Pertanian regeneratif membangun kesehatan tanah kembali

Estimated read time 5 min read

Jakarta (ANTARA) – Film dokumenter yang dibuat di Amerika Serikat berhasil mengangkat isu baru di sektor pertanian. Empat tahun lalu, film Kiss the Ground memperkenalkan istilah pertanian regeneratif kepada masyarakat awam, selebriti, politisi, dan pakar perubahan iklim.

Istilah pertanian regeneratif sebenarnya setara dengan istilah umum sebelumnya seperti pertanian berkelanjutan, pertanian ramah lingkungan, pertanian organik, pertanian berkelanjutan, pertanian cerdas iklim, pertanian agroekologi (agroecological farming).

Tentunya setiap istilah mempunyai penekanan tertentu tergantung pada konteks yang dihadapi dunia pertanian di masing-masing tempat.

Istilah restoratif berarti memulihkan atau memperbaharui. Dengan demikian, pertanian terbarukan berarti pertanian yang memperbaharui sumber daya pertanian, termasuk tanah, air, flora dan fauna, serta manusia.

Artinya pertanian konvensional tidak berhasil melakukan konservasi tanah, air dan biota sehingga berdampak negatif terhadap sosial ekonomi masyarakat baik sebagai produsen (petani) maupun sebagai konsumen pangan.

Sebuah antitesis yang umum

Pertanian skala industri di negara-negara Barat telah berhasil menggunakan mekanisasi untuk mencapai produksi pangan yang tinggi. Namun industrialisasi yang mengandalkan pupuk anorganik dan pestisida sintetik telah merusak sumber daya tanah.

Bahan organik berupa sisa tanaman habis seluruhnya di dalam tanah. Struktur tanah rusak karena terlalu seringnya pengolahan tanah.

Dengan cara ini permukaan tanah menjadi kedap air, air hujan tidak meresap ke dalam tanah, melainkan menghanyutkan lereng tanah di sungai. Tanah subur lama kelamaan menjadi tandus.

Di Indonesia, meskipun sebagian besar pertanian pangan dikembangkan oleh masyarakat kecil dan belum berskala industri, namun pertanian dan pengelolaan lahan juga tidak seimbang sehingga menyebabkan lahan menjadi kurang subur seiring berjalannya waktu.

Tanaman dan jerami dibakar sehingga tanah gundul tanpa penutup sehingga rentan terhadap erosi.

Pengolahan lahan secara monokultur secara terus-menerus mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati. Akibatnya, tanah yang kurang subur menghasilkan tanaman yang kurus dan rendah unsur hara.

Tanah Deli di Sumatera Utara merupakan rumah bagi perkebunan tembakau Deli yang terkenal pada abad ke-19 dan ke-20. Petani tembakau di koloni Belanda menemukan bahwa lahan yang baru dibuka dari hutan alam menghasilkan tembakau berkualitas tinggi.

Namun setelah 2-3 tahun ditanam, lahan tersebut tidak lagi menghasilkan tembakau berkualitas.

Petani kolonial Belanda memandang petani Indonesia mengandalkan sistem pertanian berpindah. Lahan tersebut dibuka dan ditanami selama beberapa tahun, kemudian ditinggalkan dan dipindahkan ke lokasi lain agar lahan yang sebelumnya ditanami dapat pulih atau menjadi subur kembali.

Saat itu lahannya masih luas sehingga pemerintah kolonial mendukung penerapan sistem perladangan berpindah.

Lahan yang pernah ditanami tembakau dapat dikembalikan menjadi hutan selama 8 tahun sebelum ditanami kembali. Para petani tahu bahwa tanah memerlukan istirahat untuk memulihkan bahan organik dan vitalitas.

Tentu saja, di zaman modern ini, pemerintah Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan perubahan sistem pertanian untuk menghidupkan kembali, memulihkan, dan memelihara lahan yang lelah dan rusak.

Pertanian regeneratif merupakan peluang untuk memperbaiki tanah dan lingkungan untuk mencapai pertanian berkelanjutan.

Versi berbeda

Ada banyak pendapat tentang apa yang disebut dengan pertanian regeneratif. Petani Amerika Gabe Brown, dalam bukunya From Black to Soil, menganjurkan enam prinsip sistem pertanian yang dapat diklasifikasikan sebagai pertanian regeneratif.

Pertama, pertanian regeneratif selalu melihat konteks lahan. Setiap lahan pertanian mempunyai permasalahan dan kapasitas yang berbeda-beda, sehingga tidak ada satu jenis sistem pertanian yang dapat diterapkan pada semua lahan.

Kedua, pertanian energi terbarukan mempunyai prinsip mengurangi gangguan tanah, baik yang bersifat fisik (mengurangi pengolahan tanah), kimia (mengurangi penggunaan pupuk kimia dan pestisida) dan biologis (meningkatkan keanekaragaman hayati).

Ketiga, pertanian terbarukan selalu berusaha menutupi permukaan tanah, sehingga tanah harus selalu tertutup tanaman dan/atau serasah.

Keempat, pertanian terbarukan berupaya meningkatkan keanekaragaman hayati, sehingga menghindari monokultur, karena keanekaragaman tanaman yang tinggi di lahan pertanian dapat memperkaya tanah dengan keanekaragaman hayati, termasuk flora dan fauna.

Kelima, pertanian regeneratif memberi akar tanaman tempat tinggal. Tumbuhan yang tumbuh di dalam tanah menghasilkan akar yang memperlancar peredaran unsur hara dan mengikat tanah agar tidak mudah terkikis.

Keenam, berintegrasi dengan peternakan. Pertanian, yang menggabungkan tanaman dan peternakan, berkontribusi terhadap siklus nutrisi, di mana hewan dapat memakan produk tanaman dan berkontribusi terhadap nutrisi tanaman melalui kotorannya.

Oleh karena itu, tidak ada model standar untuk pertanian terbarukan. Pertanian regeneratif bukanlah model yang bisa diterapkan untuk semua orang. Tidak ada rumus yang dapat diterapkan secara universal.

Sistem yang dikembangkan di AS lebih disukai untuk lahan peternakan, namun mungkin tidak bisa diterapkan di Indonesia, sehingga kita perlu menyesuaikannya dengan kondisi lokal.

Sistem pertanian tradisional yang ada di Indonesia seperti subak di Bali merupakan sistem pertanian ekologis sehingga dapat digolongkan sebagai pertanian regeneratif.

Faktanya, sebagian orang menganggap pertanian regeneratif hanyalah mendaur ulang limbah pertanian menjadi bahan kompos.

Era digital

Dalam empat tahun terakhir, selain pertanian dengan sumber daya terbarukan, istilah pertanian digital juga menjadi populer. Keduanya tampak bersaing memperebutkan ruang perhatian publik.

Di era digital saat ini sedang digalakkan Agriculture 4.0 yang secara sederhana adalah pertanian digital dengan menggunakan teknologi dan mekanisasi.

Di sisi lain, pertanian energi terbarukan dinilai belum mengandalkan teknologi. Sebab, pertanian regeneratif dimaknai secara sempit.

Pertanian terbarukan sebenarnya tidak boleh anti teknologi, apalagi teknologi digital, karena popularitas pertanian terbarukan juga bersumber dari kemajuan teknologi digital dalam bentuk film dokumenter.

Para peneliti dari Universitas Sydney di Australia mendefinisikan pertanian regeneratif sebagai “sistem tanaman dan/atau peternakan apa pun yang menghormati keanekaragaman alam dan kapasitas ekologi untuk meningkatkan kualitas produk dan ketersediaan sumber daya pertanian seperti tanah, air, biota, dan energi. sumber energi terbarukan, tetapi juga manusia”.

Definisi ini tidak mengacu pada satu sistem saja, namun mengacu pada seluruh sistem regeneratif yang berupaya memulihkan sumber daya alam yang terkuras dan memperbaiki fungsi ekosistem dengan memulihkan siklus alam.

Dengan cara ini, pertanian regeneratif dapat dipadukan dengan pertanian digital. Pertanian digital mengandalkan efisiensi produksi, sedangkan pertanian terbarukan memperhatikan lingkungan. Kombinasi kedua konsep ini memunculkan pertanian terbarukan digital.

Pertanian regeneratif digital mengutamakan aktivitas lingkungan pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian.

Kedua konsep ini tidak terpisah, namun selaras, meningkatkan kerjasama petani sehingga produk pertanian yang dihasilkan dapat didukung secara digital.

Artinya konsumen akan belajar bagaimana makanan yang dibelinya diproduksi dengan cara yang ramah lingkungan.

Kombinasi ini tidak hanya mengatasi ketahanan pangan dan lingkungan, namun juga meningkatkan kesejahteraan petani.

Selain itu masyarakat yang menjadi konsumen tetap sehat karena konsumsi makanannya juga sehat. Pertanian regeneratif juga bertujuan ke arah ini.

*) Prof. Budiman Minasni adalah profesor di University of Sydney di Sydney, Australia.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours