Penggunaan Antibiotik Tidak Bijak Picu Resistensi, Kemenkes Beri Peringatan Keras

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan peringatan keras terhadap penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana sehingga menghasilkan resistensi antimikroba (AMR). Kondisi ini membuat bakteri kebal terhadap antibiotik.

Akibatnya pengobatan dan perawatan pasien menjadi lebih sulit. Kementerian Kesehatan menyoroti pentingnya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan antibiotik sesuai dengan peringatan dokter untuk mencegah ancaman kesehatan yang serius di masa depan.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Dr. Azhar Jaya membeberkan rincian kejadian resistensi antimikroba yang dilaporkan petugas rumah sakit. Data tersebut mencakup dua jenis bakteri yang resisten terhadap antibiotik.

“Data AMR Indonesia hanya diperoleh dari laporan data kewaspadaan rumah sakit yang ditetapkan oleh Dirjen Pelayanan Kesehatan, dimana hasil pengukuran extended Beta-Lactamase (ESBL) pada tahun 2022 di 20 stasiun rumah sakit adalah sebesar 68 persen,” ujarnya. Dr. Azhar dalam suratnya yang dikutip Kamis (19/9/2024).

Selanjutnya pada tahun 2023 mencapai peringkat ke-24 kewaspadaan rumah sakit sebesar 70,75 persen dari target ESBL tahun 2024 sebesar 52 persen. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan resistensi terhadap bakteri pada bakteri Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia.

Menurut Dr. Azhar, kedua jenis bakteri ini bisa menyebabkan kematian dan menyerang seluruh sistem tubuh manusia.

Agar data tersebut dapat mewakili Indonesia maka langkah-langkah ESBL, pada akhir tahun 2024 akan dilaksanakan langkah-langkah di 56 rumah sakit yang tersebar di wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia serta antara rumah sakit pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta. ” jelasnya. .

Data Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) WHO yang diperbarui pada tahun 2022 menyebutkan bahwa resistensi antimikroba pada Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae di Indonesia terdeteksi melalui tes darah dan urin dari pasien terkait AMR.

Berdasarkan catatan rumah sakit yang diperoleh Kementerian Kesehatan, mengobati pasien yang mengalami resistensi antimikroba membutuhkan banyak upaya. Karena bakteri yang kebal antibiotik mempengaruhi perawatan pasien.

“Mengobati pasien yang terinfeksi AMR sangat sulit karena beberapa alasan. Yang pertama adalah pilihan obat yang terbatas. Obat yang efektif untuk pasien AMR bisa jadi sulit atau mahal, dan virusnya bisa resisten terhadap antibiotik yang ada,” ujarnya. .

Menurut Dr. Azhar, ujiannya mungkin tertunda. Hal ini karena pemeriksaan yang cermat dan analisis kultur diperlukan untuk pasien yang didiagnosis dengan infeksi kronis. Di sinilah analisis memerlukan waktu. Oleh karena itu keterlambatan dalam menanganinya dengan benar. Selanjutnya, pimpinan rumah sakit perlu meningkatkan kegiatan laboratorium.

Beberapa hal berkaitan dengan efek samping. Pengobatan resistensi antimikroba seringkali memerlukan antibiotik dengan efek samping yang serius atau risiko toksisitas. Selain itu, resistensi antimikroba dapat menyebar dengan cepat. Khususnya di lingkungan rumah sakit, diperlukan upaya pengendalian infeksi yang ketat.

Kelima, biaya tinggi. “Karena AMR menjadi pengobatan jangka panjang, pengobatan AMR menjadi lebih mahal, produktivitas pasien dan keluarga menurun, serta membebani pasien dan asuransi kesehatan,” ujarnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours