Power Wheeling, Pasal 33, dan Agenda Transisi Energi

Estimated read time 5 min read

M.Kholid Serazi

Direktur Pusat Kebijakan Energi

INDONIA mempunyai keistimewaan yang tidak ditemukan di negara lain. Ciri tersebut antara lain tampak pada Pasal 33 UUD 1945. Sebaliknya, negara-negara Anglo-Saxon membatasi peran negara dalam perekonomian.

Doktrin ini mewakili keadaan minimal: lebih sedikit peraturan lebih baik daripada lebih banyak peraturan (lebih sedikit peraturan lebih baik daripada lebih banyak). Terlalu banyak campur tangan pemerintah dapat menghancurkan keajaiban hukum pasar.

Indonesia mewarisi tradisi Rechtsstaat dari negara-negara benua Eropa. Negara tidak hanya berperan sebagai arbiter atau penjaga malam (Nachtwächterstaat), namun juga pengelola pembangunan.

Perekonomian tidak tunduk pada mekanisme pasar, melainkan dikendalikan oleh negara. Negara merencanakan pembangunan, menyiapkan anggaran, mendukung sektor industri yang memberikan penghidupan bagi masyarakat.

Pasal 33 merupakan pengantar negara kesejahteraan ala Indonesia. Artikel ini mengkaji nasionalisme sumber daya, doktrin penguasaan negara atas eksplorasi dan eksploitasi industri strategis.

Pasal ini juga menjadi dasar keputusan Mahkamah Konstitusi (MC) yang mencabut sejumlah undang-undang pasca reformasi. Di antara undang-undang yang dicabut Mahkamah Konstitusi adalah UU No. 20/2002 tentang ketenagalistrikan.

Putusan Mahkamah Konstitusi no. 001-021-022/PUU-I/2003, UU Ketenagalistrikan dicabut seluruhnya karena menganut sistem distribusi. Sistem ini membagi industri penyediaan tenaga listrik menjadi pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan, yang dilakukan oleh berbagai badan usaha.

Hal ini membuka jalan menuju liberalisasi: produsen listrik swasta (IPP) dapat menjual langsung ke konsumen dengan harga yang kompetitif. Paket ini disebut MBMS (Multi Pembeli Multi Penjual). Setelah dinyatakan ilegal, pemerintah dan DPR menyusun kembali UU Ketenagalistrikan yang tertuang dalam UU Nomor 1 30 Tahun 2009.

Ayat (2) Pasal 10 peraturan ini membuka kembali kemungkinan sistem reservasi. Pasal ini menunjukkan bahwa kegiatan penyediaan tenaga listrik dapat dilakukan secara menyeluruh, artinya dapat juga dilakukan secara non-korporat.

Poin ini “terlewatkan” dalam keputusan MK no. 149/PUU-VII/2009, namun dibatalkan berdasarkan keputusan MK no. 11/PUU-XIII/2015. Mahkamah Konstitusi menyatakan terdapat penyimpangan yang disengaja dari maksud putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang melegalkan praktik segregasi di industri ketenagalistrikan. Mahkamah Konstitusi dengan mengandalkan Pasal 10, Pasal (2) UU Nomor 10, menyatakan konsep pemisahan bertentangan dengan Konstitusi. 30 Tahun 2009 tidak mengikat secara hukum.

Menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi, skema beberapa pembeli, satu penjualan (MBSS) diadopsi di pasar listrik. Perusahaan listrik swasta (IPP) boleh membangun pembangkit listrik, namun seluruh listrik yang dihasilkan harus dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Rencana ini sesuai dengan sumber nasionalisme, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi dan Pasal 33. Namun hal ini harus dibayar mahal: beban biaya TOP (take or pay) yang harus ditanggung PLN. Kelebihan listrik IPP yang tidak ditanggung asuransi harus dibayar dalam zloty, sekitar Rp 3 triliun per GW. Jika saat ini terjadi kelebihan pasokan sebesar 6 GW, seharusnya anggaran PLN sebesar Rp 18 triliun per tahun.

Kekuatan Roda

Dunia sedang berjuang untuk mengurangi laju pemanasan global, termasuk dengan menggunakan energi rendah emisi. Partisipasi “generator kotor” akan berkurang, partisipasi “generator ramah lingkungan” akan meningkat. Saat ini porsi EBT baru 13,1% dari total kapasitas produksi.

Atas nama agenda transisi energi, skenario decoupling diselundupkan kembali ke dalam UU EBET (Energi Baru dan Energi Terbarukan). Proyek EBET masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2019-2024 dan rencananya akan menjadi usulan inisiatif DPR pada tahun 2022.

Salah satu topik yang paling banyak dibicarakan adalah siklus energi. Merupakan skema pembagian jaringan listrik atau akses publik (PBJTL) untuk distribusi listrik berbasis EBET. Karena adanya positif dan negatif internal pemerintah dan DPR yang beberapa kali masuk dan keluar DIM (Daftar Masalah), hal tersebut akan kembali dibahas Senin (24/6/2024) ini oleh EBET Komisi VII DPR. . ).

Inti dari skema siklus energi adalah tanggung jawab pemilik tempat usaha (vilus) untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan listrik yang dipasok dari EBET. Apabila pemilik utilitas tidak dapat memenuhi kewajiban ini, pelanggan dapat memperoleh pasokan listrik melalui kerja sama point-to-point menggunakan sewa generator atau perjanjian jual beli listrik dengan pemilik utilitas lainnya.

Dengan kata lain, IPP pembangkit listrik EBET dapat menjual listrik langsung ke konsumen dengan “menyewa” jaringan transmisi dan distribusi PLN. Mereka tidak perlu menjual listrik melalui PLN, melainkan langsung ke konsumen yang menggunakan fasilitas PLN.

Ini adalah praktik rahasia sistem pemesanan untuk menciptakan pasar MBMS (banyak pembeli dan sedikit penjual). PLN harus memisahkan unit usaha pembangkitan dari unit usaha transmisi, distribusi, dan penjualan.

Skenario kebebasan

Skenario liberalisasi mengandalkan RUU EBET atas nama transisi energi dengan pergantian kekuasaan. Mekanismenya tersembunyi, terungkap bukan dari rumusan UU Ketenagalistrikan, melainkan UU EBET. Ada tiga pertanyaan untuk ditanyakan.

Pertama, apakah mungkin untuk mengambil kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi meskipun atas nama transformasi energi? Kedua, apakah ada jaminan bahwa skema siklus energi akan meningkatkan porsi EBET dalam bauran listrik nasional? Ketiga, apakah siklus energi dapat menjamin harga listrik yang rendah bagi konsumen?

Putusan Mahkamah Konstitusi menjawab pertanyaan pertama. BUMN Penyediaan Listrik Nasional, dhi. PLN harus mengedepankan penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan secara terintegrasi. Padahal, jika PLN belum untung, hal tersebut bukan menjadi alasan untuk meninggalkan PLN dan mengalihkan sektor ketenagalistrikan ke pihak swasta (MK, 2004: 348-49).

Jika disahkan secara paksa, besar kemungkinan klausul tersebut akan dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan inkonstitusional. Hal ini dapat menghambat keamanan hukum investasi EBET di Indonesia.

Rencana Umum Ketenagalistrikan (RUPTL) 2021–2030 yang disusun PLN merupakan jawaban dari pertanyaan kedua. Porsi EBT dalam RUPTL direncanakan sebesar 20,9 GW atau 51,6% dari bauran listrik nasional. Dari jumlah tersebut, segmen IPP melebihi segmen PLN yang menyumbang 11,8 GW atau 56,3%.

Artinya, PLN memastikan IPP mempunyai partisipasi seluas-luasnya dalam pengembangan EBT, meski tetap dalam Skema Multi Buyer Seller (MBSS). Jika RUPTL diterapkan secara konsisten, hal ini akan menjamin peningkatan EBT dalam bauran pembangkitan dalam skenario siklus energi yang dapat merugikan PLN.

Jawaban atas pertanyaan ketiga diperoleh dari studi kasus di berbagai negara mengenai kenaikan tarif listrik akibat sistem unbundling. Liberalisasi akan mengarah pada terciptanya oligopoli swasta, yang kekuatan pasarnya akan menyebabkan tarif listrik lebih tinggi. Hal ini terjadi di Perancis, Jerman, Belgia dan Belanda (Percebois, 2008).

Tarif dalam zloty dikumpulkan secara proporsional dari berbagai sumber. Berkat skala usaha yang terintegrasi secara vertikal dan jaringan infrastruktur yang dikembangkan, tarif listrik dalam zloty pasti akan lebih murah dibandingkan tarif IPP.

Oleh karena itu, daripada terjadi pergantian kekuasaan yang berpotensi menimbulkan kekacauan baru, lebih baik pemerintah dan DPR mengawasi secara ketat pelaksanaan RUPTLE terhadap kisruh generasi hijau.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours