Pengusaha ritel keberatan soal aturan zonasi penjualan produk tembakau

Estimated read time 3 min read

JAKARTA (ANTARA) – Himpunan Pengusaha Retail dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) menyatakan penolakannya terhadap aturan zonasi penjualan hasil tembakau dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) bidang kesehatan.

RPP Kesehatan merupakan pemberlakuan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, namun alasan penolakan karena berpotensi mengancam keberlangsungan bisnis ritel.

Ketua Dewan Hippindo Tutum Rahanta dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, menyayangkan kontroversi aturan tembakau dalam RPP Kesehatan yang masih dalam pembahasan.

Padahal, menurutnya, regulasi produk tembakau yang ada saat ini dinilai sudah baik dari segi Regulasi dan Praktiknya. Pelaku usaha juga mematuhi peraturan penjualan hasil tembakau sesuai peraturan.

“Peraturan penjualan rokok yang ada saat ini sudah komprehensif. Dengan memperketat peraturan tembakau dalam RPP Kesehatan, seperti pusat pendidikan dan taman bermain anak yang diberi batas 200 meter, hal itu akan bisa terjadi,” kata Tutum ketidakpastian di lapangan.” .

Sebagai komoditas yang dijual secara eceran, produk tembakau memberikan kontribusi pendapatan usaha yang cukup besar sehingga peraturan tersebut dianggap berbahaya bagi perusahaan.

Pada tahun 2023, perkiraan total nilai penjualan produk tembakau dalam negeri di ritel modern mencapai Rp 40 miliar. Jika ketentuan ini disahkan, diperkirakan lebih dari separuh pendapatan tersebut akan hilang.

Pasalnya, ada ratusan ribu pengecer modern yang akan terkena dampak aturan tembakau dalam RPP Kesehatan, terutama rencana larangan penjualan rokok dalam jarak 200 meter dari fasilitas pendidikan dan taman bermain.

Selain itu, Tutum juga menilai aturan penjualan produk tembakau yang tercantum dalam RPP Kesehatan akan mengganggu kelangsungan usaha dan peraturan yang sudah ada sebelumnya.

“Kalau (penjualan) terganggu pasti akan berdampak pada munculnya peluang lain. Saya kira ke depan (penjualan produk tembakau) akan muncul di pasar gelap dan tumbuh sedemikian rupa sehingga menyulitkan pemerintah. untuk mengontrol distribusinya.”

Oleh karena itu, zona penjualan produk tembakau sepanjang 200 meter tidak dapat mengendalikan dampaknya terhadap pedesaan dan akan menimbulkan ketidakpastian dalam dunia usaha. Untuk itu, kata dia, tidak boleh ada aturan baru terhadap produk tembakau yang mengganggu penjualan eceran.

“Selama barang yang dijual (sebagai produk) legal, yang terbaik adalah mengelolanya, tetapi tidak mengganggu proses penjualan di lokal. Perdebatan dan ketidakpastian.”

Tutum menjelaskan, dari sisi pengecer, alasan penolakan juga didorong oleh rasa khawatir jika ada tindakan yang dilakukan agen yang berpotensi menyerbu penjualan produk tembakau di kemudian hari. Hal ini juga berpotensi mengganggu kehidupan para pedagang ritel, karena produk tembakau merupakan penyumbang pendapatan negara yang besar.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), capaian penerimaan pajak hasil tembakau (CHT) tercatat sebesar Rp 213,48 miliar pada tahun 2023. Dengan besarnya pendapatan CHT tersebut, maka regulasi tembakau dalam RPP Kesehatan justru bertentangan. Dengan pemanfaatan pajak yang memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours