Perlu kecermatan merangkai regulasi BBM subsidi

Estimated read time 5 min read

JAKARTA (ANTARA) – Uang pecahan Rp2.000 kerap dianggap kecil. Tak jarang, lembaran-lembaran tersebut berserakan di jalan, bertumpuk di bawah meja, bahkan ditinggalkan dalam berbagai transaksi jual beli karena perkiraan nilainya terkesan kecil.

Namun, Rp 2.000 tidak dapat diabaikan karena hal ini berarti kenaikan harga minyak mentah (BBM) secara umum pada tahun 2014.

Pada tanggal 18 November 2014, Presiden Joko Widodo saat menjabat sebagai pemimpin negara melakukan penyesuaian harga bensin RON 88 dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter, dan minyak solar (gas oil) disubsidi. Dari Rp5.500 per liter menjadi Rp7.500 per liter

Berdasarkan laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, kenaikan harga BBM bersubsidi menyebabkan redistribusi subsidi BBM mencapai Rp 211,3 triliun.

Cukup dengan Rp 2.000, negara leluasa menyalurkan subsidi hingga ratusan miliar rupee.

Sayangnya, kebijakan ini telah menyebabkan peningkatan biaya kebutuhan dasar seperti bahan makanan, makanan ringan, pakaian, kesehatan, dll. Pada Desember 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sebesar 2,46 persen.

Isu kenaikan harga BBM dapat menyebar ke berbagai daerah, mulai dari kelangkaan hingga pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, dan dapat menimbulkan keresahan masyarakat yang berujung pada kepanikan masyarakat.

Namun, Presiden Jokowi mengatakan pemerintah belum membahas kebijakan pengurangan pembelian BBM bersubsidi. Hal serupa juga ditegaskan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Energi dan Mineral Arifin Tasrif.

Selain itu, pembatasan tersebut tidak akan dilaksanakan sebelum adanya amandemen Peraturan Presiden (Intensi) No. 191 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Bahan Bakar Minyak.

Perubahan Perpres 191 Tahun 2014

Sebenarnya, rencana pengurangan penyaluran BBM bersubsidi bukanlah hal baru. Pembahasan larangan tersebut sudah dimulai setelah usulan amandemen Perpres 191/2014 yang mengatur tata niaga BBM pada pertengahan tahun 2022.

Wakil Ketua komisi ini, DRP RI Eddy Soeperno, mengingatkan pemerintah untuk menyelesaikan amandemen UUD 191 Tahun 2014 sebelum menghentikan penggunaan BBM bersubsidi.

Eddy menjelaskan, setidaknya ada dua hal penting yang harus dimasukkan dalam amandemen rezim Presiden. Pertama, mengenai kategori atau kondisi kelompok sosial dan kendaraan yang berhak menerima BBM bersubsidi.

Kedua, mengenai sanksi yang dikenakan kepada mereka yang membeli atau menjual BBM bersubsidi yang melanggar perintah Presiden.

Eddy mengatakan, pembahasan pelarangan pembelian BBM bersubsidi hanya berlaku bagi masyarakat kelas menengah atau masyarakat mampu.

Sementara itu, masyarakat dari lapisan ekonomi bawah seperti pengemudi/pengendara sepeda motor online, pengemudi angkutan umum, kendaraan UMKM, dan sepeda motor berhak membeli BBM bersubsidi.

Terkait penggunaan BBM bersubsidi oleh ojek dan taksi internet, pejabat Kementerian Komunikasi, Biro Pelayanan Informasi Publik dan Kerjasama (CALIC) Kementerian ESDM mengatakan, pemerintah sedang mengkaji operasionalnya.

Pemerintah menghindari penyalahgunaan bahan bakar bersubsidi, namun tidak ingin menghentikan taksi online menerima bahan bakar bersubsidi.

Menurut Aka, sapaan akrab Agus, pelarangan penggunaan BBM bersubsidi bagi pengemudi taksi online justru akan menimbulkan keresahan masyarakat. Namun taksi online kelas mewah tidak berhak mendapatkan bahan bakar bersubsidi

Ia berharap dengan adanya perubahan UU Presiden 191/2014, pemerintah bisa menyalurkan tunjangan BBM sesuai peruntukannya.

Subsidi energi

Volatilitas harga minyak dunia, meningkatnya konflik di Timur Tengah dan melemahnya rupee terhadap dolar AS telah meningkatkan anggaran kompensasi dan subsidi bahan bakar dalam negeri.

Menteri Keuangan Bpk. Mulani Indravati menjelaskan, sejauh ini pemerintah telah mengeluarkan subsidi dan kompensasi energi senilai Rp155,7 triliun yang meliputi subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 7,16 juta kiloliter dan LPG 3 kg sebanyak 3,36 juta kiloliter.

Menkeu mengatakan akibat anjloknya nilai tukar, penggunaan subsidi dan kompensasi energi berdampak pada peningkatan belanja pemerintah. Belanja pemerintah pada semester I 2024 tercatat meningkat 11,3 persen year-on-year (year/year) menjadi Rp 1,398 miliar.

Selain itu, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengusulkan alokasi kuota minyak tujuan khusus (JBKP) sebesar 31,33 juta KL – 33,23 juta KL kepada Kementerian Keuangan untuk persiapan RAPBN 2025. Tahun fiskal

Batas atas proyeksi perlit tersebut lebih besar sekitar 2 juta KL dibandingkan jatah penyaluran perlit APBN tahun 2024 yaitu 31,704 juta KL, dan jatah penyaluran perlit yang dibagi BPH Migas sebesar 31,60 juta KL.

Dengan demikian, subsidi dan kompensasi energi pada TA 2025 bisa membengkak

Kenaikan subsidi energi menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa tidak hanya terjadi pembatasan distribusi BBM bersubsidi, namun juga terjadi kenaikan harga BBM.

Kemungkinan ini tidak bisa dipungkiri. Wahudi Askar, Direktur Kebijakan Publik di Media Research Institute for Economic and Law Studies (Celios) berpendapat bahwa subsidi harga bahan bakar perlu didistribusikan kembali untuk mengurangi beban keuangan akibat subsidi bahan bakar.

Pada tahun 2024, pemerintah menetapkan target subsidi energi sebesar Rp 189 triliun.

Daripada mengalokasikan defisit anggaran yang disebabkan oleh subsidi bahan bakar, anggaran tersebut sebaiknya digunakan untuk mengembangkan infrastruktur yang penting bagi pertumbuhan ekonomi, seperti transportasi umum, pendidikan, dan kesehatan.

Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah dalam penyaluran subsidi BBM. Pertama, kebijakan tersebut harus dilaksanakan dari waktu ke waktu. Kedua, untuk mengurangi dampaknya, sebaiknya sebagian dana subsidi BBM dialokasikan untuk bantuan atau perlindungan sosial.

Selain itu, perlu ada program untuk melindungi kelas menengah secara finansial, yang dapat berupa subsidi dan subsidi kesehatan, pendidikan, perumahan, dan transportasi umum.

Dengan cara ini, pembiayaan dari subsidi bahan bakar digunakan untuk merangsang perekonomian produktif dan jaring pengaman sosial dengan tetap menjaga daya beli, penerimaan pajak, dan struktur makroekonomi secara keseluruhan.

Keputusan mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi sangatlah sensitif dan mempunyai dampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat. Dampak dari keputusan ini tidak hanya dirasakan di tingkat atas, namun sampai ke akar rumput

Oleh karena itu, pemerintah perlu berhati-hati dan cermat dalam mempertimbangkan berbagai dampak sebelum memutuskan besaran tunjangan energi.

Redaktur: Ahmad Jenal M

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours