria di Olimpiade, menghadapi persaingan ketat di Paris dan kalah di babak penyisihan grup dari unggulan keenam dari China, Li Shifeng. Meski mengalami kegagalan, Opeyori dan Canjura tetap tidak gentar, sadar akan peran mereka dalam mewakili dan mempromosikan negara mereka.

“Ini merupakan tanggung jawab besar bagi saya, namun saya mengambilnya selangkah demi selangkah,” kata Canjura.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours