Pendekatan Yuridiksi Mendorong Percepatan Sertifikasi ISPO Petani Sawit Swadaya

Estimated read time 4 min read

JAKARTA – Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) yang berlaku hingga tahun ini mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan beberapa langkah perbaikan tata kelola dengan bantuan layanan dan pendanaan RAN KSB. Melalui dukungan perangkat APBN dan APBD serta kolaborasi multipihak. Namun kenyataannya, implementasi kebijakan di tingkat daerah masih minim. Hingga saat ini baru 9 provinsi dan 19 kabupaten yang menerapkan kebijakan tersebut.

Akibatnya, sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dihentikan. Hanya sekitar 0,3% perkebunan kelapa sawit nasional yang mampu melakukan hal tersebut. Berbagai upaya pemerintah bekerjasama dengan berbagai aktor menjadi pendorong utama diperolehnya sertifikasi ISPO bagi petani kelapa sawit. Gagasan pendekatan hukum sebagai salah satu opsi untuk mempercepat proses sertifikasi ISPO bagi perkebunan kelapa sawit nasional.

Eddy Yusuf, Asisten Deputi Pembangunan Pertanian Kementerian Perekonomian, mengatakan pemerintah pusat dan daerah bersama pemangku kepentingan lainnya dapat mendorong sertifikasi ISPO bagi petani sawit, khususnya petani mandiri. Sebab, sertifikasi ISPO merupakan bagian dari komitmen pemerintah terhadap kelapa sawit berkelanjutan.

“Dukungan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya diperlukan untuk mempercepat proses sertifikasi ISPO,” kata Eide pada lokakarya yang diselenggarakan oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan Kalika tentang praktik terbaik perkebunan berkelanjutan berdasarkan pendekatan hukum. Jakarta, Kamis. (20 Juni 2024).

Kementerian Pertanian (Kimantan) juga menawarkan dukungan pemerintah untuk mempercepat penerbitan sertifikat petani. Kementerian Pertanian bekerja sama dengan Dinas Pertanian bertujuan untuk mendorong peningkatan praktik pengelolaan petani di daerah dan budidaya tanaman kelapa sawit. Bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya, kami juga bertujuan untuk memproduksi minyak sawit berkelanjutan.

Untuk lebih mendukung permintaan minyak sawit yang tumbuh sebesar 7,3 persen, dan mendorong praktik minyak sawit berkelanjutan yang semakin ketat, pemerintah telah meluncurkan strategi Satu Kelapa Sawit, kata Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHBun) Kementerian Pertanian. . , Prayody Syamsuri. Hal ini dilakukan melalui proyek Pembaruan Kelapa Sawit Rakyat (PSR) yang didukung anggaran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Sehingga dengan mendorong penerapan ISPO, Perbaikan Sarana dan Prasarana (Sarpras) dapat digunakan untuk meningkatkan infrastruktur yang dibutuhkan di perkebunan kelapa sawit. Termasuk anggaran hibah sebesar $3.000 untuk anak-anak petani kelapa sawit. “Diterbitkannya Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) merupakan komitmen pemerintah dalam mendukung keberlanjutan industri kelapa sawit,” ujarnya.

Terkait pendekatan hukum, Prayodi juga mengatakan merupakan wilayah yang pasti dengan batas-batas politik dan administratif tertentu. Kawasan di yurisdiksi ini dinilai untuk memastikan bahwa kawasan tersebut mematuhi dan memenuhi prinsip dan kriteria sertifikasi ISPO.

CPO yang diproduksi dalam batas wilayah tersebut dapat dianggap memenuhi ISPO. “Pendekatan hukum bisa menjadi peluang untuk mendorong percepatan sertifikasi ISPO, khususnya di tingkat petani,” jelasnya.

Sejalan dengan upaya pemerintah, Yayasan Kalika (dahulu Enobo) menginisiasi pendekatan hukum untuk mencoba mendorong percepatan proses akreditasi ISPO. Bernadinus Steni Sugiarto dari Kalika Foundation mengatakan jika proses sertifikasi dilaksanakan dengan peserta kurang dari 500 petani, biaya sertifikasi akan mahal, lebih dari $170 per petani.

“Pada saat yang sama, jika proses sertifikasi diperluas hingga mencakup lebih dari 2.000 petani kelapa sawit, biaya sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan dapat dikurangi hingga setidaknya $50 per petani,” jelasnya.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan terkoordinasi untuk mengatasi tantangan tersebut. Salah satu solusi yang diusulkan adalah meningkatkan ukuran sertifikat agar mencakup lebih banyak petani dalam satu proses. Dengan memperluas cakupan, biaya per petani dapat dikurangi secara signifikan sehingga bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat.

Selain itu, diperlukan tindakan politik untuk mengurangi biaya yang terkait dengan proses sertifikasi. Hal ini mencakup pemberian subsidi untuk pengembangan kapasitas petani, pemetaan lahan, pembentukan organisasi petani, dan penanganan masalah hukum. Dengan cara ini, proses sertifikasi dapat lebih efisien dan adil bagi seluruh pemangku kepentingan.

Berbagai dukungan terhadap percepatan ISPO juga merupakan bagian dari kerja SPKS yang senantiasa mendorong pengorganisasian petani, pengelolaan yang lebih baik, dan praktik pertanian berkelanjutan. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan mudah digunakan bagi petani kelapa sawit, kata Presiden SPKS Jenderal Sabrudin.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah pendekatan komprehensif atau biasa disebut sertifikasi regional atau legal. Pendekatan ini memungkinkan percepatan proses persetujuan ISPO dengan melibatkan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan. “Saat ini sektor pertanian Indonesia telah memiliki kebijakan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, antara lain kebijakan terkait ISPO dan RAN KSB, serta tindakan penyusunan RAD KSB di tingkat daerah,” ujarnya.

Meski demikian, Sabarudin mengatakan masih terdapat kesenjangan capaian dan hasil, terutama dalam konteks regional dan lingkungan. Untuk itu SPKS menekankan pentingnya merumuskan pendekatan regional yang komprehensif untuk mewujudkan kawasan berkelanjutan. Hal ini mencakup daftar seluruh aspek sosial, ekonomi dan lingkungan di wilayah tersebut, serta rencana aksi dan sistem pendukung kelembagaan.

Contoh penerapan pendekatan regional adalah pengumpulan informasi komprehensif mengenai petani di suatu wilayah, yang kemudian diterima secara kolektif. Pendekatan ini memastikan bahwa tidak ada petani yang tertinggal dalam proses sertifikasi. Penilaian komprehensif terhadap kondisi regional, termasuk identifikasi kawasan terdegradasi, sedang dan stabil, juga merupakan bagian dari pendekatan ini.

“Solusi yang kami usulkan tidak lagi sekedar teknokratis, tapi responsif dan bertanggung jawab, serta mendukung pengelolaan kelapa sawit sesuai kebutuhan perubahan nyata di tingkat lokasi,” tegasnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours